Nasib Gereja Albanus, dari Markas Teosofi ke Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya
Setelah lama terbengkalai akibat konflik internal, Gereja Albanus saat ini sedang direvitalisasi. Termasuk bangunan cagar budaya Golongan A.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah9 Agustus 2024
BandungBergerak.id – Berbulan-bulan pagar seng menghalangi pandangan pengguna jalan ke bangunan tua sarat sejarah, dan sarat cerita, di Jalan Banda, Kota Bandung. Orang-orang menyebutnya Gereja Albanus. Desas-desus tentang nasib bangunan cagar budaya tersebut berseliweran.
Belakangan, sebuah gedung baru bergaya modern sudah berdiri di kompleks yang bersebelahan dengan GOR Saparua itu, seolah mencuat begitu saja ke langit. Yang tersisa dari bangunan tua berumur lebih dari seabad itu hanyalah fasad depan, masih dengan tulisan dalam ejaan van Ophuijsen: “S. Albanus” dan “Geredja Katholik Bebas”.
Orang-orang Bandung punya beragam cerita tentang gedung Gereja Katolik Bebas Santo Albanus. Ada yang melihatnya sebagai bangunan terbengkalai yang angker, tetapi ada yang lain yang mengetahui sejarahnya sebagai markas perkumpulan teosofi.
Yasmin Nindya, 34 tahun, mengingat gedung gereja bergaya arsitektur romantik yang telah berumur lebih dari seabad itu sebagai tempat kursus bahasa Belanda. Pada tahun 2009, selama sembilan bulan, dia secara rutin menghabiskan waktu di ruangan bagian depan gereja untuk belajar.
Mulanya guru sejarah ini mengira kursus tersebut diadakan oleh pengelola Gereja Katolik Bebas. Namun, belakangan dia tahu bahwa kursus diadakan oleh Yayasan Budaya Mukti (YBM).
Selain memberikan fasilitas kursus belajar bahasa, Yayasan Budaya Mukti menyediakan perpustakaan dengan koleksi lebih dari 3.000 judul buku berbahasa Belanda dan Inggris. Laman resmi Yayasan Budaya Mukti menyebut, buku-buku berbagai tema dan genre, mulai dari sosiologi hingga novel, diterima secara rutin dari Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta.
Sebuah peristiwa di Gereja Santo Albanus yang sangat diingat oleh Yasmine adalah acara festival budaya Belanda. Hari pelaksanaan festival itu adalah juga kali terakhir dia mengikuti kursus bahasa Belanda di kompleks tersebut.
“Ada tentang budaya Belanda, pojok foto dengan baju khas Belanda, kuliner Belanda, dan juga bincang-bincang sejarah,” cerita Yasmin, ditemui Sabtu, 29 Juni 2024 lalu.
Meski sudah lama sekali tidak berkunjung ke kompleks tersebut, Yasmine berharap agar kondisi bangunan bersejarah ini tetap terjaga.
“Semoga pihak yang berkewajiban tetap memantau pembangunan yang ada, baik saat (pembangunan) atau pun setelah pembangunan,” ujarnya.
Ghijsels dan Gerakan Teosofi di Kota Bandung
Gedung Gereja Katolik Bebas Santo Albanus dirancang oleh arsitektur termasyhur era kolonial Hindia Belanda, Frans Johan Louwrens Ghijsels, atas permintaan tokoh teosofi Van Der Ley. Gedung ini memang diniatkan sebagai markas teosofi di Kota Bandung.
Dalam buku Ir F.J.L. Ghijsels Architect in Indonesia: Simplicity is shortest path to beauty (1996) yang ditulis oleh H. Akihary disebutkan, disebutkan keterangan bahwa Ghijsels lahir di Tulungagung, Jawa Timur pada 8 September 1882. Pada tahun 1903, ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Teknik Delft mengambil studi Arsitektur.
“Pada periode ini, Ghijsels menunjukkan bakat menggambar di atas rata-rata dengan ketepatan garis yang mengagumkan. Dia menghasilkan gambar fasad, tangga, dan desain interior dengan pintu berornamen, panel, dan bingkai yang indah. Sayangnya, catatan mengenai tahun-tahun studi Ghijsels di Delft sangat terbatas,” tulis Akihary.
