Sengketa Permakaman Sentiong Pulosari, Pangalengan: Ditolak di Tanah Sendiri
Sengketa permakaman Sentiong Pulosari, Pangalengan, Kabupaten Bandung, berkali-kali terjadi. Belum ada langkah dari aparatur setempat untuk memberikan solusi.
Penulis Reza Khoerul Iman28 Juli 2022
BandungBergerak.id – Selasa, (7/26/2022) malam, Yahya bersama rekan sejawat hendak mengurusi proses permakaman seorang ibu di Sentiong, Kampung Danosari, Desa Pulosari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Tetapi mereka diadang oleh sejumlah warga setempat. Pengadangan ini tak lepas dari sengketa tanah permakaman nonmuslim Sentiong dengan warga yang berlarut-larut.
Yahya mengaku, malam itu mereka akan memasang genset untuk pencahayaan pada saat proses pemakaman. Padahal pada siang harinya, Siregar sebagai menantu dari ibu yang akan dikebumikan, telah melapor kepada Kepala Desa Pulosari, Agus Handali.
Kepada Kepala Desa Pulosari, Siregar memberitahukan bahwa ia akan memakamkan ibunya di Sentiong. Awalnya Siregar tak langsung mendapat persetujuan dari Agus. Siregar harus mendesak dengan berulang kali datang datang ke kantor desa bersama orang-orang yang disegani oleh orang desa.
Akkhirnya, Siregar pun diizinkan untuk melakukan permakaman di sana dengan syarat tidak boleh menggali lahan baru, dalam artian lain ia harus menumpuk di lahan pekuburan yang sudah ada sebelumnya.
“Kemarin kami bawa pengacara juga untuk melakukan proses perizinan permakaman. Setelah dua tiga kali menghadap ke kantor desa, katanya mereka akan rundingkan dengan mantan kepala desa yang lama. Kemudian didatangi langsung lagi oleh anaknya yang aktif pada organisasi di Pangalengan, katanya Kepala Desa tidak menghalangi-halangi cuma kesediaannya dikembalikan lagi kepada warga yang terdapat di sana. Begitupun dengan RT/RW yang kami datangi, jawabannya tetap sama,” tutur Yahya, kepada BandungBergerak.id.
Yahya dan Siregar bersyukur, setelah berbagai upaya dilakukan, akhirnya sejumlah warga yang mengadang karena keberatan dengan prosesi permakaman di Sentiong, mulai memberikan jalan. Proses permakaman dapat dilakukan dan berkahir pada pukul 21.25 WIB.
Namun menurut Yahya, kejadian ini bukan yang pertama. Jauh sebelumnya, sudah ada empat orang yang ditolak jenazahnya untuk dikebumikan di tanah yang menjadi haknya sendiri. Selain itu, Yahya mengatakan banyak terjadi perusakan sejumlah nisan di Sentiong yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggug jawab.
Siregar sendiri merasa kejadian ini sebagai bentuk ketidakadilan yang menimpa keluarganya. Ia menanyakan sebenarnya apa maksud dan tujuan sejumlah orang yang bersikap demikian kepada keluarganya. Ia juga berharap ada sikap tegas dari Kepala Desa Pulosari.
Menurut Siregar, sikap kepala desa yang merundingkan dengan kepala desa sebelumnya atau menyerahkannya kepada warga, adalah bentuk ketidaktegasan.
“Jangan perlakukan kami seperti binatanglah. Yang mau dikuburkan itu manusia, loh. Binatang saja kami kuburkan apalagi manusia. Ya itu tolonglah, mohon perhatiannya,” tegas Siregar.
Awal Mula Sengketa
Sebagai pembina rohani di Pangalengan, Yahya menuturkan kasus ditolaknya umat nonmuslim dikuburkan di tanah yang diperuntukkan sebagai permakaman nonmuslim, bukan kali pertama terjadi. Padahal, selama ini warga muslim dan nonmuslim di wilayah Pulosari selalu hidup rukun berdampingan.
Yahya menunjukkan sejumlah dokumen yang menjadi penguat bahwa tanah permakaman Sentiong merupakan tanah permakaman yang legal. Awalnya, tanah Sentiong dikelola oleh Narsono. Namun karena alasan usia, akhirnya Narsono memberikan hak pengelolaan kepada Yahya sejak 2002 dengan bukti hitam di atas putih.
