• Narasi
  • Kisah Penyebaran Fauna di Bumi pada Zaman Plestosen

Kisah Penyebaran Fauna di Bumi pada Zaman Plestosen

Temuan fosil Orangutan misalnya digunakan sebagai indikator keberadaan habitat hutan hujan tropis dalam merekonstruksi kondisi lingkungan di zaman dulu.

Johan Arif

Peneliti Geoarkeologi & Lingkungan di ITB, Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Migrasi Gajah melalui darat. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

10 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Penyebaran hewan atau fauna di muka bumi merupakan salah satu tanda kekuasaan Tuhan dan penyebaran ini merupakan tanda sujud mereka kepada Sang Pencipta (lihat Al Jaatsiyah 45:4, An Nahl 16:49).

Migrasi Hewan pada Zaman Plestosen

Migrasi hewan atau fauna pernah terjadi di zaman Plestosen. Tetapi, bagaimana fauna tersebut bermigrasi, apakah dengan berjalan di daratan atau berenang di laut atau dibawa oleh manusia? Kita tidak pernah tahu.

Tiga hipotesis cara migrasi hewan atau fauna. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Tiga hipotesis cara migrasi hewan atau fauna. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Tetapi, para ilmuwan mengajukan tiga hipotesis tentang hal ini yaitu melalui jembatan daratan (landbridge), jalur untung-untungan (sweepstakes route) atau berenang (island hopping). Dari ketiga hipotesis tersebut, jembatan daratan adalah yang paling banyak disepakati karena berkaitan dengan adanya fluktuasi muka air laut atau peristiwa tektonik, walaupun hipotesa lainnya mungkin saja berlaku.

Hipotesis migrasi melalui jalur Siva & Sino-Malayan. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Hipotesis migrasi melalui jalur Siva & Sino-Malayan. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Jembatan Daratan (landbridge)

Diduga, pada zaman Plestosen Awal/Bawah sekitar 1800-780 ribu tahun lalu telah terjadi migrasi fauna melalui jembatan daratan (landbridge) dari daratan Asia ke Kepulauan Indonesia. Jalur migrasi ini dikenal dengan nama jalur Siva-Malayan. Kemudian, pada zaman Plestosen Akhir/Atas sekitar 130-11 ribu tahun yang lalu terjadi lagi migrasi melalui jalur Sino-Malayan.

Penyebaran Badak (Rhinoceros sondaicus) pada zaman Plestosen (warna oranye). (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Penyebaran Badak (Rhinoceros sondaicus) pada zaman Plestosen (warna oranye). (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Jalur Siva-Malayan

Fosil-fosil fauna yang bermigrasi melalui jalur Siva-Malayan dari daratan Asia ke Kepulauan Indonesia banyak ditemukan di Sangiran Jawa Tengah yaitu pada Formasi Pucangan dan Formasi Kabuh yang berumur Plestosen Awal, antaralain badak dan gajah. Saat ini populasi badak hanya terdapat di Ujung Kulon (Jawa Barat), namun pada zaman Plestosen persebarannya meluas dari Semenanjung, pulau Sumatera hingga pulau Jawa. Contoh lain adalah gajah (genus probocidea). Penyebaran gajah dimulai dari zaman Miosen hingga Plestosen, dari Afrika hingga Amerika.

Rekonstruksi migrasi Gajah sejak zaman Miosen dari Afrika hingga Amerika Utara. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Rekonstruksi migrasi Gajah sejak zaman Miosen dari Afrika hingga Amerika Utara. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Rekonstruksi migrasi Gajah pada zaman Plestosen mencapai seluruh benua Amerika. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Rekonstruksi migrasi Gajah pada zaman Plestosen mencapai seluruh benua Amerika. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Sekarang, ada dua jenis gajah di dunia yaitu Loxodonta africana (di Afrika) dan Elephas indicus (di India, Vietnam, Thailand, Sumatera & Kalimantan). Pada zaman Plestosen ada dua jenis gajah yaitu mammoth dan stegodon (yang fosilnya banyak ditemukan di Indonesia). Mereka sudah punah sekarang. Diduga jenis Elephas mulai berkembang pada zaman Plestosen Tengah-Akhir, sedangkan jenis Stegodon berkembang lebih awal di Pulau Jawa. Apa sebab jenis Stegodon ini tidak berkembang pada zaman Plestosen Akhir di Pulau Jawa, hal ini masih menjadi misteri di dunia ilmu pengetahuan.

