• Liputan Khusus
  • Lima Orang Jemaat Gereja Katolik Bebas Tersisa di Bandung, Sembilan Tahun Beribadah di Rumah

Lima Orang Jemaat Gereja Katolik Bebas Tersisa di Bandung, Sembilan Tahun Beribadah di Rumah

Sengketa kepemilikan dan pengelolaan Gereja Albanus menyisakan lima orang jemaat Katolik Bebas tanpa gereja. Keberadaan mereka terabaikan.

Erwin, seorang diakon, memimpin ibadah ibu dan isterinya. Mereka merupakan jemaat Gereja Katolik Bebas yang kini melakukan peribadatan di rumah, 16 Juni 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah9 Agustus 2024


BandungBergerak.id - Di depan altar sederhana yang didirikan di dekat dapur, lelaki berjubah putih mematung sambil memegang kitab suci. Mulutnya komat-kamit merapalkan doa ibadah hari Minggu bersama jemaat kecil yang tidak lain dua anggota keluarganya sendiri: sang istri dan ibu. Altar tersebut diterangi nyala lilin kecil yang menerangi salib dan foto Santo Sophia, seorang martir pada masa-masa awal Gereja Kristen

Liturgi ibadat pagi itu dibacakan lirih dan khusyuk. Seorang diakon, orang yang mengenakan jubah putih itu, memimpinnya. Ia membacakan ayat dalam Injil apa adanya, tanpa penafsiran dan penjelasan selayaknya dilakukan pendeta di gereja-gereja. 

“Kini waktu cahaya bersinar pada langit, kami menjunjung hati kami pada-Mu, supaya kami tak berbuat jahat pada hari ini dengan kata dan perbuatan,” ucap diakon bersama dengan umat yang hadir. 

Setelah peribadatan selesai, Erwin, sang diakon, menyapa jemaat. “Selamat hari Minggu,” katanya, disambut senyuman. 

Tiga orang yang beribadah pagi di rumah keluarga di kawasan Muararajeun, Kota Bandung tersebut merupakan tiga dari hanya lima orang jemaat Gereja Katolik Bebas yang tersisa di Kota Bandung. Sudah sembilan tahun mereka tidak memiliki gereja. Sudah sembilan tahun mereka hanya bisa beribadah di dalam rumah. 

Jemaat Gereja Katolik Bebas di Bandung pernah memiliki tempat peribadatan yang anggun dengan gaya arsitektur romantik di lokasi strategis di kawasan Jalan Banda 16. Orang-orang menyebutnya Gereja Albanus. Nama ‘resmi’ sebagaimana tertera di fasad bangunan: Gereja Katolik Bebas St. Albanus. Saat ini bangunan peninggalan para teosof di era kolonial Hindia Belanda yang sudah berumur lebih dari seabad ini sedang direvitalisasi menjadi sebuah gereja modern, tetapi bukan untuk jemaat Gereja Katolik Bebas. 

Semua bermula dari konflik internal yang berkepanjangan. Esther, istri Erwin, menuturkan, pada tahun 2015 bangunan Gereja Albanus diambil alih dan disegel serta diklaim sebagai aset Gereja Katolik Bebas Australia. Sengketa kepemilikan tanah dan bangunan gereja ini masuk ke dalam sidang gugatan perdata di pengadilan pada 2017. 

Imbas dari sengketa ini, sejak tahun 2015 itu, jemaat Gereja Katolik Bebas tidak bisa menggunakan lagi Gereja Albanus untuk beribadah. Mereka terpaksa melakukan peribadatan di rumah masing-masing, seperti yang dilakukan Esther dan keluarganya setiap Minggu pagi. Karena keterbatasan ekonomi, sulit bagi jemaat untuk membangun gereja baru. Ditambah lagi, mengurus perizinan tempat ibadah di Indonesia bukanlah perkara mudah. 