Mengantongi gelar diploma dari Delft, Ghijsels mulai bekerja di Hindia Belanda pada akhir Januari 1910 sebagai tenaga ahli arsitektur di Departemen Pekerjaan Kota atau Municipal Work Departement Batavia. Pada tahun 1912 ia meninggalkan Departemen Pekerjaan Kota dan pindah ke Departemen Pekerjaan Umum di divisi arsitektur Batavia. Di sana Ghijsels juga tidak bertahan lama dan memilih keluar untuk kemudian bekerja sebagai arsitek swasta di Batavia.
Ghijsels mendirikan biro arsitek Algemeen Ingenieurs en Architectenbureau (General Engineers and Architects Bureau) bersama rekannya. Ia ikut terlibat dalam pekerjaan rencana tata kota Bandung saat digadang dan dipersiapkan menjadi ibu kota baru Hindia Belanda pada tahun 1917.
Dalam periode itulah, tokoh teosofi Hindia Belanda Van Der Ley meminta Ghijsels untuk mendesain markas teosofi di Bandung di Jalan Banda no.26. Memulai pekerjaan pada 1919, sang arsitek merampungkan proyek bersejarah tersebut setahun kemudian.
“Tidak banyak lagi menggunakan simbol-simbol,” ucap Ryzki, M. Ryzki Wiryawan, penulis buku Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Teosofi dan Freemansonry di Bandung (2014), mengomentari kekhasan karya Ghijsels yang gemar dengan ornamen simpel dan praktis, ketika ditemui Rabu, 19 Juni 2024.
Ryzki menjelaskan, bangunan Gereja Albanus digunakan sebagai markas teosofi, atau populer disebut loji, hingga tahun 1930 karena perkumpulan tersebut memutuskan untuk pindah ke Jalan Merdeka. Tak berselang lama, bangunan tersebut dimanfaatkan sebagai tempat ibadah jemaat Gereja Katolik Bebas dengan menyematkan nama Santo Albanus.
Menurut Ryzki, hubungan antara gerakan teosofi di Hindia Belanda dengan Gereja Katolik Bebas atau Vrije Kathokieje Kerk (VKK) telah dimulai pada tahun 1926 oleh Jr. Van Mazel dengan dibangunnya gereja VKK di Batavia atau sekarang Jakarta. Banyak tokoh teosofi yang merupakan bekas uskup Vrije Kathokieje Kerk Leadbeater dan Arundale.
Diketahui, Gereja Katolik Bebas didirikan oleh J. I. Wegwood pada tahun 1904 di Inggris. Wegwood merupakan mantan uskup Anglikan yang bergabung juga dengan gerakan teosofi. Kata “Katolik” dalam aliran ini berbeda dengan Katolik Roma. Sematan kata “Bebas” merujuk pada kebebasan umatnya untuk menafsirkan kitab suci, kredo, dan liturgi yang disesuaikan dengan ilmu pengetahuan.
Ryzki, yang bergiat di komunitas Sahabat Heritage Indonesia (SHI), mengaku terakhir kali bertemu dengan pendeta Gereja Katolik Bebas pada tahun 2000-an awal. Setelah sang pendeta meninggal, yang ia dengar adalah munculnya masalah internal yang berkepanjangan. Karena tidak bisa mencampuri utusan tersebut, menurut Ryzki, yang bisa dikerjakan komunitas adalah terus-menerus mengingatkan para pemangku kepentingan tentang nilai penting bangunan di Jalan Banda 26 tersebut, selain mengeksplorasi kesejarahannya.
Tentang renovasi yang sedang dikerjakan di bangunan Gereja Katolik Bebas, Ryky berharap agar proyek tidak berimbas banyak perubahan terhadap bangunan asli sehingga nilai cagar budayanya tetap utuh.
