Suara Ibu Kembali Turun ke Jalan di Aksi Peringatan Darurat di Bandung: Jangan Bungkam Anak-anak Kami!
Kaum ibu yang tergabung dalam gerakan Suara Ibu turut beraksi mendukung gerakan massa prodemokrasi aksi Peringatan Darurat. Mereka alumni reformasi 1988.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah23 Agustus 2024
BandungBergerak.id - Perempuan yang memakai topi bucket hat sembari menyangga tongkat ditemani sang anak itu, berorasi. Terik matahari tidak menjadi soal. Dua puluh enam tahun yang lalu di tempat yang sama, perempuan yang kini berusia 64 tahun itu juga turun ke jalan bersama ribuan orang yang menuntut keadilan.
“Saya bangga kita bergerak. Semoga makin membesar sampai tuntutan yang kita perjuangkan menang,” ujar Titie Pudji, perempuan itu, dalam orasinya di tengah aksi “Peringatan Darurat” di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Bandung, Kamis, 22 Agustus 2024.
Dalam kemelut tahun 1998, Titie bergabung dengan massa mahasiswa yang berdemonstrasi di depan Gedung Sate, menggugat pemerintahan Orde Baru. Dia juga berorasi sembari menggendong anak. Kini, mengikuti panggilan hati, dia bergabung dalam massa prodemokrasi yang menolak revisi UU Pilkada oleh DPR RI demi memuluskan pilkada akal-akalan yang diyakini akan memberikan karpet merah pada putra presiden, Kaesang Pangarep.
“Hidup mahasiswa! Hidup rakyat! Panjang umur perjuangan!” teriaknya.
Memasok Logistik
Peristiwa 1998 menumbalkan banyak korban. Di Jakarta, penembakan di Trisakti mengakibatkan beberapa mahasiswa tewas. Salah satunya mahasiswa asal Bandung, Hafidhin Royyan.
Kelahiran aksi Suara Ibu di Kota Bandung dipicu oleh kobaran api semangat mahasiswa yang terpusat di ITB dan Unpad. Mereka melakukan orasi, longmars, dan membuka dapur umum. Mereka juga menyatakan keprihatinan terhadap nasib mahasiswa yang diperlakukan secara represif oleh aparat.
Titie memperlihatkan arsip berupa foto-foto yang menangkap momen para ibu yang melakukan longmars dan berorasi di Gedung Sate serta kampus Unpad. Tuntutan mereka antara lain: “Jangan bunuh! Jangan aniaya! Jangan bungkam Anak-anak kami! Penuhi tuntutan mahasiswa, suara mahasiswa, suara rakyat!”
Di mata Titie, setelah reformasi dan tumbangnya Orde Baru, harapan akan perbaikan terus meredup. Reformasi kian melemah, demokrasi meredup. Anak kandung reformasi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga dikerdilkan.
Titi menyimpan kekecewaan yang mendalam terhadap kondisi negeri. Dia yakin, banyak orang merasakan hal serupa.
“Saya merasa bersalah kalau tidak hadir di sini. Kami dulu ibu-ibu bergerak ke kampus-kampus dan ke jalan," tuturnya. "Sekarang (kami) sudah sepuh, tapi semua kami mendukung teman-teman mahasiswa.”
Dalam aksi kali ini, Suara Ibu memberikan dukungan berupa logistik makanan ataupun minuman untuk mahasiswa yang melakukan aksi di sekitar kawasan DPRD Jawa Barat dan Gedung Sate. Gerakan ini spontan dilakukan ibu-ibu.
“Gerakan mahasiswa kan tidak ada yang mendukung logistiknya. Ini (Jalan Diponegoro) menjadi lautan sepanjang jalan,” jelas Titie.
Baca Juga: Mahasiswa Bandung Kembali Turun ke Jalan, Waspada dari Kebohongan DPR
Cerita Pelajar di Bandung dalam Lautan Demonstrasi Rakyat Gugat Negara, Pulang Sekolah Langsung Unjuk Rasa
YLBHI dan Amnesty International Indonesia Mengecam Kekerasan yang Dilakukan Polisi terhadap Massa Aksi Protes Revisi UU Pilkada
Peringatan Darurat! Protes Terhadap Revisi UU Pilkada Mengalir dari Dewan Guru Besar hingga Organisasi Prodemokrasi
Perempuan dalam Pusaran Sejarah Reformasi 1998
Jejak gerakan Suara Ibu Peduli diabadikan Julia Suryakusuma dalam Pisang, Pengkhianatan, dan Anarkisme di bukunya Agama, Seks, & Kekuasaan (2012). Julia menyebut sekumpulan perempuan yang terdiri dari aktivis, dosen, kaum intelektual, dan ibu rumah tangga melakukan aksi di bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Mereka menuntut reformasi ekonomi dan politik dan menamai gerakan mereka Suara Ibu Peduli.
“Pada 23 Februari 1998, kami menggelar unjuk rasa. Aksi kami dipicu kegelisahan akan meningkatkannya harga-harga, gejolak sosial, dan kekerasan yang terlihat jelas dalam masyarakat,” tulis Julia.
Demonstrasi para perempuan yang dibentuk secara spontan ini merupakan pertama kalinya dalam 32 tahun rezim Orde Baru. Julia menyebut aksi tersebut merupakan gerakan moral yang kemudian dilanjutkan oleh mahasiswa, hingga penembakan terhadap mahasiswa Trisakti yang dilakukan sangat kejam dan berdarah dingin mengundang simpati dan perkabungan nasional.
“Tewasnya mahasiswa-mahasiswa tersebut mengundang reaksi keterkejutan, duka cita, kegusaran, dan kutukan masyarakat. Berbagai pihak menyerukan agar minggu tersebut dinyatakan sebagai minggu berkabung nasional: bendera pun dinaikkan setengah tiang,” ungkap Julia.
Duka cita dan keprihatinan serupa tentang situasi bangsa inilah yang menggerakan Suara Ibu di Kota Bandung untuk menyuarakan lagi keadilan untuk anak-anaknya di jalan. Hidup perempuan yang melawan!
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Revisi UU Pilkada