Tentang Kasus Perundungan Dokter Hari Ini dan Jejak-jejak Kemanusiaan (Pendidikan) Para Dokter Indonesia di Masa Lalu
Baik di masa kolonial Hindia Belanda maupun pascakemerdekaan Indonesia, para dokter jatuh-bangun bersama rakyat yang diperjuangkannya. Berbekal nilai kemanusiaan.
Oky Nugraha Putra
Mahasiswa Pascasarjana Departemen Sejarah FIB UGM, akun Ig @resipananggelan
29 Agustus 2024
BandungBergerak - Bulan Agustus yang seharusnya dirayakan dengan kemerdekaan oleh semua kalangan, termasuk tenaga medis khususnya dokter, menjadi panggung pilu kepedihan ketika saya, Anda, kita semua mengetahui pemberitaan mengenai meninggalnya seorang dokter di Semarang, Jawa Tengah. Menghormati mendiang, saya tidak akan menyebut nama maupun inisialnya. Anda bisa mencarinya via mesin pencari.
Almarhumah yang diketahui sedang menjalani program PPDS (Pendidikan Profesi Dokter Spesialis) di salah satu rumah sakit yang terafiliasi dengan salah satu kampus di wilayah tersebut ditemukan meninggal dunia di dalam kamar kosnya. Ditemukan juga catatan harian tentang apa yang dialami sang dokter selama menjalani program tersebut. Termasuk curahan hati mengenai perlakuan para “senior”. Miris saya! Ini institusi sipil masalahnya!
Tidak berapa lama, bertebaran berita-berita lain dengan nada serupa. Termasuk dua dokter di salah satu kampus di Jawa Barat yang dikeluarkan dari institusi karena melakukan perundungan terhadap “junior”, sampai-sampai menyangkut permasalahan finansial. Sebegitu kelamkah dunia pendidikan kedokteran kita? Di mana letak nilai-nilai kemanusiaan yang sering dilekatkan dalam pekerjaan mereka? Saya ingin mengajak pembaca untuk sebentar menengok ke masa lalu.
Dunia Kedokteran Masa Hindia Belanda
A. A. Loedin dalam bukunya Sejarah Kedokteran di Bumi Indonesia (2005) mengemukakan bahwa pendidikan dokter dimulai pada masa kolonial Hindia Belanda dengan didirikannya “Dokter Djawa School” di Militair Hospitaal di Weltevreden, Batavia tahun 1851. Tahun 1913, sekolah ini berganti nama menjadi School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Kata “inlandsche” yang berkonotasi negatif kemudian diganti dengan kata “indische” dengan singkatan sama. Secara harfiah nama ini memiliki arti “Sekolah Kedokteran untuk Pribumi Hindia”.
Tahun 1927, STOVIA berganti nama menjadi Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran). Mulanya, STOVIA hanya menerima siswa yang berasal dari keluarga priyayi Jawa. Lima tahun setelah berdirinya, 1856, bergabung empat orang siswa kedokteran yang berasal dari Minahasa dan Sumatera Barat. Sekolah yang pada mulanya hanya menerima siswa dari kalangan elite Jawa, melebarkan sayapnya tidak hanya untuk kalangan tertentu saja.
Baca-tulis dalam bahasa Jawa dan Melayu menjadi prasyarat bagi para calon siswa sekolah kedokteran tersebut. Tidak heran jika Fadly Rahman dalam artikelnya yang berjudul Senjakala Humaniora (Kompas, 14 Maret 2016) menyatakan bahwa pendidikan yang memanusiakan manusia sebenarnya sudah dirintis di Hindia Belanda ketika para siswa AMS (setingkat SMU) diwajibkan untuk membaca karya sastra minimal 20-an judul selama masa studinya. Inilah model pendidikan yang menghasilkan Wahidin Sudirohusodo, Tjipto Mangoenkoesoemo, juga Soetomo sebagai “tabib” bagi para bumiputra ketika sudah berprofesi sebagai dokter.
Namun, apabila melihat apa yang diungkapkan Liesbeth Hesselink dalam HEALERS ON THE COLONIAL MARKET: Native doctors and midwives in the Dutch East Indies (2011), kita dapat mengetahui bahwa di dekade 1870-an, masih terdapat bias sikap pemerintah kolonial terhadap para “dokter djawa” ini. Secara status sosial, mereka lebih rendah dibandingkan dengan vaksinator (pemberi, penyuntik vaksin), maupun guru pribumi. Kesenjangan yang sebenarnya disadari oleh pemerintah kolonial sendiri.
