Aksi Menolak Revisi UU Pilkada Masih Berlanjut di Bandung, Seluruh Rakyat Boleh Beraksi
Aksi demonstrasi menyuarakan aspirasi dan kritik adalah hak setiap warga negara. Mahasiswa maupun rakyat umumnya berhak melakukan demonstrasi.
Penulis Awla Rajul27 Agustus 2024
BandungBergerak.id - Sejumlah mahasiswa dari beberapa kampus di Bandung kembali melakukan aksi dengan tajuk “Rakyat Menggugat Negara”, di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Senin, 26 Agustus 2024. Masih melakukan pengawalan terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), massa aksi menyerukan bahwa demonstrasi di jalan bukan hanya berhak dilakukan oleh mahasiswa, tetapi merupakan hak yang melekat kepada seluruh elemen masyarakat.
Massa aksi mulai melakukan longmars dari kampus Unisba Tamansari sekitar pukul satu siang, dengan rute melalui Baltos, Taman Dago Cikapayang, melalui Gasibu, depan Gedung Sate, hingga tiba di Gedung DPRD Jawa Barat. Aksi yang berakhir hingga pukul lima sore ini berjalan damai, tanpa bentrokan dengan aparat keamanan.
Koordinator lapangan aksi Muhammad Zakki (23 tahun) menerangkan, aksi yang dilakukan merupakan pesan bahwa bara api perjuangan dan perlawanan mahasiswa di Bandung untuk menolak revisi UU Pilkada belum redup. Ia juga menyebutkan, mempertimbangkan kondisi psikologis massa yang bentrok dengan aparat pada dua hari aksi sebelumnya, pihaknya pun melakukan aksi damai untuk mempertahankan bara api perjuangan mengawal keputusan MK.
“Hari ini yang paling utama adalah kita ingin mematahkan propaganda dari kekuasaan bahwa aksi hanya milik mahasiswa. Kita ingin mematahkan stigma itu di masyarakat. Hari ini kita bisa melebur dengan rakyat, tidak melihat entitas mana pun, mau dia buruh, petani, atau pekerja swasta dan sebagainya. Kita tetap bisa bergerak bersama untuk melakukan perjuangan,” ungkap mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB) ini saat ditemui di Unisba.
Zakki menyebut, ke depannya, Aliansi Rakyat Menggugat Negara akan tetap mengawal UU Pilkada dan beberapa rancangan undang-undang lain yang akan dikebut sebelum rezim pemerintahan Jokowi berakhir, seperti RUU TNI-Polri dan RUU Penyiaran. Mahasiswa akan mengawal jalannya demokrasi, sebab momen ini adalah titik persatuan yang menjadi permulaan gerakan bersama di Bandung.
“Kita ke depan ingin eskalasinya lebih besar. Karena dilihat dari hari ini dan hari sebelumnya turun sangat jauh. Maka kemudian kita ingin memperbarui soal demonstrasi. Demonstrasi bukan hanya kita konsolidasi, menentukan aksi dan chaos. Kita ingin memperbarui demonstrasi bahwa banyak agitasi yang bisa kita lakukan,” terangnya.
Selain itu, massa aksi lainnya, Denanda Mulya Lingga (23 tahun), mengatakan bahwa ia turun aksi karena kesadaran penuh untuk menyampaikan ketidakpercayaannya kepada rezim pemerintahan Jokowi. Ia juga menyerukan agar seluruh lapisan masyarakat untuk tetap mengawal UU Pilkada dan jalannya demokrasi di akhir pemerintahan Jokowi dengan kesadaran penuh. Ia juga mendorong masyarakat untuk mengawal komitmen KPU dan DPR yang sepakat menggunakan keputusan MK.
“Jangan sampai kita lengah. Kalau dia mencederai komitmennya sendiri, bukan hanya di Bandung, di DPRD Jabar. Pun ada kemungkinan kami akan turun nanti ke Ibukota untuk mengawal persoalan Pilkada,” kata mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Langlangbuana ini.
Dalam aksinya, Nanda, demikian ia akrab disapa menyerukan kalau ada satu asas hukum yang harus ditegakkan, yaitu equality before the law (semua sama di mata hukum).
