• HAM
  • YLBHI dan Amnesty International Indonesia Mengecam Kekerasan yang Dilakukan Polisi terhadap Massa Aksi Protes Revisi UU Pilkada

YLBHI dan Amnesty International Indonesia Mengecam Kekerasan yang Dilakukan Polisi terhadap Massa Aksi Protes Revisi UU Pilkada

Peraturan Kapolri menyatakan kewajiban polisi melindungi hak asasi manusia dan menghargai prinsip praduga tidak bersalah.

Poster perlawanan dari massa prodemokrasi di Bandung, 22 Agustus 2024. Mereka menolak revisi UU Pilkada. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)

Penulis Noviana Rahmadani23 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Gerakan besar penolakan terhadap revisi UU Pilkada di berbagai wilayah Indonesia diwarnai tindakan represif oleh polisi. Massa aksi yang terdiri dari mahasiswa, aktivis, dan elemen masyarakat sipil lainnya mengalami kekerasan fisik saat menyuarakan aspirasi mereka di jalan.

Aksi represif aparat kepolisian terhadap demonstran yang menyuarakan kritik terhadap kelakuan elite politik di DPR dan pemerintah merupakan pelanggaran serius terhadap hak konstitusional warga negara dan bertentangan dengan prinsip praduga tidak bersalah yang dijamin oleh hukum.

Aksi unjuk rasa yang digelar di depan Gedung DPRD Jawa Barat pada Kamis, 22 Agustus 2024, tak luput dari kebrutalan aparat. Berdasarkan catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sebanyak 31 demonstran menjadi korban kekerasan termasuk dua orang  mengalami luka serius di kepala.

Sementara itu, di Jakarta, demonstrasi yang berlangsung di depan gedung DPR RI menjadi titik sentral kekerasan aparat terhadap massa aksi. Saat demonstran mencoba merobohkan pagar gedung, aparat langsung menembakkan gas air mata untuk membubarkan kerumunan. Beberapa pengunjuk rasa dilaporkan mengalami luka-luka akibat dipukuli dengan tongkat dan ditendang oleh aparat saat massa mulai tercerai-berai.

Penangkapan massal dan tindakan doxing juga marak terjadi. Hingga pukul 21.00 WIB, YLBHI mencatat setidaknya 11 orang telah ditangkap dan satu orang menjadi korban doxing. Berdasarkan data yang dihimpun YLBHI hingga pukul 21.30 WIB terdapat 26 laporan pelanggaran HAM berupa kekerasan, doxing, dan penangkapan.

Di Semarang, pembubaran paksa demonstrasi mahasiswa dan pengejaran menggunakan motor taktis menunjukkan adanya pola intimidasi untuk menghentikan aksi protes. YLBHI melaporkan, terdapat 18 demonstran mengalami luka-luka akibat tindakan kekerasan dan memerlukan perawatan medis di rumah sakit.

Massa prodemokrasi di Bandung mengusung tema rakyat menggugat negara, 22 Agustus 2024. Mereka menolak revisi UU Pilkada. (Foto: Muhammad Wijaya Nur Shiddiq/BandungBergerak)
Massa prodemokrasi di Bandung mengusung tema rakyat menggugat negara, 22 Agustus 2024. Mereka menolak revisi UU Pilkada. (Foto: Muhammad Wijaya Nur Shiddiq/BandungBergerak)

Pembubaran demonstrasi di Makassar juga terjadi. YLBHI menegaskan, perilaku aparat kepolisian yang melakukan penyiksaan terhadap demonstran tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melanggar kode etik profesi kepolisian. Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 secara tegas mengatur bahwa anggota kepolisian harus bertindak profesional dan tidak boleh menggunakan kekerasan.

YLBHI mendesak:

  1. Kapolri untuk memerintahkan anak buahnya melepaskan massa aksi yang ditangkap saat ini juga;
  2. Kapolri, Kapolda Metro Jaya, dan seluruh Kapolda di jajaran kepolisian hingga Kapolres untuk menjaga anak buahnya agar tidak melakukan represi dan kekerasan yang merupakan tindakan pidana; 
  3. Kapolri, dan Kapolda Metro Jaya untuk membatalkan tindakan penyisiran massa aksi dan menarik mereka kembali ke markas; 
  4. Mabes Polri memerintahkan Polda Metro Jaya dan Satuan Wilayah dan Kerja di bawahnya untuk memastikan akses bantuan hukum terbuka bagi massa aksi yang ditangkap dan ditahan dan bagi yang mengalami luka akibat kekerasan dan sekarang masih ditahan agar segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pengobatan intensif;
  5. Komnas HAM, Kompolnas, KPAI, Ombudsman RI, dan Komnas Perempuan untuk segera turun melakukan pemantauan di lapangan maupun di kantor-kantor kepolisian di bawah Polda Metro Jaya.

Baca Juga: Cerita Pelajar di Bandung dalam Lautan Demonstrasi Rakyat Gugat Negara, Pulang Sekolah Langsung Unjuk Rasa
Menantang Tirani, Rekaman Visual Demonstrasi 22 Agustus 2024 di Bandung
Elite Politik Membangkang Konstitusi, Masyarakat Sipil di Bandung Turun ke Jalan Menolak Pembajakan Demokrasi

Kecaman Amnesty International Indonesia

Tindakan brutal aparat keamanan dalam sejumlah aksi unjuk rasa Peringatan Darurat yang digelar di berbagai kota pada Kamis, 22 Agustus 2024 mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak termasuk Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Usman mengecam keras tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap para demonstran yang sebagian besar adalah mahasiswa dan elemen masyarakat sipil.