Esther mengaku merindukan masa-masa beribadah di gereja, terutama misa menyambut momen besar keagamaan. Misa merupakan perayaan spiritual paling utama bagi komunitas ini. Misa terakhir bersama pastor Katolik Bebas dia ikuti pada tahun 2015 lalu. 

Esther mengingat suasana ketika jemaat mengikuti tradisi komuni dan mendapatkan hosti (sakramen atau roti dan anggur). Di Katolik Bebas, siapa pun bisa menjalani komuni.

“Sudah sembilan tahun tanpa misa itu luar biasa sih memang. Di tahun  2017 saya masih bisa minta komuni dari Katolik Bebas di Surabaya, tapi kami tidak punya lagi cadangan hosti tersebut,” tuturnya, Minggu, 16 Juni 2024 lalu. 

Esther juga mengingat bagaimana pendeta dalam khotbahnya, ketika Gereja Albanus masih aktif, selalu menjelaskan dan menafsirkan kitab suci kepada jemaat. Secara umum, peribadatan Katolik Bebas memang di bawah bimbingan pendeta. Begitu juga untuk ibadah-ibadah besar seperti misa, Paskah, dan Natal. 

Gereja Katolik Bebas Albanus di Jalan Banda, Bandung, 14 Desember 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Gereja Katolik Bebas Albanus di Jalan Banda, Bandung, 14 Desember 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Cair dan Fleksibel

Esther lahir dan menghabiskan masa kecilnya dalam tradisi Katolik Roma. Dia mulai memeluk ajaran Gereja Katolik Bebas pada tahun 2011. 

“Jadi secara pengetahuan saya lebih familiar juga Katolik Roma, karena lebih lama di Katolik Roma. Perjalanan saya di Katolik lumayan panjang, pindah (ke Katolik Bebas) karena pergulatan batin dan pencarian,” ungkapnya. 

Sama seperti suaminya, Erwin, Ester saat ini adalah juga seorang diakon Gereja Katolik Bebas. Diakon, diambil dari bahasa Yunani diakonos yang berarti penolong, adalah pangkat terendah dari tiga pelayanan Kristen (di bawah imam-presbiter dan uskup). Kewenangannya memimpin peribadatan skala kecil. 

Dijelaskan Esther, ajaran Katolik Bebas bersifat cair dan fleksibel. Ajaran ini bukan bagian dari Katolik Roma meski dalam hal amalan ada irisannya. Penafsiran kitab suci pada ajaran Katolik Bebas, misalnya, diserahkan kepada masing-masing individu atau jemaat. 

Kriteria menjadi pendeta di Katolik Bebas pun jauh berbeda dengan Katolik Roma. Seorang pendeta Katolik Bebas dibolehkan menikah. Perbedaan mencolok terjadi pada posisi perempuan. Di Katolik Bebas, seorang perempuan diperbolehkan menjadi pendeta.

Esther tidak menampik bahwa orang-orang sangat mungkin akan kaget dengan pandangan-pandangan aliran Gereja Katolik Bebas. Terutama dengan kebebasan setiap individu untuk menafsirkan kitab suci. Menurut Esther, ini sebuah kelebihan karena ajaran lantas tidak ditentukan oleh satu pihak, tidak dimonopoli oleh satu lembaga.

“Itu yang menjadi plus dan sekaligus minus. Kalau orangnya bijak, jalan. Kalau belum siap, kaget,” katanya. 

Esther menyatakan, Gereja Katolik Bebas juga lebih bersifat sinkretis, membaur dengan ajaran atau tradisi dari agama lain. Hal ini terlihat dari dibolehkannya seorang pendeta menikah dan dianjurkannya gaya hidup vegetarian serta ritual meditasi. Liturgi yang dipraktikkan Katolik Bebas sama seperti praktik di Katolik Roma, tetapi dalam pembacaan kitab jemaat dibolehkan membaca Injil dan Alkitab yang diterjemahkan ulang oleh Raja James. 