Pada tahun 2004, dilakukan pengukuran ulang tanah tanah bersama Kepala Desa Pulosari. Hasil pengukuran ulang tersebut menunjukkan bahwa Sentiong memiliki tanah dengan lebar sebelah timur seluas 78,5 meter, sebelah barat seluas 78 meter, sebelah utara seluas 127 meter, sebelah selatan 135,5 meter, dan total luas tanah tersebut yaitu 10.270,3 meter persegi.
Saksi pelaksanaan pengukuran tanah di antaranya M. Nana Rukmana, Aju, Yanoe H Poly, dan Yahya sendiri. Dokumen pengukuran tanah Sentiong ditandatangi Jajang Daman sebagai Kepala Desa Pulosari, 19 Agustus 2004.
“Padahal kita itu saling menguntungkan. Kalau ada yang menguburkan di Sentiong, orang yang ke sana bayar parkir ke orang yang menjaganya, kemudian lahan yang tidak terpakai kami persilahkan untuk dimanfaatkan oleh warga sekitar yang bisa jadi pemasukan baik untuk yang garap atau buat desa,” tutur Yahya.
Nasib malang yang menimpa warga nonmuslim terkait permakaman dimulai pada tahun kedua Kepala Desa Pulosari Didin Budiman. Ada dugaan sang kepala desa ingin mempertahankan tanah garapan ayahnya yang terdapat di tanah Sentiong dengan membuat aturan dilarangnya melakukan penggalian lahan baru untuk permakaman.
Kejadian tersebut mulai terjadi sekitar pada tahun 2014. Meskipun kepala desa Pulosari telah berganti, namun kini tetap saja warga nonmuslim tidak bisa melakukan permakaman di Sentiong
Berulang kali Yahya dan warga memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka dengan menunjukkan sejumlah dokumen berupak Barita Acara Pengukuran Tanah Sentiong, Surat Kuasa penyerahan pengelolaan Sentiong, hingga peta lama yang diberikan kepala desa Jajang Daman yang menunjukkan terdapat daerah permakaman untuk perkuburan Cina.
Mereka juga sudah meminta bantuan kepada Dinas Pertamakan dan Pemakaman Kabupaten Bandung. Yahya mengatakan, pihak dinas sebetulnya sudah bersedia membantu permasalahan mereka, namun hingga saat ini bantuan tidak kunjung datang.
“Kami juga pernah meminta bantuan kepada dinas yang mengurusi permakaman, katanya mereka mau bantu dan akan mengurusi permasalahan tersebut. Tapi bantuan tersebut tidak kunjung terjadi karena mesti ada surat pengantar dari desa, sementara desa saja sudah menolak dan melarang kami melakukan pemakaman di sana,” jelasnya.
Baca Juga: Sidang Sengketa Anyer Dalam, Warga Diberi Waktu Menagih Surat kepada Lurah Kebon Waru
Kota Bandung Rawan Kasus Sengketa Tanah
Rawan Kepemilikan Tanah dan Sengketa Lahan di Jawa Barat
Kesaksian Warga
Menurut pemantauan BandungBegerak.id di lapangan, kini permakaman Sentiong dikelilingi oleh perkebunan warga. Setidaknya terdapat 15 lebih makam yang dapat ditemukan dengan kondisi yang dapat dibilang cukup memprihatinkan. Begitupula seperti apa yang dikatakan oleh Yahya, terdapat beberapa makam yang dirusak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Tiah (61), warga Kampung Danosari yang lahir dan tumbuh besar di sana mengaku awalnya kampung ini tidak sepadat sekarang. Ia berkata dulu kalau menghadap ke sebelah utara ia masih dapat melihat perkuburan orang Tionghoa. Sekarang perkuburan tersebut sudah tidak dapat dilihat secara jelas karena sudah tertutupi oleh padatnya perkampungan dan lebatnya perkebunan.
Sementara itu, pada saat BandungBergerak.id meminta konfirmasi dan keterangannya ke kantor desa, pihak desa mengaku Kepala Desa Pulosari dan Sekertasris Kepala Desa sedang berada di luar. Demikian juga dari pihak RW setempat tidak dapat dikunjungi.