Cerita Para Pedagang Kecil di Bandung dalam Gelombang Protes Peringatan Darurat
Suhu demokrasi sedang bergerak setelah DPR dan pemerintah mengutak-atik konstitusi negara demi kepentingan keluarga. Para pedagang kecil mengadu nasib sendirian.
Penulis Ivan Yeremia24 Agustus 2024
BandungBergerak.id - “Saya mah pedagang kecil, mas. Saya pengin dibantu, mas, saya ga pengin ada bansos, PKH (Program Keluarga Harapan). Saya maunya harga bahan pokok diturunin, mas,” ujar Samli, pedagang cilor dari Brebes yang ikut berjualan pada aksi demonstrasi besar-besaran di Gedung DPRD Jabar, Jalan Diponegoro, Bandung, Kamis, 22 Agustus 2024.
Meski dari Brebes, tutur bahasa Samli sudah bercampur dengan bahasa Sunda. Bandung memang kota urban yang menjadi tujuan orang-orang mengadu nasib. Urusan perut tak bisa dibatasi dengan wilayah administrasi, juga dengan gejolak politik yang memanas.
Bagi Samli dan pedagang kecil lainnya, harga-harga kebutuhan pokok adalah kunci. Sayangnya, masalah mereka tak secepat penggodokan Revisi UU Pilkada oleh DPR dan pemerintah yang dilakukan secepat kilat. Barangkali menurunkan harga sembako tak sepenting mengusung calon kepala daerah agar bisa duduk di puncak kekuasaan.
Revisi UU Pilkada yang dikerjakan secepat kilat oleh DPR menimbulkan berbagai aksi protes dari berbagai kalangan sejak beberapa hari belakangan. Revisi UU Pilkada adalah pencekalan dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 20 Agustus 2024 mengenai perubahan ambang batas parlemen dan penegasan usia untuk pencalonan kepala daerah.
Setelah draf revisi UU Pilkada disetujui pada jam 12.00 tanggal 21 Agustus 2024, rakyat pun bergerak dan bersuara. Massa perodemokrasi yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat sipil, termasuk pelajar, berbondong-bondong mengepung Gedung DPRD Jabar untuk memprotes langkah elite politik yang sudah keterlaluan mengangkangi Mahkamah Konstitusi.
Samli pun akhirnya berada di tengah pusaran demokrasi yang memanas. Pria bernama lengkap Samli Ramli berusia 30 tahun ini sering berdagang ketika aksi demonstrasi terjadi. Menurutnya, berdagang saat demonstrasi terjadi akan jauh lebih mudah jika dibandingkan berkeliling Kota Bandung. Mengadu peruntungan di tengah lautan massa juga tidak khawatir diusir larangan berdagang.
“Saya kalau nongkrong di sekolahan atau keliling ada sih ada (penghasilan), mas, ya tapi minim gitu. Terus kalau orangnya ga dikenal mah kadang suka diusir mas,” ungkap Samli, yang telah lima tahun hidup di Bandung.
Samli mengaku tidak mengetahui pokok permasalahan yang menjadi tuntutan aksi massa prodemokrasi bertajuk Peringatan Darurat itu. Tapi ia mendukung tuntutan yang dilakukan oleh para mahasiswa untuk membatalkan revisi UU Pilkada yang dibuat DPR.
Seringnya demonstrasi di berbagai kota menurut Samli menjadi indikasi bahwa negara Indonesia sedang tidak baik-baik saja. “Di Indonesia mah lagi darurat mas, demo wae,” ujar Samli, mengenai demokrasi yang ada di Indonesia saat ini.
Sebagai pedagang dan masyarakat kecil Samli merasa kenaikan bahan-bahan pokok adalah dampak dari buruknya demokrasi yang ada di Indonesia saat ini. Ketidakstabilan harga ini menyulitkan kehidupannya yang terus berjuang setiap harinya untuk mencukupi kebutuhan keluar. Ia bahkan kesulitan membeli beras dan sering kali hanya mampu membeli beras raskin dengan kualitas yang sangat rendah.