“Kami mengadopsi secara liturgi dan ibadah kurang lebih Katolik Roma, tapi tata cara hidupnya memang sinkretis, campur,” ujar Esther. “Ada tradisi vegan, tradisi meditasi, tradisi menikah, (tradisi) harus mencari penghasilan sendiri.”

Peribadatan jemaat Gereja Katolik Bebas di Bandung dilakukan di rumah karena mereka tidak memiliki gereja, Bandung, 16 Juni 2024. Mereka pernah memiliki Gereja Katolik Bebas Albanus. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Peribadatan jemaat Gereja Katolik Bebas di Bandung dilakukan di rumah karena mereka tidak memiliki gereja, Bandung, 16 Juni 2024. Mereka pernah memiliki Gereja Katolik Bebas Albanus. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Tergerus Zaman, Terimpit Konflik

Kehadiran Katolik Bebas di Kota Bandung tidak bisa dipisahkan dengan loji-loji freemasonry yang menjadi bagian dari gerakan teosofi di era kolonial Hindia Belanda. Bangunan Gereja Katolik Bebas St Albanus didirikan kaum teosof sebagai markas mereka pada tahun 1919. Baru setahun kemudian bangunan di Jalan Banda 16 Kota Bandung itu digunakan sebagai tempat peribadatan jemaat Gereja Katolik Bebas.  

Seiring perkembangan zaman, menurut Esther, Gereja Katolik Bebas kurang berhasil dalam mengambangkan ajaran dan jemaat. Jumlah jemaat terus menurun. Di Bandung, misalnya, dari semula 20 orang jemaat, saat ini tersisa lima orang anggota saja. Salah satu akar masalah, menurut Esther, justru terletak di urusan internal terkait pewarisan ajaran dan pengetahuan.

Esther mencontohkan ketidakmampuan merawat aset berupa dokumentasi, foto, dan arsip sejarah. Akibatnya, cerita turun-temurun hilang tak terekam. Dari perpustakaan, banyak koleksi buku yang dijual atau bahkan dibuang. Lemari berisi foto-foto para pendeta teosofi di Gereja Albanus juga lenyap. Padahal merekalah saksi bisu sekaligus bukti tentang aktivitas para mason (penggerak freemason) di Bandung. 

“Gereja Katolik Bebas ini tergerus. Jadi pewarisannya sendiri tidak disiapkan, ketahanan organisasinya tidak dipersiapkan, pengetahuannya tidak dipersiapkan,” kata Esther.

Tentang revitalisasi kompleks Gereja Albanus, Esther tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Penghilangan sebagian besar bangunan lama adalah sebentuk penghapusan sejarah. 

“Karena ini peninggalan sejarah. (Bukti bahwa) Katolik Bebas itu pernah ada, dan orang-orang Katolik Bebas itu ada dalam sejarah Kota Bandung. Itu tidak bisa dimungkiri,” katanya. 

Namun Esther juga menyadari betul bahwa kompleksitas yang membelit jemaat Katolik Bebas di Bandung merupakan pekerjaan rumah tersendiri bagi jemaat. Ia berharap Tuhan memberikan jalan terbaik bagi kelompoknya yang tinggal segelintir.  

“Kalau ke depan dapat di jalan di kasih Tuhan ada sumber daya, untuk aset, untuk kemudian reorganisasi dan struktural perhimpunan,” katanya. “Pasti akan diperjuangkan.” 

Proyek pembangunan Gereja Katolik Bebas Albanus di Jalan Banda, Bandung, 21 Juni 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Proyek pembangunan Gereja Katolik Bebas Albanus di Jalan Banda, Bandung, 21 Juni 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Mengenal Gereja Katolik Bebas 

Kehadiran Katolik Bebas tidak terlepas dari sejarah panjang gereja, dimulai dari Katolik Roma (gereja barat), kemudian era reformasi yang melahirkan Protestan dan Gereja Anglikan. Selain gereja barat, ada juga gereja timur dengan ritus-ritus sendiri sesuai dengan bangsa dan negara yang bersangkutan. Alfons S Suhandi dalam Gereja Katolik Bebas Apa Itu? menyebutkan, gereja timur dibagi lagi menjadi dua bagian, ada yang mengakui keprimasan Paus dan ada juga yang tidak mengakuinya.   