“Harapannya, bangunan tetap bertahan dan masih diakses masyarakat,” tutur dosen Ma’soem University tersebut. “Hidup bangunannya harus diisi kegiatan manusia di sana.”
Baca Juga: CERITA VISUAL: Sejarah Gedung Gereja Katolik Bebas Santo Albanus Bandung
Publik Berhak Tahu Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Gereja Katolik Bebas St Albanus
Ada Rekomendasi, Ada kekhawatiran
Pengelolaan cagar budaya di Kota Bandung dipayungi oleh Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya. Gereja St. Albanus merupakan satu dari 255 bangunan Golongan A, kategori tertinggi dalam pengelompokan. Dalam lampiran Perda, Gereja St. Albanus, yang diberi nomor urut 105, masuk ke dalam Kawasan 5, yakni Pusat Militer.
Penentuan golongan cagar budaya didasarkan pada lima kriteria, yakni minimal berusia 50 tahun, memiliki nilai sejarah, nilai arsitektur, nilai sosial budaya, dan nilai pengetahuan. Gereja Albanus memenuhi kelima kriteria tersebut sehingga dimasukkan ke Golongan A.
Anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Bandung David Bambang Soediono menyebut, pembangunan revitalisasi Gereja Albanus telah memenuhi prosedur yang disyaratkan saat sidang TACB pada tahun 2019.
“Dalam situs cagar budaya, dimungkinkan adanya bangunan tambahan selain bangunan utama. Terus penambahan bangunan itu dapat dilakukan di belakang dan atau di samping bangunan. Atau struktur cagar budaya dengan jarak tertentu dari bangunan utama,” ucap David.
Lampu hijau revitalisasi juga diberikan dengan mempertimbangkan bahwa kompleks Gereja St. Albanus masih difungsikan sebagai sarana peribadatan. Bukan lagi oleh umat Gereja Katolik Bebas, tetapi jemaat Gereja Bethel Indonesia dengan nama resmi City Light Community Church.
David mengingatkan, sebelum ada proyek revitalisasi, kompleks Gereja Katolik Bebas St Albanus terbengkalai dalam waktu yang lama akibat konflik internal kepemilikan dan pengelolaan. Sengketa di pengadilan bahkan sampai ke tingkat Mahkamah Agung.
Di tengah konflik seperti ini, menurut David, yang paling terancam adalah situs cagar budaya itu sendiri. Kewajiban merawatnya bisa dipastikan bakal diabaikan.
“Jadi kalau secara positif kita melihat kalau amanat undang-undang cagar budaya itu mengatakan bangunan itu harus diselamatkan untuk dimanfaatkan kan. Nah, kalau tidak memberi manfaat, pasti tidak ada orang juga mau menyelamatkan bangunan lama. Akhirnya hancur di makan zaman juga,” katanya.
Ketua Bandung Heritage Aji Bimarsono mengatakan, perpindahan tangan atau ganti kepemilikan suatu objek bangunan sejarah sering kali menjadi pintu masuk bagi pengubahan gedung. Dalam beberapa kasus, bahkan terjadi perusakan atau penghancuran bangunan.
“Kalau berpindah kepemilikan itu kita menjadi deg-degan. Walaupun dia temasuk cagar budaya dan landasan hukumnya, bangunannya rusak dengan alasan apa pun, apa pemilik baru menggubah fungsinya, memperluas, sering kali jadinya rusak,” katanya, dihubungi BandungBergerak, Rabu, 19 Juni 2024.
Menurut Aji, diperlukan penegakan aturan yang lebih mendetail dan jelas dalam usaha melindungi bangunan-bangunan cagar budaya, baik yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya maupun belum. Apalagi bangunan yang sudah diakui sebagai bangunan cagar budaya Golongan A. Pelaksanaan proyek di lapangan harus dipastikan sesuai dengan rekomendasi dan izin untuk menepis kekhawatiran tentang nasib bangunan.
“Bahkan ada yang sudah sidang TACB, sudah diberikan rekomendasi, (tapi) pelaksanaan di lapangannya belum sama,” tuturnya.
*Artikel ini merupakan kerja sama antara BandungBergerak dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas.