• Liputan Khusus
  • Ditolak di Sentiong, Cerita Umat Kristen di Pangalengan dalam Sengkarut Lahan Makam

Ditolak di Sentiong, Cerita Umat Kristen di Pangalengan dalam Sengkarut Lahan Makam

Umat Kristen di Pangalengan sudah kehabisan lahan makam. Masalah di Sentiong memaksa mereka memakamkan jenazah ke lokasi jauh.

Kondisi tempat permakaman umat Kristen Makam Sentiong, Pangalengan, Kabupaten Bandung, 25 Juli 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul7 Agustus 2024


BandungBergerak.id - Sudah sepuluh tahun, masalah penggunaan makam Sentiong di Kampung Danosari, Desa Pulosari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung tak kunjung usai. Dalam kurun itu, terjadi empat kali ‘penolakan’ dan satu kali ‘penghadangan’ proses pemakaman jenazah umat Kristen. 

Yang disebut terakhir terjadi pada Selasa, 26 Juli 2022 lalu. Proses pemakaman jenazah baru terlaksana setelah tercapai kesepakatan antara umat Kristen dan warga untuk tidak menggali makam baru, melainkan makam tumpuk. Baru pada pukul sembilan malam lebih, seluruh proses pemakaman tuntas. 

Menanggapi insiden tersebut, digelar pertemuan di kantor kecamatan. Namun, bukan masalah lahan makam yang dibahas. Buntut lain yang kemudian dirasakan betul dampaknya oleh umat Kristen, sejak penghadangan itu terbit larangan memakamkan jenazah di Sentiong. 

Pendeta Gereja Bethel Tabernakel (GBT) Pangalengan Yahya Mulya menceritakan, dalam 10 tahun masa ketidakjelasan pemanfaatan makam Sentiong, pihak gereja berinisiatif menemukan solusi. Mulai dari berdoa sampai mencari lahan baru. Namun, ia sadar bahwa proses pengadaan dan perizinan lahan makam tidaklah mudah. 

“Ternyata kan ini ada sedikit sensitif. Kalau untuk kebun, silakan, ada yang jual. Tapi untuk pemakaman, ya warga sini agak keberatan. Tidak semudah itu untuk permakaman, terutama izin dari tetangga terdekat, lingkungan gitu ya,” ungkap Yahya, ditemui di Pangalengan, Minggu, 19 Mei 2024. 

Ditolak di Sentiong, umat Kristen di Pangalengan terpaksa memakamkan jenazah keluarga atau kerabat mereka ke lokasi yang jauh: Tempat Pemakaman Umum (TPU) Eigendom Banjaran di Kecamatan Arjasari atau di salah satu TPU di Soreang. Jarak dari Pangalengan ke Makam Eigendom sekitar 25 kilometer, melintasi dua kecamatan.

“Untuk tanahnya aja nego 3,5 juta (rupiah). Belum ambulans, belum itu ini, belum petinya. Hampir habislah 5-6 juta (rupiah). Belum jauhnya. Terus faktor lainnya ya itu, tidak semuanya mampu. Kalau ada di Pangalengan, kenapa tidak?” ucap Yahya. 

Menurut Yahya, Sentiong merupakan kompleks pemakaman warga Tionghoa Pangalengan sejak era kolonial Belanda. Mestinya, lahan tersebut bisa dimanfaatkan sebagai permakaman jenazah umat Kristiani Pangalengan yang terdiri dari empat gereja karena hak pengelolaan ada padanya. 

Dalam wawancara pada 2022 lalu, tak lama setelah insiden penghadangan, Yahya menegaskan bahwa lahan pemakaman Sentiong legal. Tanah yang mulanya dikelola oleh Narsono, diserahkan hak pengelolaannya kepadanya sejak 2002 dalam sebuah dokumen perjanjian tertulis. Pada tahun 2004, dilakukan pengukuran ulang tanah bersama kepala Desa Pulosari waktu itu, Jajang Daman. 

Hasil pengukuran ulang itu menunjukkan total luas tanah Sentiong 10.270,3 meter persegi. Dokumennya ditandatangani oleh kepala desa, dengan saksi di antaranya M. Nana Rukmana, Aju, Yanoe H Poly, dan Yahya sendiri. Namun sejak dilakukan pengukuran ulang itu jugalah, permasalahan muncul. 