Penyebaran dua jenis Gajah di dunia, di Afrika & di Asia. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Penyebaran dua jenis Gajah di dunia, di Afrika & di Asia. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Baca Juga: Misteri Masyarakat Buni dari Batujaya
Kisah Venus Sang Berhala Para Dewa
Pemburu-Pengumpul sebagai Cara Hidup Manusia yang Paling Tua

Orangutan & Jalur Sino-Malayan

Salah satu hewan yang diduga menyebar melalui jalur Sino-Malayan adalah orangutan (pongo). Orangutan pertama kali dideskripsikan pada awal abad ketujuh belas oleh dua orang ilmuwan dari Belanda yaitu Jacob de Bondt dan Nicholaas Tulp. Kemudian, Carl von Linné memberi nama taksonomi sebagai Simia satyrus. Namun, pada tahun 1927 nama taksonomi ini dirubah menjadi Pongo pygmaeus oleh International Commission on Zoological Nomenclature.

Stratigrafi Fauna di Jawa Tengah dan Jawa Timur berdasarkan kajian fosil vertebrata. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Stratigrafi Fauna di Jawa Tengah dan Jawa Timur berdasarkan kajian fosil vertebrata. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Orangutan, simpanse dan gorila berada dalam keluarga yang sama yaitu pongidae (pongid). Mereka sering disebut sebagai kera berbadan besar (hominoid). Namun, di antara mereka orangutan memiliki ukuran tubuh dan ukuran gigi paling besar. Yang menarik lagi, dari hasil penelitian genetika, kekerabatan orangutan dengan manusia adalah jauh dibandingkan dengan kekerabatan antara manusia dengan simpanse.

Fosil gigi Stegodon trigonocephalus dari Pubalingga, Jawa Tengah. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Fosil gigi Stegodon trigonocephalus dari Pubalingga, Jawa Tengah. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Kemudian, dari hasil kajian genetik ini diduga nenek moyang (tetapi fosilnya belum ditemukan) antara manusia dengan simpanse hidup pada sekitar zaman Miosen-Pliosen antara 5-6 juta tahun yang lalu.

Sekarang, Orangutan hanya terdapat di kawasan hutan tropis di kepulauan Asia Tenggara. Genus ini diwakili oleh dua spesies yaitu P.pygmaeus abelii yang ada di pulau Sumatera, dan P.pygmaeus pygmaeus di Tanjung Putin, Kalimantan. Sedangkan Simpanse dan Gorila hanya terdapat di Afrika. Tetapi di zaman Plestosen, keberadaan Orangutan tidak terbatas di kepulauan Asia Tenggara saja. Jejak mereka yang berupa fosil tulang dan giginya tersebar di Asia daratan. Fosil gigi Orangutan berumur Plestosen Tengah hingga Akhir banyak terdapat di Cina Selatan dan di Indo-China yaitu di Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, Semenanjung Malaysia dan di Indonesia. Sebaliknya jejak fosil Simpanse dan Gorila sangat jarang ditemukan baik itu di Afrika maupun di Asia Selatan.

Stratigrafi Fauna di Jawa Tengah dan Jawa Timur berdasarkan kajian fosil vertebrata. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Stratigrafi Fauna di Jawa Tengah dan Jawa Timur berdasarkan kajian fosil vertebrata. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Fosil Orangutan dari Sumatera yang sebagian besar terdiri dari ratusan gigi ditemukan di tiga gua di Sumatera Barat, yakni Lida Ajer, Sibrambang, dan Djamboe. Secara taksonomi, Hooijer (1948) menamakannya sebagai Pongo pygmaeus palaeosumatrensis. Umur mereka diperkirakan Plestosen Akhir/Atas sekitar 30-40 ribu tahun yang lalu.
Kekerabatan antara Manusia dengan Hominoid. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Kekerabatan antara Manusia dengan Hominoid. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Baru-baru ini fosil Orangutan yang lebih tua ditemukan di Pulau Jawa. Ada tiga lokasi di mana fosil Orangutan tersebut ditemukan yaitu Trinil, Punung dan Sangiran. Di Trinil (Jawa Timur) dan Sangiran (Jawa Tengah) ditemukan fosil Orangutan yang berumur Plestosen Bawah-Tengah. Fosil Orangutan dari Trinil diwakili oleh dua gigi geraham (molar) dari Formasi Kabuh. Namun, masih diperdebatkan apakah kedua gigi geraham tersebut milik Orangutan atau Homo erectus. Fosil Orangutan dari Sangiran ditemukan dari bagian bawah Formasi Kabuh. Fosil Orangutan yang ditemukan di Punung (Jawa Timur) berumur lebih muda yaitu Plestosen Tengah-Akhir.