Yang tidak mengakui keprimasan disebut Gereja Ortodoks dan yang mengakui keprimasan Paus masuk dalam komunie gereja Katolik Roma, seperti Gereja Katolik Armenia, Gereja Katolik Bulgaria, dan lain-lain. Akan tetapi, di Tepi Barat juga ada gereja-gereja yang menyebut dirinya Katolik namun tidak mengakui keprimasan Paus. Gereja Katolik Bebas masuk ke dalam kelompok ini. 

“Mereka mempunyai derap misioner yang lebih besar daripada gereja-gereja ritus timur, karena mereka tidak terikat pada bangsa dan bahasa tertentu. Gereja Katolik Bebas yang muncul di Indonesia masuk kelompok ini,” tulis Alfons dalam laman Orde Fratrum Minorum St Michael Malaikat Agung Indonesia. 

Gereja Katolik Bebas atau The Liberal Catholic Church muncul sebagai reorganisasi menyeluruh pada tahun 1915-1915 atas gerakan Katolik Lama di Inggris Raya berdasarkan asas yang lebih liberal. Dalam The Liberal Catholic Church: Statements of Principles and Summary of The Doctrine yang diresmikan oleh Sinode Umum Episkopal Tom Degenaars dikatakan bahwa Katolik Bebas mendapatkan perintahnya dari keuskupan agung Katolik Lama di Utrecht, Belanda. 

“Gereja Katolik Liberal telah dengan hati-hati melestarikan suksesi ordo ini. Pandangan religius dan doktrinal dari Katolik Kuno yang historis tidak sama dengan Gereja Katolik Liberal yang, dalam mendeskripsikan dirinya sebagai Katolik, melakukannya untuk menunjukkan sumber dari ordo-ordonya,” dikutip dari The Liberal Catholic Church: Statements of Principles and Summary of The Doctrine. 

Gereja Katolik Lama muncul dari sejarah perkembangan Gereja Katolik Roma di Belanda. Pada tahun 696 Santo Wilibrordus berhasil melakukan pertobatan massal di Belanda, diangkat menjadi Uskup Utrecht oleh Paus Sergius I.  Tahun 1145, Paus Eugenius II memenuhi permintaan Kaisar Romawi Conradus II dan Uskup Utrecht Heribertus untuk memberikan wewenang kepada Uskup Utrecht agar memilih dan menahbiskan para uskup. 

Gereja Katolik Lama muncul setelah Belanda dikuasai oleh Gereja Reformasi. Saat itu, umat Katolik bercerai-berai. Bernardus Ario Sugiarto pada artikel The Resistance of The Congregation of Liberal Catholic Church Saint  Albanus Bandung in Preserving Existence amid Marginalization and Discrimination mengatakan, Paus Roma kemudian menunjuk Vikaris Apostolik Utrecht untuk melayani umat Katolik yang tersisa. Namun pada tahun 1700 ia dituduh menganut Jansenisme dan diadili oleh Paus Clemens XI. 

Gereja Katolik Lama mendapatkan jaminan dari Kerajaan Belanda pada 1853 ketika Paus Pius IX menetapkan kembali hierarki Gereja Katolik Roma di Belanda. Akan tetapi perpecahan di Katolik Roma kembali terjadi setelah Konsili Vatikan I  pada tahun 1870 karena Katolik di Jerman, Swiss, dan Austria menolak ajaran infalibilitas Paus sebagai hasil keputusan Konsili Vatikan I. 