Tempat permakaman umat Kristen di Pangalengan, Kabupaten Bandung, 25 Juli 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)
Tempat permakaman umat Kristen di Pangalengan, Kabupaten Bandung, 25 Juli 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Lahan Habis

Pangalengan merupakan kecamatan kedua terbesar di Kabupaten Bandung dengan luas 272,95 kilometer persegi atau setara 11,09 persen dari total luas Kabupaten Bandung. Kecamatan pariwisata ini merupakan kawasan paling ujung di bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Garut. 

Saat ini umat Kristen di Pangalengan dapat beribadah secara relatif leluasa di tiga gereja yang ada di kecamatan tersebut, yaitu Gereja Kristen Pasundan (GKP), Gereja Pentakosta di Indonesia (GPDI), dan Gereja Bethel Tabernakel (GBT). Namun untuk urusan makam, meskipun kebutuhannya kian mendesak, jalan masih buntu. 

Salah seorang jemaat GKP Pangalengan, Yohanes Irmawandi, menyebut, persoalan terkait lahan pemakaman sudah menjadi pembahasan di forum Umat Kristen Pangalengan. Ia mengaku mengetahui adanya persoalan di Sentiong. Namun ia tidak tahu pasti apa sebab utama yang membuat lahan itu tidak bisa digunakan oleh umat Kristen: apakah sentimen keagamaan atau murni legalitas lahan. 

Yang Anes tahu betul, tempat pemakaman untuk umat Kristen di Pangalengan saat ini sudah habis. Lahan Citere yang digunakan oleh umat GKP Pangalengan, misalnya, sudah penuh. Ditambah lagi, lahan itu sebenarnya bukan milik umum, melainkan milik institusi militer. Kabarnya, belakangan sudah keluar aturan baru yang mengatur hanya keluarga prajurit yang bisa dimakamkan di sana.

“Sentiong itu sebenarnya salah satu aset yang bisa dimanfaatkan. Cuma ya gitulah,” ungkap Anes, demikian ia kerap disapa, ketika dihubungi dari Bandung, Selasa, 17 Juli 2024. 

Senada dengan Yahya, Anes menyebut bahwa dampak yang paling terlihat dan dirasakan dari ketiadaan makam ini adalah urusan finansial. Untuk satu orang yang meninggal, keluarga harus merogoh kocek lumayan dalam. Ada biaya untuk pengurusan jenazah, jasa gali kubur, peti mati, ambulans, dan ditambah lagi tradisi-tradisi. 

Anes mendorong umat Kristiani Pangalengan agar kompak memperjuangkan hak mereka. Ia juga meminta masyarakat untuk bersikap terbuka. Dialog harus dilakukan agar disepakati jalan keluar, dan pemerintah-lah yang mestinya proaktif mengupayakan. Memfasilitasi, bukannya mempersulit. 

“Masa mau ngubur, ada mayat, kita mau simpan di kantor desa?” ujarnya sambil berkelakar. “Kan enggak juga, ya kan?” 

Permakaman Eigendom Banjaran, Tempat Permakaman Umum (TPU) nonmuslim yang dikelola Pemerintah Kabupaten Bandung, 24 Mei 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)
Permakaman Eigendom Banjaran, Tempat Permakaman Umum (TPU) nonmuslim yang dikelola Pemerintah Kabupaten Bandung, 24 Mei 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Makam Berserak di Kebun Kopi

Makam Sentiong terletak di tengah-tengah hamparan perkebunan masyarakat. Untuk sampai ke sana, orang terlebih dahulu harus melewati perkampungan warga yang hanya bisa diakses dengan kendaraan roda dua. Setelah jalan beton sepanjang sekitar 100 meter di antara rumah-rumah warga, jalan setapak dengan kontur tanah dan bebatuan menyambut.

Di sana terhampar perkebunan dengan beragam jenis tanaman. Di deretan sebelah kanan, buah-buah tomat sudah beranjak matang. Tak lama lagi ia siap dipanen. Di sebelah kiri, terdapat pohon-pohon kopi dengan biji-bijinya yang masih kekuningan. Di beberapa petak lain, ada yang menanam cabai.

