• HAM
  • Peringatan Darurat! Protes Terhadap Revisi UU Pilkada Mengalir dari Dewan Guru Besar hingga Organisasi Prodemokrasi

Peringatan Darurat! Protes Terhadap Revisi UU Pilkada Mengalir dari Dewan Guru Besar hingga Organisasi Prodemokrasi

Dari Amnesty Internasional Indonesia, LBH YLBHI, Koalisi Lintas Organisasi Pers hingga Dewan Guru Besar Universitas Indonesia menyerukan hentikan revisi UU Pilkada!

Aksi Peringatan Darurat di Bandung, 22 Agustus 2024. Massa memprotes revisi UU Pilkada. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Penulis Iman Herdiana22 Agustus 2024


BandungBergerak.id - Protes dengan tajuk Peringatan Darurat! terus mengalir dari berbagai elemen masyarakat, di antaranya dari organisasi prodemokrasi hingga Dewan Guru Besar atau kalangan akademik. Protes ini buntut dari upaya DPR dan pemerintah menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi yang merupakan penafsir sah konstitusi negara tentang ambang batas parlemen dan batasan umur calon kepala daerah.

Ogranisasi prodemokrasi yang memprotes adalah Amnesty Internasional Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH YLBHI), dan Koalisi Lintas Organisasi Pers. Dari kalangan akademik, protes dilayangkan Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (DGB UI).

Amnesty Internasional Indonesia mengingatkan bahwa protes Peringatan Darurat harus bebas dari segala bentuk ancaman. "Siapa pun berhak mengutarakan pandangannya secara damai terhadap situasi negara ini, termasuk aksi protes yang dilakukan mahasiswa," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dalam keterangan resmi yang diterima BandungBergerak.id, Kamis, 22 Agustus 2024.

Usman Hamid menyatakan, protes terhadap kebijakan negara ataupun perilaku elite politik adalah hal yang wajar, sah, dan dijamin dalam hukum HAM internasional. Bahkan menurutnya dalam sejarah, protes memainkan peran penting dalam memastikan hak asasi manusia ditegakkan oleh negara.

Protes juga merupakan representasi ruang sipil yang harus dijamin kebebasannya oleh negara. Hukum internasional mewajibkan setiap negara untuk menghormati prinsip dasar hak asasi manusia seperti kebebasan berekspresi dan berserikat.

"Ruang sipil yang bebas, tanpa ancaman, mendorong akses terhadap keadilan. Kami juga mendesak agar negara menghindari penggunaan kekerasan berlebihan dalam menanggapi protes damai. Penggunaan gas air mata, meriam air, maupun tongkat secara serampangan sering dilakukan oleh aparat dalam menanggapi protes-protes damai sebelumnya. Hal ini tidak boleh terulang," ungkap Usman Hamid.

Aksi Peringatan Darurat di Bandung, 22 Agustus 2024. Massa memprotes revisi UU Pilkada. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Aksi Peringatan Darurat di Bandung, 22 Agustus 2024. Massa memprotes revisi UU Pilkada. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

LBH YLBHI: DPR dan Pemerintah Semakin Membangkang Konstitusi

Pernyataan keras juga disampaikan LBH YLBHI yang menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mengkonsolidasikan diri melawan dinasti politik Presiden Jokowi melalui revisi kilat UU Pilkada maupun agenda revisi undang-undang lain yang inkonstitusional. Lembaga pengacara publik ini mengajak rakyat turun ke jalan.

Seruan ini dilatarbelakangi peristiwa yang terjadi Senin, 20 Agustus 2024 Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora mengenai Undang-Undang Pilkada. Terdapat dua putusan penting MK di hari yang sama.

Pertama, putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Di dalam putusan ini, MK menyebut bahwa partai politik atau gabungan partai politik serta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah walaupun mereka tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Kedua, adalah putusan Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian syarat batas usia calon kepala daerah yang diatur Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada. MK menolak permohonan dua mahasiswa, Fahrur Rozi dan Anthony Lee, yang meminta MK mengembalikan tafsir syarat usia calon kepala daerah sebelum adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024. Adapun, putusan MA tersebut berhubungan dengan perubahan syarat usia calon kepala daerah menjadi saat pelantikan calon terpilih. Sebelumnya, syarat terkait berlaku saat penetapan calon oleh KPU.

Sehari setelahnya, Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) mengadakan rapat untuk mendalami Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan kepala daerah dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang batas usia calon. Rapat diselenggarakan pada Rabu, 21 Agustus 2024.

Aksi Peringatan Darurat di Bandung, 22 Agustus 2024. Massa memprotes revisi UU Pilkada. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Aksi Peringatan Darurat di Bandung, 22 Agustus 2024. Massa memprotes revisi UU Pilkada. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Namun, LBH YLBHI menyatakan, tidak hanya mengeksaminasi dua putusan itu, DPR berusaha untuk menganulirnya. Upaya menganulir dua keputusan tersebut mengarah pada dua tujuan. Pertama, ada dua skenario yang berhubungan dengan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, yaitu mengembalikan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dengan tetap menerapkan Pasal 40 tentang syarat ambang batas, yaitu 20 persen kursi DPRD bagi partai calon atau gabungan partai untuk mengusung calon atau memberlakukannya pada Pilkada 2029.

Kedua, adalah mengubah usia calon kepala daerah sejak dilantik sesuai Putusan MA meski MK dalam putusan 70/PUU-XXII/2024 menegaskan usia calon kepala daerah terhitung sejak penetapan bukan sejak pelantikan.