Baca Juga: Lebih dari 100 Orang Korban Luka, Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat Mengecam Tindak Kekerasan Aparat dalam Aksi Kawal Putusan MK di Bandung
Cerita Relawan Medis di Aksi Peringatan Darurat Bandung ketika Hujan Batu dan Gas Air Mata
Cerita Para Pedagang Kecil di Bandung dalam Gelombang Protes Peringatan Darurat
Aksi Demonstrasi Milik Seluruh Rakyat
Salah seorang massa aksi, Ahmad Siddik Tanjung (23 tahun) menerangkan pihaknya sempat dicegat dan ditanyai oleh polisi saat menuju ke Gedung DPRD Jabar. Mereka ditanyai apakah mereka mahasiswa, lantaran tidak ada satupun dari yang mengenakan almamater. Hal ini bukan dirasakan olehnya pada Senin itu saja. Aksi pada Jumat, 23 Agustus 2024 lalu, ia pun dicegat polisi dan dilarang melakukan aksi karena tidak mengenakan almamater.
Siddik berpendapat bahwa memunculkan narasi almamater dan nonalmamater merupakan upaya memecah-belah gerakan mahasiswa dan rakyat (non-almet). Upaya macam itu sudah dilakukan sejak gelombang aksi mahasiswa pada reformasi 1998. Fakta itu diketahui oleh Siddik dari buku-buku sejarah yang ia baca tentang gerakan mahasiswa 98. Ia juga menyebut, banyak informasi dan narasi yang berseliweran di media sosial berkaitan itu, misalnya, yang melakukan aksi tanpa almet akan “dibasmi” atau dicap anarko.
“Itu mengkotak-kotakkan hanya mahasiswa yang boleh aksi. Yang seharusnya kan yang menyampaikan aspirasi itu adalah orang yang gak pakai almet (rakyat), sepaham saya. Siapa aja, ikut dalam gerakan. Mau dia pakai baju kuning, hitam, pakai almet atau enggak ya boleh-boleh aja,” tegas mahasiswa Fakultas Hukum Unisba ini.
Siddik menyebut, mahasiswa turun ke jalan bukan hanya karena persoalan penolakan atas Revisi UU Pilkada yang mengangkangi keputusan MK. Tetapi, mahasiswa turun ke jalan karena akumulatif rusaknya demokrasi pada pemerintahan Jokowi. Selain isu Pilkada, ada persoalan demokrasi, penggusuran, hingga pelanggaran HAM berat yang belum pernah diselesaikan.
“Ini bukan hanya tentang isu pemilu dan dan tentang pilkada. Ini akan panjang, ada isu demokrasi, penggusuran, pelanggaran HAM berat belum pernah diselesaikan. Ini tentang kehancuran negeri, kita akan terus-menerus menyampaikan aspirasi di jalan bahwa negeri ini sudah hancur, hak demokrasi dibatasi,” katanya tegas.
Nanda juga mencermati persoalan pengkotak-kotakan ini. Pola pikir hanya mahasiswa yang boleh aksi perlu ditanyakan kembali. Nanda mempertanyakan, langkah konkret alternatif apa yang bisa dilakukan untuk perubahan agar pemerintah mau mendengar jeritan rakyat, selain aksi. Sebab, jika rakyat hanya diam saja, tidak melakukan aksi, justru pemerintah melakukan kesewenang-wenangan.
Aksi yang dilakukan oleh mahasiswa ini merupakan bentuk aksi solidaritas untuk seluruh lapisan masyarakat untuk menyatakan bahwa rezim Jokowi selama dua periode sama sekali tidak pernah mendengar kepedihan yang dialami dan teriakan rakyat.
“Sekarang, rakyat mana yang berani menggugat kalau memang bukan dari kesadaran kami? Mahasiswa dan rakyat yang lain. Jadi jangan berpikir kayak ngapain penuh-penuhin sampai macet jalanan. Justru kita menyerukan hak-hak rakyat,” ungkap Nanda, retoris dan berapi.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Awla Rajul, atau tulisan-tulisan lain tentang Revisi UU Pilkada