• Cerita
  • Bukan Karnaval Kemerdekaan di Dago Elos

Bukan Karnaval Kemerdekaan di Dago Elos

Warga Dago Elos berjalan kaki dalam karnaval di hari merdeka. Bukan untuk merayakan kemerdekaan, tapi menyuarakan perjuangan mempertahankan ruang hidup.

Warga Dago Elos berjalan kaki menyuarakan perlawanan dalam karnaval kemerdekaan di sepanjang Jalan Ir. H. Djuanda, Kota Bandung, Jumat, 17 Agustus 2024 siang. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau19 Agustus 2024


BandungBergerak.id - Di tengah riuh perayaan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia di Bandung, warga Dago Elos menemui kenyataan berbeda. Hari kemerdekaan tak pernah lagi sama bagi mereka sejak lahan dan rumah diserobot mafia tanah. Perjuangan merebut kemerdekaan ruang hidup masih panjang.

Jika masyarakat lainnya menggelar karnaval dengan mengenakan serba-serbi pakaian yang meriah atau baju adat yang mewah, anak-anak Dago Elos memakai pakaian hitam-hitam dengan kaus bertuliskan “Dago Elos Never Lose”. Tidak lupa, beberapa poster perlawanan di genggaman. Ibu-ibu mereka berpakaian sama sederhananya, dengan spanduk dan bendera dipegang erat: “Dago Melawan” dan “Kita belum Merdeka”.

Sabtu, 17 Agustus 2024 siang itu, karnaval warga  Dago Elos dimulai dari Balai RW 02. Mereka berjalan kaki di sepanjang Jalan Ir. H. Djuanda menuju Simpang Dago, lalu kembali ke Balai RW 02. Turut bergabung dalam arak-arakan itu para tetangga di luar lahan sengketa.

Koordinator Forum Dago Melawan, Angga Sulistia Saputra menyatakan, ini bukan karnaval kemerdekaan, tapi aksi menyuarakan perjuangan mempertahankan ruang hidup karena penjajahan nyatanya masih terjadi. Jika dulu bangsa ini terjajah oleh bangsa lain, saat ini warga dijajah oleh bangsanya sendiri.

“Yang pasti apa yang kita peringati hari ini di tanggal 17 bagi warga Dago Elos bukan sebagai peringatan perayaan kemerdekaan, tapi justru kami berupaya untuk memperingatkan negara bahwa masih banyak kondisi-kondisi rakyat yang tidak merasakan kemerdekaan,” ujarnya. “Dan kami menyatakan bahwa kita belum merdeka. Tidak merasakan kemerdekaan, atau merasakan kemerdekaan yang semu.”

Angga mengungkapkan, negara seharusnya bisa melihat kondisi warga, lalu berbuat. Bukannya mendiamkan. Kemerdekaan harus dirasakan secara nyata oleh warga dan negara berkewajiban untuk memastikan hal itu.

Sebuah karnaval kemerdekaan di tengah ketidakjelasan nasib warga atas ruang hidup membuat Yanti, 44 tahun, miris. Dia prihatin menyaksikan anak-anak harus merayakan hari kemerdekaan bangsa ini dalam suasana yang berbeda dengan kebanyakan anak-anak lain. Nyaris tak ada kemeriaahan. Justru warna hitam dan suram yang mencuat.

“Biasanya anak-anak beradu cerita: ‘Kemarin di kampungmu adain apa? Tiba-tiba (sekarang) kalau anak kita, nggak (bisa berdadu cerita). Kita belum merdeka,” tuturnya.

Melihat anak-anak Dago Elos bersemangat ikut berjalan dalam karnaval, Yanti menyimpan harapan. Dia ingin agar konflik lahan segera tuntas dan tahun depan, anak-anak kembali bisa merayakan kemerdekaan secara meriah bersama dengan teman-teman mereka dari kampung-kampung tetangga. Cerita yang kemudian dibagikan adalah cerita tentang kemeriahan perayaan itu.

Een, 56 tahun, kehilangan pekerjaan setelah gerobak gorengan dan kopinya hancur dalam penyerbuan aparat kepolisian 14 Agustus 2023 lalu. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Een, 56 tahun, kehilangan pekerjaan setelah gerobak gorengan dan kopinya hancur dalam penyerbuan aparat kepolisian 14 Agustus 2023 lalu. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Kisah Een dan Gerobaknya Yang Hancur

Een sudah berusia 56 tahun, tapi dia tidak ingin ketinggalan mengikuti karnaval. Dia juga ada di hampir setiap aksi yang digelar warga Dago Elos dalam beberapa tahun belakangan. Juga bagi Een, Dago Elos belum merdeka.