Menurut LBH YLBHI, gerak cepat di parlemen dapat ditebak. Beberapa waktu ke belakang, koalisi partai politik yang dikomandoi oleh Prabowo dan Presiden Jokowi berusaha untuk membangun koalisi gemuk untuk menghadapi Pilkada 2024. Membuka kemungkinan besar pasangan yang mereka usung bertarung dengan kotak kosong dan calon boneka.

“Kali ini, ketika terdapat putusan MK yang mencoba untuk menyeimbangkan ruang demokrasi di parlemen, koalisi tersebut berbondong-bondong untuk menjegalnya,” kata LBH YLBHI.

LBH YLBHI menyerukan kepada DPR RI dan Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menghentikan pembahasan Revisi UU Pilkada di DPR dan patuhi Putusan Mahkamah Konstitusi Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024.

Sebelumnya, Koalisi Lintas Organisasi Pers menyatakan bahwa demokrasi kembali terancam. Koalisi ini menyebut, Elite-elite politik tanpa malu-malu berupaya menganulir dua putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Pilkada.

Koalisi ini terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ),  Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya, Pewarta Foto Indonesia (PFI), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).

Menurut koalisi, bila putusan MK bisa mereka anulir dalam waktu sekejap, bukan tidak mungkin undang-undang yang menjamin kebebasan pers, berpendapat dan berekspresi, pelan-pelan dilucuti dengan mudah sampai kita menuju era kegelapan. Setidaknya upaya ini pernah dicobakan pada rencana revisi undang-undang penyiaran yang muatannya justru menjurus pada pemberian ruang kontrol negara terhadap isi siaran. 

Atas dasar itu, Koalisi Lintas Organisasi Pers menyatakan dan menyerukan: 

1. Demokrasi kita terancam dan pers wajib membelanya.

2. Mengingatkan media dan jurnalis tetap independen dan profesional dalam memberitakan kebenaran serta tidak takut menyajikan informasi yang akurat, kritis, dan terverifikasi dan tidak mudah diintervensi. 

3. Di tengah situasi politik yang kisruh saat ini, mengingatkan pemerintah untuk menjamin perlindungan media dan jurnalis dalam menjalankan kerja jurnalistik melaporkan informasi kepada publik.

4 Pemerintah untuk menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara dengan tidak merepresi pendapat dan kritik di berbagai kanal, termasuk ruang digital.

Baca Juga: Elite Politik Membangkang Konstitusi, Masyarakat Sipil di Bandung Turun ke Jalan Menolak Pembajakan Demokrasi
Revisi UU Pilkada Adalah Pembangkangan terhadap Konstitusi

Aksi Peringatan Darurat di Bandung, 22 Agustus 2024. Massa memprotes revisi UU Pilkada. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Aksi Peringatan Darurat di Bandung, 22 Agustus 2024. Massa memprotes revisi UU Pilkada. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Peringatan Keras dari Dewan Guru Besar Universitas Indonesia

Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (DGB UI) pun angkat suara dalam menyikapi “kegentingan situasi negara dalam dua hari terakhir ini, dengan penuh keprihatinan dan kesesakan yang mendalam”. DGB UI dalam pernyataan yang disetujui 67 guru besar UI ini menilai, tengah terjadi krisis konstitusi di Negara Kesatuan Republik Indonesia akibat dari pembangkangan DPR terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi.

DGB UI menyatakan, Indonesia kini berada di dalam bahaya otoritarianisme yang seakan mengembalikan Indonesia ke era kolonialisme dan penindasan. Tingkah-polah tercela yang diperlihatkan para anggota DPR itu tak lain dan tak bukan merupakan perwujudan kolusi dan nepotisme yang pada 1998 telah dilawan dengan keras oleh aksi massa dan mahasiswa sehingga melahirkan Reformasi.

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat bagi semua, termasuk semua lembaga tinggi negara. Pembahasan revisi UU Pilkada dengan mengabaikan putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan No.70/PUU-XXII/2024 sehari setelah diputuskan, nyata-nyata DPR sangat mencederai sikap kenegarawanan yang dituntut dari para wakil rakyat.

Menurut DGB UI, tidak ada dasar filosofis, yuridis, maupun sosiologis yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengubah persyaratan usia calon kepala daerah termasuk besaran kursi parpol melalui revisi UU Pilkada.

Perubahan-perubahan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa antarlembaga tinggi negara seperti Mahkamah Konstitusi versus DPR sehingga kelak hasil pilkada justru akan merugikan seluruh elemen masyarakat karena bersifat kontraproduktif dan akan menimbulkan kerusakan kehidupan bernegara.

“Konsekuensi yang tak terelakkan adalah runtuhnya kewibawaan negara, lembaga-lembaga tinggi negara, dan hukum akan merosot ke titik nadir bersamaan dengan runtuhnya kepercayaan masyarakat,” kata Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, dalam keterangan resmi.

DGB UI menyatakan, kondisi saat ini sudah genting, sehingga DGB UI perlu menyikapi kegentingan tersebut dengan menghimbau semua lembaga negara terkait untuk: 

  1. Menghentikan revisi UU Pilkada; 
  1. Bertindak arif, adil, dan bijaksana dengan menjunjung nilai-nilai kenegarawanan; 
  1. Meminta KPU segera melaksanakan putusan MK No. 60 dan No. 70 tahun 2024 demi terwujudnya kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila; 
  1. Negara harus didukung penuh agar tetap tegar dan kuat dalam menjalankan konstitusi sesuai dengan perundang-undangan, serta mengingatkan secara tegas bahwa kedaulatan rakyat adalah berdasarkan Pancasila.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain tentang Presiden Jokowi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//