• Berita
  • Kapan Negara Menunaikan Amanat Konstitusi untuk Menjamin Kebebasan Beragama Berkeyakinan?

Kapan Negara Menunaikan Amanat Konstitusi untuk Menjamin Kebebasan Beragama Berkeyakinan?

Penyusun Undang Undang Dasar (UUD) tidak pernah membeda-bedakan agama ataupun kepercayaan. Yang jelas UUD menjamin hak ibadat warga negara.

Ilustrasi intoleransi dan diskriminasi. Indonesia sebagai negara bhineka (beragam) belum terhindar dari praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi terkait kebebasan beragama berkeyakinan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Reyner Thaddeus Purwanto. 10 Agustus 2024


BandungBergerak.idKonstitusi UUD 1945 telah menjamin kebebasan beragama berkeyakinan seluruh warga negara. Atas dasar inilah, negara harus turut hadir dengan seluruh perangkatnya dan berperan aktif memastikan jaminan kebebasan tersebut dapat terlaksana. Namun di akar rumput, jaminan kebebasan beragama berkeyakinan belum membumi.

“Dalam praktik pendidikan misalnya, maka guru, kurikulum, dan peraturan di tingkat nasional sampai lembaga pendidikan harus mengarah kepada penghargaan terhadap keragaman agama dan keyakinan yang dianut oleh peserta didik. Tidak boleh ada diskriminasi disebabkan oleh keyakinan yang berbeda. Semua memiliki hak yang sama untuk mendapat pelayanan yang baik,” terang Manager HAM dan Demokrasi INFID Abdul Waidl, Jumat, 9 Agustus 2024.

Abdul Waidl berbicara dalam diskusi publik bertajuk “Mendengarkan yang Dipinggirkan” di Bumi Silih Asih, Jl. Moch. Ramdan No. 18, Kota Bandung. Acara ini merupakan kerja sama BandungBergerak dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), serta berkolaborasi dengan Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub).

Menurut Abdul Waidl, masyarakat sipil perlu menyadari bahwa jaminan kebebasan beragama berkeyakinan belum sebaik yang diharapkan. Masih ada kendala dan pelanggaran di lapangan, seperti kesulitan membangun rumah ibadah dan perlakuan tidak adil yang dialami kelompok minoritas agama dan keyakinan.

“Masyarakat sipil harus memastikan kerja-kerja advokasi dapat mendorong jaminan hak sipil politik dan hak ekonomi-sosial-budaya, termasuk dalam kebebasan beragama berkeyakinan dan akses yang sama oleh semua agama-keyakinan terhadap layanan negara seperti pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan kesejahteraan,” ungkap Waidl.

Di samping itu, Waidl memandang perlu mendorong kerja-kerja media dapat turut serta menjadi sarana kampanye dalam menguatkan ruang-ruang kebebasan warga negara, termasuk dalam pilihan agama dan keyakinan. Dalam kerja-kerja mengawal demokrasi dan hak asasi manusia, jangan lupa peran anak-anak muda yang dapat diajak dan didorong menjadi kampiun.

Diskusi publik bertajuk Mendengarkan yang Dipinggirkan di Bumi Silih Asih, Jl. Moch. Ramdan No. 18, Kota Bandung. (Foto: Tim BandungBergerak)
Diskusi publik bertajuk Mendengarkan yang Dipinggirkan di Bumi Silih Asih, Jl. Moch. Ramdan No. 18, Kota Bandung. (Foto: Tim BandungBergerak)

Mendengarkan Suara Penghayat

Diskusi publik “Mendengarkan yang Dipinggirkan” menghadirkan Rela Susanti, seorang Penghayat Budi Daya. Sebelumnya, di sela-sela diskusi disajikan pengakuan siswa-siswi penghayat melalui tayangan video dokumenter yang disusun tim BandungBergerak.

Rela menyampaikan, hampir seluruh siswa-siswi penghayat mendapatkan perlakuan diskriminasi selama masa pembelajaran. “Ternyata sekitar 98 persen (siswa-siswi) itu kebanyakan mengalami perundungan, walaupun dengan kadar yang berbeda,” ujar Rela.

Rela menyebutkan, diskriminasi terhadap penghayat bisa berbentuk persepsi antagonis atau sesat pada pakaian adat kepercayaan, sindiran keagamaan dalam kegiatan sosial, panggilan-panggilan yang mengolok, dan banyak bentuk-bentuk diskriminasi lain.

Paling miris menurutnya adalah ketika pengajar dalam institusi pendidikan malah memfasilitasi proses diskriminasi terhadap siswa-siswi penghayat kepercayaan. “Yang dilakukan oleh seorang pendidik itu mungkin lebih menyakitkan bagi siswa, karena kan seharusnya guru itu yang melindungi saat dia belajar, dan sekolah itu seharusnya menjadi lingkungan yang aman dalam menimba ilmu,” kata Rela.

Rela melanjutkan, akar diskriminasi terletak pada ketidaktahuan eksistensi dan perlindungan penghayat kepercayaan. Karena ibarat dalam sebuah keluarga, ketika tidak ada perspektif keberagaman dan toleransi, tentu akan susah menerima perbedaan. 