“Mereka didukung oleh Gereja Utrecht untuk menahbiskan uskup-uskup mereka karena Gereja Utrecht telah memiliki uskup-uskup yang secara sah meneruskan suksesi kerasulan Gereja Katolik Roma. Gereja-gereja ini kemudian bersatu dalam Persatuan Gereja-gereja di Utrecht,” tulis Bernardus Ario. 

Mereka kemudian mengadakan konvensi di Munich, Jerman pada tahun 1871 dan memutuskan untuk membentuk Gereja Katolik Lama di tahun 1915 sampai melakukan reorganisasi total berdasarkan prinsip-prinsip yang lebih liberal.

Gereja Katolik Bebas Albanus di Jalan Banda, Bandung, 14 Desember 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Gereja Katolik Bebas Albanus di Jalan Banda, Bandung, 14 Desember 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Yasmin Nindya Chaerunissa dalam Gereja Katolik Bebas di Hindia Belanda 1926-1942 mengatakan, akar dari Liberal Catholic Church (LCC) adalah Gereja Katolik Kuno dan Teosofi di Inggris pada tahun 1916, teosof dan uskup pertamanya adalah Wedgwood. 

“Wedgwood berteman baik dengan Leadbeatrer, seorang master Teosofi dan mereka mulai memasukkan banyak pemikiran teosofi ke dalam ajaran Gereja Katolik Kuno. Pemikiran teosofi Wedgwood yang berseberangan dengan Gereja Katolik Kuno antara lain perihal reinkarnasi dan Wedgwood berpendapat bahwa Alkitab seharusnya dapat ditafsirkan secara bebas oleh umatnya karena agama selayaknya tidak bersifat dogmatis agar tidak menjadi suatu imam buta,” jelas Yasmin. 

Pada tahun 1919, Wedgwood menyebarkan ajaran Gereja Katolik Bebas (GKB) ke Hindia Belanda. Rintisan Wedgwood kemudian dilanjutkan oleh Uskup Jocker Yulian Andrean Mash. Mash tidak melakukan misi kristenisasi melainkan hanya  untuk melayani umatnya di Hindia Belanda. Secara resmi Gereja Katolik Bebas berdiri di Hindia Belanda pada tahun 1926 dengan berdirinya gereja di Welterveden Batavia yang dibuka secara resmi oleh Uskup Jr Van Mazel. 

Yasmin menyebut Gereja Katolik Bebas memang banyak dipengaruhi oleh gerakan teosofi. “Ajaran pokok Gereja Katolik Bebas yang pertama Gereja Katolik Bebas bagian dari Gerakan Zaman Baru. Gerekan Zaman Baru merupakan gerakan yang dibentuk dari pemikiran teosofi,” jelas Yasmin. 

Gerakan Zaman Baru merupakan nama lain dari Theosophy Society yang didirikan pertama kali oleh Helena Petrova Blavatsky di New York pada 7 September 1885, sebuah gerakan yang memadukan nilai-nilai timur dan barat dengan mempelajari the ancient wisdom atau kearifan masa lalu. 

Mereka pindah dari markasnya di New York ke Madras, India pada tahun 1887. Beralihnya markas mereka ke India didasari karena pemikiran mereka lebih condong ke arah mistisisme timur, bahkan sifat gerakan teosofi ini cenderung mengarah ke gerakan Hindu Baru. Yasmin mengatakan, dalam gerakan ini terdapat konsep reinkarnasi serta inspirasi dari ajaran mistisisme-esoteris Yahudi. Gerakan teosofi ini menggembangkan pengaruhnya ke negara-negara melalui bentuk organisasi kemanusiaan, kental dengan ritus timur, bersifat okultis, dan menjunjung kebebasan dan universitalis. 