Di dalam kawasan kebun kopi itulah, di salah satu bagiannya yang sama sekali tidak ditanami pohon kopi, makam Sentiong berada. Seperti sengaja diperlihatkan. Di situ terdapat nisan-nisan dengan ukuran besar dan kecil. Ada pula tanda salib yang terpancang sedikit miring. Salah satu makam masih bertabur bunga segar di nisannya, mengisyaratkan baru saja sang ahli waris melakukan ziarah. Di salah satu nisan, tertulis tahun meninggal 1960. 

Seorang petani yang sedang meruahkan bebatuan di jalanan menyebutkan bahwa nisan-nisan berserakan di sela-sela batang pohon kopi jenis robusta dan arabika di dalam kebun itu. Beberapa nisan terlihat jelas rupanya, beberapa lainnya sudah tertimbun. 

“Kalau mau ke dalam-dalam ini, kalau mau dicari, itu banyak,” ungkapnya sambil menunjuk ke dalam kebun kopi. 

Di perbatasan antara kebun kopi dan kebun kentang, terdapat sebuah makam yang tidak terurus dan dipenuhi oleh rerumputan. Itulah satu-satunya makam di pojok kebun, sementara di area tengah terdapat beberapa makam dengan tembok demikian besar. Letaknya berjauh-jauhan dan berserakan. Dilihat dari kejauhan, tembok besar makam itu seperti gubuk tempat beristirahat.

Eka, 35 tahun, seorang warga kampung Danosari menerangkan kalau makam-makam di lahan itu sudah tidak pernah dijenguk lagi oleh keluarganya. Kalaupun ada, para petani atau warga tidak bertemu dengan mereka. Tiba-tiba tertinggal karangan bunga di makam. Ia menduga, para pengunjung sengaja datang saat para petani sedang tidak ada di kebun. 

Sepengetahuan Eka, sejak 7-8 tahun belakangan ada larangan oleh pihak desa untuk melakukan pemakaman di Sentiong. Namun pernah, dulu sekali, tiba-tiba ditemukan makam baru di tengah-tengah kebun. Disebut “tiba-tiba” karena prosesi pemakaman diduga dilakukan saat malam hari. Eka mengaku pihaknya belum pernah bertemu dan melihat para ahli waris sehingga belum pernah berbicara langsung tentang hal ini.

“Kalau penginnya kita, kalau yang dimakamkan di sini ada keluarganya, minta dipindahin aja ke permakaman umum khusus non-muslim. Biar gak berantakan kayak gini. Kan udah disediain. Jadi biar mereka juga enak kalau rapi gitu. Kayak gini kan gak terawat juga. Terus ke warga juga biar istilahnya nyaman-lah, tertata. Berkebun juga enak,” ucap Eka, Kamis, 25 Juli 2024.

Eka mengaku tidak mengetahui pasti mana yang lebih dulu ada, apakah makam atau perkebunan. Yang ia tahu, sejak ia lahir sudah ada satu-dua makam di lahan tersebut dan oleh pihak desa, lahan tersebut disebut menjadi milik desa. Eka dan para petani lain membayar semacam retribusi atau pajak kepada pihak desa. 

BandungBergerak mencoba mengkonfirmasi persoalan makam Sentiong ini kepada pihak Desa Pulosari. Salah seorang staf pelayanan, Sony, menyebut bahwa kepala desa dan jajarannya sedang mengikuti sebuah kegiatan di kawasan Mohammad Toha. Sayangnya, ia menolak memberikan kontak Agus Rusman, Kepala Desa Pulosari. 

Kondisi permakaman Sentiong di Pangalengan, Kabupaten Bandung, 25 Juli 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)
Kondisi permakaman Sentiong di Pangalengan, Kabupaten Bandung, 25 Juli 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Mengaku Tidak Tahu

Kepala UPTD Pemeliharaan Pertamanan dan Pengelolaan Pemakaman Kabupaten Bandung, Saiful Rochman mengaku sama sekali tidak mengetahui tentang konflik makam Sentiong yang sudah berlangsung selama 10 tahun belakangan. Alasannya, kompleks tersebut bukan dikelola oleh pemerintah.  

“Karena mungkin lahannya biasa dikelola sama yayasan atau perorangan. Jadi gak ada tembusan ke sini, soalnya bukan dikelola sama Pemda. Kecuali kalau yang dikelola sama Pemda, pasti larinya ke sini,” kata Saiful, ditemui kantornya, Kamis, 25 Juli 2024. 