Siklus kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan terus berulang. Usman menilai, mereka seolah tidak pernah belajar dari kesalahan masa lalu. Perilaku aparat yang brutal menunjukkan kegagalan dalam memahami hak-hak setiap individu untuk melakukan protes melalui unjuk rasa.

"Setiap orang berhak untuk menggugat, tidak setuju, atau beroposisi, dan semua ini dilindungi oleh hukum nasional maupun internasional," kata Usman Hamid, dikutip dari siaran pers Amnesty International Indonesia, Jumat, 23 Agustus 2024.

Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat termasuk penggunaan gas air mata, peluru karet, dan senjata air merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Semua pihak yang terlibat dalam tindakan kekerasan harus diadili dan dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku.

“Negara harus mengusut dan menindak semua pelakunya, sampai tuntas. Jangan ada lagi korban yang jatuh,” kata Usman.

Poster perlawanan dari massa prodemokrasi di Bandung, 22 Agustus 2024. Mereka menolak revisi UU Pilkada. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)
Poster perlawanan dari massa prodemokrasi di Bandung, 22 Agustus 2024. Mereka menolak revisi UU Pilkada. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)

Amnesty International Indonesia menegaskan, pemerintah baik presiden maupun DPR RI harus lebih menghormati hak konstitusional warga negara untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan. Keengganan pemerintah mendengarkan aspirasi rakyatlah yang memaksa mereka turun ke jalan. Tindakan represif aparat membuktikan bahwa janji-janji kepolisian untuk bertindak profesional hanyalah omong kosong belaka.

“Sudah saatnya Indonesia meninggalkan perilaku kekerasan yang tidak perlu, menghentikan rantai impunitas dengan memproses hukum aparat keamanan yang terlibat secara terbuka, independen, dan seadil-adilnya,” kata Usman Hamid.

Berdasarkan pemantauan tim lapangan Amnesty International Indonesia, aksi protes yang berlangsung di berbagai kota di Indonesia mendapat respons yang sangat keras dari aparat kepolisian dengan penggunaan pengamanan yang dianggap berlebihan.

Di Jakarta, tim Amnesty International Indonesia mencatat banyak peserta aksi yang ditangkap. Hingga sore hari, jumlah tangkapan sudah mencapai belasan orang dan terus bertambah. Di antara mereka yang ditangkap adalah staf Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Direktur Lokataru. Mereka menjadi korban luka akibat tindakan aparat. Sembilan orang lainnya, termasuk mahasiswa dari Universitas Paramadina dan UHAMKA, mengalami kekerasan polisi. Tujuh jurnalis dari berbagai media, termasuk Tempo, IDN Times, dan MaknaTalks, juga melaporkan mengalami tindakan represif dari aparat.

Di Bandung, tindakan aparat kepolisian terekam video yang menunjukkan mereka mengejar dan memukul pengunjuk rasa dengan tongkat serta menginjak-injak mereka.

Dalam pengamatan Amnesty International Indonesia, tindakan brutal polisi dengan menembakkan gas air mata secara membabi buta telah menyebabkan puluhan mahasiswa dari berbagai kampus di Semarang menjadi korban. Setidaknya 15 mahasiswa dari berbagai kampus seperti Undip, Unnes, dan UIN Walisongo dirawat di RS Roemani. Para mahasiswa mengalami gejala seperti sesak napas, mual, mata perih, dan beberapa mahasiswa bahkan sampai kehilangan kesadaran.

Kekerasan yang terjadi saat ini mengingatkan pada insiden serupa sebelumnya. Pada tahun 2020, Amnesty International memverifikasi 51 video yang menunjukkan 43 insiden kekerasan oleh polisi selama aksi unjuk rasa menentang UU Cipta Kerja. Menurut Amnesty, tindakan kekerasan ini jelas bertentangan dengan Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Peraturan tersebut mengatur kewajiban polisi untuk melindungi hak asasi manusia dan menghargai prinsip praduga tidak bersalah.

Selain itu, Pasal 7 ayat (1) Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Protap Dalmas) juga secara tegas melarang polisi bersikap arogan, terpancing perilaku massa, melakukan kekerasan yang tidak sesuai prosedur, atau melakukan tindakan yang merugikan pengunjuk rasa seperti pelecehan seksual dan penggunaan senjata tajam.

Amnesty International menegaskan bahwa kekerasan tidak boleh digunakan sebagai hukuman terhadap mereka yang dianggap tidak patuh terhadap kebijakan pemerintah atau hanya mengekspresikan kebebasan berekspresi.

Jika penggunaan kekuatan tidak dapat dihindari, petugas penegak hukum harus diperintahkan untuk menghindari cedera serius dan tidak menyerang bagian tubuh yang vital. Penggunaan kekuatan yang berlebihan hanya menunjukkan bahwa aparat tidak memahami hak setiap orang untuk mengungkapkan pendapat secara damai. 

*Kawan-kawan yang baik, mari membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari Noviana Rahmadani, atau artikel-artikel tentang Demonstrasi Menolak Revisi UU Pilkada

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//