Baca Juga: CERITA VISUAL: Sejarah Gedung Gereja Katolik Bebas Santo Albanus Bandung
Nasib Gereja Albanus, dari Markas Teosofi ke Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya

Jemaat Gereja Katolik Bebas di Bandung kini melakukan ibadah di rumah. Mereka pernah memiliki Gereja Katolik Bebas Albanus, Bandung, 16 Juni 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Jemaat Gereja Katolik Bebas di Bandung kini melakukan ibadah di rumah. Mereka pernah memiliki Gereja Katolik Bebas Albanus, Bandung, 16 Juni 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Minoritas dalam Minoritas

Di Indonesia, Gereja Katolik Bebas banyak berkembang di Pulau Jawa. Selain Gereja Santo Albanus di Kota Bandung, terdapat Gereja Katolik Bebas Santo Wilibrordus di Depok dan Gereja Katolik Bebas Santo Bonifasius di Surabaya. 

Bernardus Ario Tejo Sugiarto, dalam penelitiannya, menyebut Gereja Katolik Bebas sebagai “a minority group of a minority religion”, kelompok minoritas dari agama minoritas. Aliran ini melandaskan pemahamannya pada agama yang lebih luas, bahwa agama merupakan ikatan persaudaraan seluruh umat manusia, alam semesta, dan Tuhan. 

Ario menyoroti implikasi kebijakan Pemerintah Indonesia lewat Penetapan Presiden No.1/PNSPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Penodaan Agama yang menyatakan menyatakan sekaligus membatasi bahwa agama-agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Menurut Ario, pemahaman agama yang dibangun dengan konstruksi politik negara menjadi masalah besar bagi jemaat Gereja Katolik Bebas mengingat agama Katolik yang dimaksud regulasi tentunya adalah Katolik Roma. Pemerintah juga tidak memperhitungkan sejarah perkembangan Gereja Katolik Bebas, perperpacahan atau skisma. Masalah selanjutnya, dalam hal administratif, mereka tergabung dalam Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Binmas) Kristen, bukan pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik. 

Ario yang merupakan peneliti Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung menilai, telah terjadi hegemoni terhadap pemahaman agama yang dikonstruksikan oleh negara. Gereja Katolik Bebas harus bernegosiasi menghadapi situasi dilematis  untuk mempertahankan eksistensi mereka dengan berada di bawah Binmas Kristen. Komitmen pada kebebasan beragama yang lebih pluralistik harus dirawat. 

“Keberadaan satu agama tidak pernah menghilangkan keberadaan agama lain,” tutur Ario. “Semua keberadaan ajaran agama-agama di dunia ini hidup berdampingan dan saling menerangi.”

Ditemui di kantornya, Selasa, 2 Juli 2024, Pembimas Kristen Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Jawa Barat Harapan Nainggolan mengonfirmasi bahwa sinode Gereja Katolik Bebas terdaftar di Dirjen Binmas Kristen Kementerian Agama RI. Namun, untuk struktur organisasi gereja lokal di Bandung dan Jawa Barat, Gereja Katolik Bebas belum melaporkan lagi secara resmi keberadaannya ke Kanwil.

Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Wilayah Jawa Barat Paulus Wijono mengatakan, Gereja Katolik Bebas tidak termasuk dalam PGI. Oleh karena itu Persekutuan tidak bisa berbuat banyak terkait permasalahan internal yang membelit komunitas tersebut. Meski secara administratif tergabung dalam Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen (Protestan), menurut Paulus, dogma Gereja Katolik Bebas berbeda dengan Kristen Protestan. 

“(Anggota) PGI umumnya Gereja Protestan. Tidak ada gereja Katolik. Tentu masalah dogma dan lain sebagainya itu berbeda. Ada banyak aliran Kristen dengan poin-poin berbeda. Jadi walaupun Katolik Bebas, irisannya mungkin ke Katolik-nya,” katanya, Sabtu, 6 Juli 2024. 

Meski Gereja Katolik Bebas bukan anggota PGI, Paulus menegaskan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab menjaga hak asasi dari setiap jemaatnya. Terutama dalam penjaminan hak beribadah. 

*Artikel ini merupakan kerja sama antara BandungBergerak dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas. 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//