Menurut Saiful, Pemkab tidak bisa melakukan apa-apa terkait konflik makam yang bukan dikelola oleh pemerintah. Pada prinsipnya pemerintah memang bisa memfasilitasi, tetapi biasanya dikembalikan terlebih dulu kepada aparat pemerintahan setempat, seperti Kepala Desa, Ketua RT/RW, Babinsa, dan Babinmas. 

“Sama saya bukan tidak difasilitasi, tapi cukup dengan pemerintah setempat aja,” ujarnya. ”Di sini mah tidak ada apa-apanya.” 

Saiful menjelaskan, saat ini Pemkab Bandung mengelola 12 Tempat Pemakaman Umum (TPU), termasuk Makam Eigendom di Banjaran yang dikhususkan untuk non-muslim. Makam yang sebelumnya ‘tidak bertuan’ tersebut mulai dikelola oleh pemerintah pada 1992. Kompleks-kompleks yang lain sebagian besarnya merupakan hasil serah terima dari perumahan. Jarang sekali pemerintah menganggarkan secara khusus untuk membeli lahan, meski ada. 

Tersedia anggaran khusus setiap tahunnya dalam APBD untuk mengelola dan memelihara ke-12 TPU. Diklaim Saiful, sudah 10 TPU yang dilengkapi dengan fasilitas kantor, listrik, air, kamar mandi, area parkir, serta petugas kebersihan.

Saiful menegaskan, di Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang dikelola pemerintah, tidak ada pemisahan makam muslim dan non-muslim. Di Makam Eigendom Banjaran, misalnya, sudah terdapat bagian yang juga dimanfaatkan untuk umat muslim.

“Yang namanya TPU gak mengenal agama,” ujar Saiful. “Makanya kayak (TPU) Pananjung (Kecamatan Cangkuang), saya udah bikin pilot project itu masuk antara muslim dengan non-muslim.”

Kondisi permakaman Sentiong di Pangalengan, Kabupaten Bandung, 25 Juli 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)
Kondisi permakaman Sentiong di Pangalengan, Kabupaten Bandung, 25 Juli 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Mendengarkan Keluhan

Urusan permakaman sebenarnya sudah diatur melalui regulasi di tingkat nasional dan daerah. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 tahun 1987 tentang Penyediaan Penggunaan Tanah untuk Keperluan Tempat Pemakaman mendefinisikan Tempat Pemakaman Umum (TPU) sebagai areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah bagi setiap orang tanpa membedakan agama dan golongan, yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II atau Pemerintah Desa. Adapun TPBU adalah areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah yang pengelolaannya dilakukan oleh badan sosial dan/atau badan keagamaan.

Regulasi ini lantas diturunkan di tingkat daerah. Contohnya, Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bandung Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pemakaman dengan turunannya Peraturan Bupati Bandung Nomor 82 Tahun 2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan atas Perda tentang Pemakaman. 

Perda menyebutkan bahwa permakaman adalah bentuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan lahan makam yang perlu dilakukan secara produktif dan efisien. Persis seperti PP 9/1987, Perda ini juga mengatur agar, untuk ketertiban dan keteraturan, TPU dan TPBU diadakan pengelompokan tempat bagi setiap pemeluk agama. Ketentuan itu tercantum pada Pasal 3 ayat 3 dan Pasal 5 ayat 2. 

Pasal 2 petunjuk teknis Perbup menyebutkan bahwa pemerintah daerah wajib menyediakan lahan Tanah Makam untuk keperluan Pemakaman yang dikelola oleh perangkat daerah yang membidangi urusan pemakaman. Pasal 4 mengatur bahwa TPU ditetapkan sebanyak enam blok, yaitu untuk masing-masing agama. Persentasenya diatur sesuai jumlah penduduk berdasarkan agama dan keyakinannya. 

Eigendom Banjaran dikenal sebagai Tempat Pemakaman Umum (TPU) khusus non-muslim di Kabupaten Bandung. Umurnya sudah tua. Salah satu nisan menunjukkan tahun meningga 1932. 

Salah seorang penjaga Makam Eigendom Banjaran, Uun, 64 tahun, menyebut dulunya kompleks tersebut dimiliki oleh komunitas Tionghoa Banjaran dengan luas sekitar satu hektare, sebelum diambi alih pengelolaannya oleh UPT Pertamanan dan Pemakaman Kabupaten Bandung. Diperkirakan, lahan yang saat ini masih bisa digunakan tidak lebih dari seperempat dari total luasnya. 