“Perasaannya ibu cuman rayakeun (bersama) anak-anak. Daerah ini belum merdeka karena tanah mau digusur,” tuturnya. “Belum merdeka.”

Sudah puluhan tahun Een tinggal di Dago Elos. Dia ingat betul, ketika pertama kali datang dan tinggal di kampung ini pada 1980-an, tanah Dago Elos masih dikelilingi rumput dan tak terurus. Jumlah warga yang menempati dan mengurus lahan kian tahun kian banyak. Ketika sekarang tiba-tiba ada pihak yang mengklaim hak  atas tanah, tentu mereka tidak tinggal diam.  

Een memiliki tiga (3) orang anak dan  12 orang cucu. Suaminya adalah pekerja harian di bengkel milik orang lain. Mereka menikah pada tahun 1981 dan dikaruniai anak pertama empat tahun kemudian. Pada tahun 1986, Een membeli gerobak kecil atau roda dengan menggunakan uang pinjaman. Ia bersikukuh untuk membantu sang suami mengais pendapatan dengan berjualan gorengan dan kopi demi mengganjal biaya dapur.

Dengan pendapatan yang seadanya itulah, Een dan sang suami sedikit demi sedikit membangun rumah mereka. Meskipun tidak megah, itulah tempat tinggal yang telah menemani perjalanan panjang keluarga Een. Dia tidak bisa membayangkan jika kelak rumah itu, yang dia bangun bersama suami dengan memeras keringat sendiri, benar-benar lenyap oleh penggusuran.

“(Saya) Mau tinggal di mana? Apalagi udah tua, gak ada usaha kan. Ibu gak punya suami, sekarang juga ikut anak,” kata Een.

Suami Een meninggal 12 tahun lalu. Kini dia tinggal bersama anaknya yang kedua, menantu laki-laki, serta empat orang cucu. Sementara itu, anak bungsunya juga tinggal di Dago Elos, tetapi mengontrak rumah.

Sudah setahun ini Een kehilangan penghasilan karena tidak bisa lagi bekerja. Gerobak tempatnya berjualan gorengan dan kopi hancur akibat serbuan aparat kepolisian ke kampung Dago Elos pada 14 Agustus 2023 lalu. Tidak ada modal dimiliki Een untuk membeli gerobak.

Di tengah konflik tanah yang masih berlangsung, semua menjadi serba sulit. Untuk mencukupi biaya hidup sehari-hari, Een terpaksa bergantung pada penghasilan sang menantu yang bekerja sebagai tukang ojek pangkalan. Belum lagi yang juga harus dipikirkan: biaya sekolah empat orang cucu dan harga kebutuhan pokok yang terus melambung.  

“Dulu mah lumayan, lagi ada roda. Malam keluar jualan jam tiga subuh, banyak orang ke pasar minum kopi. Sekarang (roda) sudah dihancurkan. Setahun ibu diam,” tuturnya.

Een berharap agar tanah dan rumahnya tidak hilang. Dia berharap agar seluruh warga tetap bisa tinggal di Dago Elos, kampung tercinta.

“(Kami) gak akan pergi dari sini, matak (makanya) melawan semua,” katanya.

Siti Hasanah, 52 tahun, turut dalam perjuangan warga Dago Elos mempertahankan ruang hidup. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Siti Hasanah, 52 tahun, turut dalam perjuangan warga Dago Elos mempertahankan ruang hidup. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Epos untuk Dago Elos
Dari Orasi hingga Istighasah Mewarnai Malam Peringatan 1 Tahun Brutalitas Aparat Kepolisian di Dago Elos
Sewindu Sudah Warga Dago Elos Turun ke Jalan, dari Festival Kampung Kota ke Pengadilan

Belum Tenang

Perempuan Dago Elos lainnya, Siti Hasanah, 52 tahun, juga ada di barisan karnaval warga. Menggunakan baju hitam dan memegang spanduk perlawanan, dia berharap agar kabar perlawanan Dago Elos semakin diketahui masyarakat luas sehingga solidaritas mengalir semakin deras. Selama belum benar-benar menang, warga tidak bisa tenang.

“Indonesia merdeka, cuman warga Dago Elos belum merdeka karena tanah warga Dago Elos masih disengketain,” ujarnya. “Jadi (kami) belum tenang.”

Siti, seorang ibu rumah tangga, tinggal di Dago Elos sejak tahun 1982 bersama sang suami, pensiunan pekerja biro bagian umum BRIN. Mereka memiliki dua anak. Si sulung sudah bekerja, sementara si bungsu masih berkuliah sambil bekerja.

Gak kebayang kalau misalkan terjadi penggusuran, mau ke mana,” katanya. “Makanya ibu ikut terus berjuang.”

 

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Emi La Palau atau artikel-artikel lain tentang Dago Elos

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//