“Kalau bagi saya memang berat, ya karena penghasilan saya minim,” keluh Samli yang saat ini juga sedang berjuang menyekolahkan anaknya yang baru masuk SD.
Samli bahkan sering kali harus bekerja sampai larut malam atau bahkan sampai pergantian malam. Baginya jam 24.00 masih berdagang sudah biasa, pernah 01.00 ia masih mengitari Cimanuk, Jalan Saparua, Jalan Taman Sari, dan daerah Dago demi menghabiskan dagangannya.
Kerja keras tersebut ia lakukan untuk menambah modal buat jualan esok harinya, serta mencukupi kebutuhan membayar kontrakan dan memberi makan keluarga. Nasib sehari-hari yang dialami Samli atau pedagang kecil lainnya belum tentu segera dipayungi undang-undang oleh DPR maupun pemerintah.
Baca Juga: Suara Ibu Kembali Turun ke Jalan di Aksi Peringatan Darurat di Bandung: Jangan Bungkam Anak-anak Kami!
Cerita Pelajar di Bandung dalam Lautan Demonstrasi Rakyat Gugat Negara, Pulang Sekolah Langsung Unjuk Rasa
Bukan Karnaval Kemerdekaan di Dago Elos
Tidak Punya Tempat
Tidak jauh dari tempat Samli berdagang, Alex (57 tahun), begitu ia ingin dipanggil, setia dengan gerobak miliknya yang sudah ia anggap legendaris. Sama seperti Samli, Alex pedagang kaki lima minuman yang berjuang hidup di tanah perantauan.
Di atas roda, Alex menawarkan air putih, teh manis dingin, dan juga air jeruk. Sehari-hari ia biasa membuka lapak di depan Museum Geologi yang jaraknya dua lemparan batu batu dari Gedung Sate.
Bagi Alex, aksi-aksi demonstrasi adalah peluangnya untuk meningkatkan penghasilan. Di mana ada aksi di situ akan ada banyak orang. Setiap orang yang aksi pasti membutuhkan minuman. Apalagi suhu di Bandung sedang terik-teriknya karena kemarau.
“Pokoknya di mana ada demo, di mana ada keramaian, di situ kita dagang,” ujar Alex yang telah berdagang 24 tahun lamanya.
Senada dengan Samli, Alex juga tidak mengerti inti persoalan yang mendorong massa prodemokrasi berdatangan ke Gedung DPRD Jabar. Meskipun demikian Alex merasa aksi ini sangat bagus agar pemerintah memahami unek-unek dari mahasiswa dan masyarakat.
Ia mengaku kecewa dengan respons pemerintah yang tidak menanggapi keresahan masyarakat. Menurutnya jika pemerintah mau mendengarkan suara rakyat tidak akan terjadi aksi-aksi demonstrasi. Ia berharap pemerintah perlu untuk menciptakan ruang-ruang diskusi bagi rakyat sehingga pembahasan persoalan bisa cepat selesai dan tidak berlarut-larut.
Bagi pedagang kaki lima seperti Alex, ada persoalan lain yang dirasa sangat mendesak, yaitu nasib-nasib pedagang kecil seperti dirinya. Di negeri yang sudah 79 tahun merdeka ini, nasib para pedagang kecil tidak baik-baik saja dan bahkan masih terjajah oleh situasi.
Menurut Alex, belum ada ruang-ruang bagi para pedagang kecil untuk berjualan dengan rasa aman. “Seperti kami ga punya tempat ini kan, selalu dikejar-kejar Satpol PP. Berarti kan kami belum merdeka,” ujar Alex yang sudah dari tahun 1990 merantau ke Kota Bandung.
Dan lagi-lagi seandainya keluhan Alex didengar DPR dan pemerintah, apakah akan secepat kilat dibuatkan undang-undang perlindungan bagi mereka?
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain dari Ivan Yeremia, atau artikel-artikel lain tentang Revisi UU Pilkada