Perlakuan diskriminasi bagian dari intoleransi terhadap kebebasan beragama berkeyakinan. Faktanya, apabila ditarik pada konteks yang lebih luas, maka realita intoleransi terjadi dalam skala nasional. Abdul Waidl menyebutkan, data Indeks Hak Asasi Manusia di Indonesia rendah, berdasarkan riset INFID dan Setara Institute tahun 2023 terjadi penurunan indeks hak asasi manusia. “Itu kita bilang bahwa kondisi penurunan hak asasi manusia itu 3.2 dari skala 1 sampai 7,” kata Abdul Waidl. 

Rela Susanti, Abdul Waidl, beserta fotografer BandungBergerak Virliya Putricantika dan Kepala Lembaga Bantuan Hukum (LBH) “Pengayoman” Unpar Valerianus Beatae Johanu adalah empat narasumber yang hadir pada diskusi Mendengarkan yang Dipinggirkan, acara puncak liputan khusus INKLUSI hasil kolaborasi BandungBergerak dan INFID.

Diskusi “Mendengarkan yang Dipinggirkan” dihadiri puluhan peserta undangan dari beragam kalangan. Valerianus Beatae Johanu menanyakan kepada peserta apa yang dimaksud  kebebasan beragama dalam konstitusi Indonesia. “Tidak pernah disebutkan apa saja agama-agama di Indonesia di dalam konstitusi kita,” jelas Val, sebutan akrab Valerianus.

Ia menambahkan, atas standar hukum internasional, maka kebebasan beragama ditujukan untuk melindungi individu, bukan agama yang dianut. Demikian pula dalam kesetaraan status antara agama dan kepercayaan. “Penyusun Undang Undang Dasar tidak pernah membedakan apakah ini agama atau bukan,” katanya.

Konstitusi sendiri menjamin hak ibadat warga negara melalui UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2 yang menyatakan: agama dan kepercayaan.

Baca Juga: Lima Orang Jemaat Gereja Katolik Bebas Tersisa di Bandung, Sembilan Tahun Beribadah di Rumah
Ditolak di Sentiong, Cerita Umat Kristen di Pangalengan dalam Sengkarut Lahan Makam
Jemaat Tanpa Masjid, Nestapa Warga Ahmadiyah di Nyalindung dalam Belenggu Penyegelan

Siapa yang Membela Kebebasan Beragama?

Sayangnya, di lapangan diskriminasi terhadap kelompok rentan masih terjadi, seperti yang dialami warga penghayat kepercayaan di Bandung Raya. “Diskriminasi itu ternyata masih ada, apalagi di wilayah Bandung Raya,” tambah Virliya, merujuk pada reportase di lima titik liputan BandungBergerak.

Diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan adalah secuil dari beragam pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi. Media dalam hal ini membantu mendorong eksposur kasus-kasus tersebut sesuai dengan kapasitasnya.

“Ketika kita (Bandung Bergerak) melakukan peliputan untuk isu keberagaman, editor dan pimpinan redaksi harus memastikan jurnalis yang turun ke lapangan itu mempunyai bekal-bekal untuk itu,” katanya.

Di sisi lain, Abdul Waidl menyatakan masyarakat sipil juga berperan penting dalam mengaplikasikan pendidikan kewarganegaraan baik dalam pemberian pelatihan maupun melalui institusi. Sedangkan, bagi Rela, edukasi dan diskursus yang menambah pengetahuan akan agama dan kepercayaan lain mampu memberi dampak perubahan positif.

Tapi, lalu muncul pertanyaan yang diutarakan oleh Valerianus Beatae Johanu, “Kok semuanya perjuangannya jadi ke kita, ke warga? Di mana peran negara dan pemerintahan dalam isu yang seharusnya menjadi perhatian utama pelindung serta penjamin kebebasan beragama warga negara?”

Seorang anggota Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) yang hadir dalam diskusi, Ahmed, sempat memberikan perspektifnya. “Bagaimana keberadaan kaum Syiah, Ahmadiyah berbagai desakan dari kelompok tertentu, yang didesak adalah wali kota, mengeluarkan peraturan wali kota pelarangan Syiah segala macam. Kami tahan, kami kembalikan,” ujarnya.

Ia turut mengatakan bahwa Presiden pun juga tidak berwenang melakukan pelarangan, kecuali jika memang turun fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), maka daerah akan mengikuti.

Masalahnya terletak pada apa yang disebut oleh Waidl sebagai tendensi pemerintah dalam melayani buli-buli suara dan kesenangan banyak pemuka agama untuk tidak menghargai keberagaman. Hasilnya adalah kebijakan populis yang hanya mementingkan raupan suara, mendukung tirani mayoritas, bukan hanya Islam, melainkan kelompok identitas lain yang memberi keuntungan terbesar.

Waidl lalu menggarisbawahi ironi “kelompok minoritas dalam mayoritas” yang mendikte narasi serta mengantongi keuntungan sendiri. “Saya kira ini terjadi di semua agama,” jelas Waidl. Kunci dari pementasan masalah kontrol minoritas dalam mayoritas menurutnya adalah dengan membangunkan silent majority dan menyadarkan kerugian perpecahan yang dihasilkan. 

Pada akhirnya, Waidl menutup dengan berkata “Lebih baik kita tidak terbelah dalam fanatisme atas posisi mayoritas atau minoritas masing-masing”. Karena pada dasarnya perpecahan agama dan pelanggaran kebebasan beragama tidak menguntungkan siapa pun, kecuali sebagian kecil yang mempelopori perpecahan tersebut.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan dari Reyner Thaddeus Purwanto atau artikel-artikel lain tentang Kebebasan Beragama Berkeyakinan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//