Perkiraan hidupnya nenek moyang Manusia & Simpanse pada zaman Miosen-Pliosen. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Perkiraan hidupnya nenek moyang Manusia & Simpanse pada zaman Miosen-Pliosen. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Leluhur dan Migrasi Orangutan

Ada dua versi mengenai taksonomi kera besar, yaitu Simpanse, Gorila dan Orangutan berada dalam satu famili Pongidae, sedangkan pada tingkatan subfamili orangutan terpisah dari Simpanse dan Gorilla.

Orangutan adalah hewan arboreal (lebih banyak hidup di pepohonan) yang hidup di hutan hujan tropis. Oleh karena itu, dalam rekonstruksi lingkungan, kehadiran fosil Orangutan digunakan sebagai indikator keberadaan habitat hutan hujan tropis termasuk, misalnya, "lingkungan hutan yang sedikit terbuka". Kemudian, berdasarkan temuan terbaru fosil Orangutan berumur Plestosen Awal/Bawah di Sangiran, diduga adanya mosaic/lingkungan hutan terbuka dan hutan hujan tropis yang berlaku pada zaman Plestosen Awal/Bawah di Sangiran.

Orangutan, Simpanse & Gorila berada dalam famili Pongidae (atas). Penemuan fosil Orangutan di Vietnam Utara (bawah). (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Orangutan, Simpanse & Gorila berada dalam famili Pongidae (atas). Penemuan fosil Orangutan di Vietnam Utara (bawah). (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Salah satu pertanyaan yang sering ditanyakan adalah siapa leluhur atau nenek moyang Orangutan dan di mana mereka tinggal? Walaupun hal ini masih terus menjadi bahan perdebatan di kalangan para ahli, ada yang menduga bahwa leluhurnya adalah Palaeosimia dari Siwalik (Pakistan) yang hidup pada zaman Plestosen Awal/Bawah. Fosil Palaeosimia ini berupa gigi geraham (molar) ketiga yang sekarang disimpan di Indian Museum, Calcuta. Pendapat lainnya memperkirakan bahwa leluhur mereka hidup pada zaman Miosen di Cina Selatan, Thailand atau Pakistan, yaitu Lufengpithecus, Sivapithecus atau Khoratpithecus piriyai.

Orangutan terpisah dari Simpanse & Gorila dalam tingkatan subfamili. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Orangutan terpisah dari Simpanse & Gorila dalam tingkatan subfamili. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Bagaimana Orangutan bermigrasi di bumi ini juga masih menjadi misteri hingga sekarang. Orangutan adalah hewan yang hidup di hutan tropis. Mereka adalah makhluk arboreal (lebih banyak hidup di pepohonan) bukan makhluk darat (terrestrial) seperti Simpanse dan Gorila.

Fosil Khoratpithecus piriyai. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Fosil Khoratpithecus piriyai. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Diduga ada dua daratan besar pada zaman Plestosen yaitu Daratan Sunda & Sahul. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Diduga ada dua daratan besar pada zaman Plestosen yaitu Daratan Sunda & Sahul. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Kesimpulan

Penyebaran hewan ke semua penjuru bumi dengan cara bermigrasi merupakan bukti adanya kekuasaan Tuhan. Tetapi bagaimana hewan-hewan tersebut bermigrasi tetap merupakan misteri bagi dunia ilmu pengetahuan hingga sekarang. Penyebaran golongan gajah dan Orangutan melalui jalur Siva dan Sino-Malayan diduga melalui darat (jembatan daratan) pada zaman Plestosen di mana pada zaman tersebut terdapat daratan besar yang dinamakan Daratan Sunda.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel Johan Arif, atau tulisan-tulisan lain tentang Situs Geologi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//