Uun membenarkan, ada umat Kristen Pangalengan yang turut dimakamkan di Eigendom Banjaran. Ia juga mengaku menerima keluhan-keluhan terkait masalah permakaman di sana, langsung dari orang-orang Kristen Pangalengan.  

“‘Kunaon sih Pak Uun? Saya mah beli tanah dulu, zaman beberapa kepala desa ganti, ku kepala desa ayeuna teu bisa diakui,’ gitu. ‘Jadi saya teh bingung kalau nguburin, matak ke sini’,” kata Uun menirukan keluhan tersebut, ketika ditemui di Makam Eigendom Banjaran, Jumat, 14 Juni 2024. 

Di kawasan Lebakwangi, terdapat beberapa kompleks pemakaman. Selain makam Eigendom Banjaran sebagai TPU non-muslim, juga ada Tempat Pemakaman Bukan Umum (TPBU) Astana Mawar Asih khusus untuk umat Katolik, dan sebuah permakaman yang dimiliki dan dikelola oleh Yayasan Cina Kalimantan Barat.

Baca Juga: Syukur Yayat di Permakaman Katolik Bukit Anday
DATA JUMLAH UMAT KRISTEN DI JAWA BARAT 2013-2023: Bertambah Meski Pelan
Sengketa Permakaman Sentiong Pulosari, Pangalengan: Ditolak di Tanah Sendiri

Kondisi salah satu makam di permakaman Sentiong di Pangalengan, Kabupaten Bandung, 25 Juli 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)
Kondisi salah satu makam di permakaman Sentiong di Pangalengan, Kabupaten Bandung, 25 Juli 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Menjaga Hubungan Baik

Koordinator Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) Venus Nareswari berpendapat bahwa persoalan sengketa lahan Sentiong yang berujung pada sulitnya umat Kristen di Pangalengan memakamkan jemaat mereka termasuk ke dalam pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Urusan makam adalah juga hak dan kebutuhan yang melekat di setiap pemeluk agama dan keyakinan, sama halnya dengan hak dan kewajiban beribadah sebagaimana telah dijamin konstitusi. 

“Biasanya orang-orang melihat pelanggaran KBB itu terkait dengan bangunan rumah ibadah, perayaan, diskriminasi, intoleransi, tapi tidak melihat pada aspek-aspek keseharian, kayak makam,” tuturnya ketika dihubungi via telepon, Rabu, 24 Juli 2024.

Menurut Venus, usaha menyelesaikan persoalan permakaman tidak boleh hanya dilihat dari permukaan saja, melainkan perlu dari akar masalahnya. Setiap pihak, termasuk pemerintah yang dalam kasus-kasus sensitif seperti ini sering menggunakan dalih atas nama kondusivitas, harus memiliki keterbukaan dan pemahaman yang cukup. Jangan sampai tindak intoleran bersumber semata dari stigma. 

“Kadang umat itu menolak karena sebatas label ini makam Kristen,” ungkapnya. 

Dengan keterbukaan, dialog yang intensif dimungkinkan terjadi. Setiap pihak yang berkepentingan dilibatkan. 

Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Wilayah (PGIW) Jawa Barat, Paulus Wiyono mendorong agar masyarakat mampu menerima kehadiran anggota masyarakat yang berbeda dengan seluruh kebutuhan yang membersamainya. Menurutnya, hal ini perlu dilakukan oleh seluruh masyarakat lintasagama. 

“Kita punya banyak juga tokoh masyarakat yang sangat toleran walaupun berbeda,” ucapnya ketika dihubungi BandungBergerak, Sabtu, 6 Juli 2024.

Kepada umat Kristen, Paulus berharap agar mereka pun mampu menjaga hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar sehingga proses kehidupan sosial dan kultural dengan perbedaan, termasuk dalam urusan pemakaman, dapat dibangun. Dengan cara itu, keberagaman yang positif benar-benar dibangun di tengah masyarakat.

“Tentu sikap pemerintah juga harus jelas ya sebagai tuntunan masyarakat-lah, yang punya tanggung jawab menjaga keragaman,” katanya. 

*Artikel ini merupakan kerja sama antara BandungBergerak dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas. Tulisan ini juga dimuat di laman INFID: https://infid.org/ditolak-di-sentiong-cerita-umat-kristen-di-pangalengan-dalam-sengkarut-lahan-makam/

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//