Abdul Rivai adalah orang yang mencoba melawan kesenjangan tersebut. Pemuda Minangkabau ini merupakan salah seorang lulusan STOVIA yang menerima pendidikan lanjutan kedokteran di Belanda. Hans Pols dalam bukunya Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019) mencatat bahwa Rivai adalah seseorang yang memiliki “keyakinan sangat kuat bahwa kekuatan transformatif sains, teknologi, dan ilmu kedokteran akan membawa kemakmuran dan kemajuan ke Hindia Belanda”. Dalam sebuah foto, tampak Rivai menggunakan pakaian modern khas Eropa dengan keyakinan bahwa “status sosial seseorang ditentukan oleh pengetahuan, keterampilan, dan prestasi pendidikan”. Di masa itu, seorang dokter bumiputra sudah membayangkan bagaimana kualitas diri seseorang ditentukan berdasarkan nilai dirinya, bukan bersandar kepada asal ras, keturunan, atau lebih jauhnya hierarki sosial-tradisional.
STOVIA juga terkait erat dengan kelahiran Lembaga Biomolekuler Eijkman. Tahun 1888, lembaga yang pada mulanya merupakan sebuah laboratorium, memulai kegiatannya di rumah sakit tentara Hindia Belanda. Baru pada tahun 1916, gedung tersebut pindah ke daerah Salemba sekarang. Laboratorium ini pada awalnya meneliti penyakit beri-beri yang saat itu populer di Hindia Belanda. Eijkman Instituut menjadi tempat memraktikkan ilmu kedokteran modern saat itu.
Di sisi lain, kehidupan tenaga kesehatan (nakes) di negeri koloni abad ke-19 sangatlah memprihatinkan. Sarana yang dapat memberi kemudahan, semisal listrik, alat transportasi, serta peralatan komunikasi (telegraf, telegram) masihlah sangat minim. Namun, hal ini bukan halangan bagi mereka, yang bukan berasal dari pendidikan berlatar belakang universitas, untuk terus berkarya dan meneliti.
Baca Juga: Menelusuri Misteri Urban Legend di Museum Pos Indonesia
Misteri Danau Bandung
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Masa Pendudukan Jepang di Lembang
Dokter Indonesia (di) Masa Revolusi
Masa revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak terlepas juga dari peran para dokter yang sadar bahwa penjajahan adalah kebiadaban tertinggi yang dilakukan oleh manusia. Bermula dari Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia di mana dua hari setelah proklamasi, Dekan Fakultas Kedokteran dijabat oleh Sarwono Prawirohardjo. Gedung sekolah kedokteran sebelumnya direbut oleh milisi mahasiswa pengucap sumpah Hipokrates yang bernama “Pasoekan Dadjal”.
Di masa awal revolusi, sekolah kedokteran meluluskan sekitar 45 orang tanpa harus mengikuti ujian akhir karena gentingya situasi pada saat itu. Uniknya, mahasiswa kedokteran di masa awal lahirnya Republik ini silih berganti melakukan kegiatan seperti terjun ke medan perang gerilya, hadir di kelas-kelas perkuliahan, dan juga menjadi relawan Palang Merah Indonesia (PMI).
Seorang psikiater asal Ambon bernama J. A. Latumeten adalah tenaga medis yang sudah jauh hari mendukung kemerdekaan Hindia Belanda dari cengkeraman negara induk semangnya. Tahun 1919 ia menjadi inisiator utama pemogokan para dokter menentang pemerintah kolonial. Pada masa penjajahan Jepang, Latumeten masuk bui dan hampir mati karena kelaparan dan siksaan yang dialaminya.
Ada juga nama Mohammad Amir. Dia merupakan salah satu penggagas terbentuknya organisasi Jong Sumatra dan duduk sebagai ketua dua. Uniknya, Amir memiliki pemikiran bahwa orang-orang Indonesia harus tetap mempertahankan warisan budayanya sembari menyerap sains dan utamanya ilmu kedokteran Barat. Amir hadir ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia dan menjadi menteri di kabinet awal Soekarno-Hatta serta menduduki jabatan Wakil Gubernur Sumatera. Sayangnya, ketika revolusi sosial bergejolak di Sumatera, Amir harus mengungsikan diri ke Sulawesi di mana ia meninggal dunia dua hari setelah “pengakuan” kedaulatan Indonesia oleh Belanda terjadi.
Jangan lupakan nama Soedjatmoko. Seorang dokter multidisiplin keilmuan yang namanya turut mewarnai kancah revolusi para dokter selama masa mempertahankan kemerdekaan. Ayahnya, KRT Saleh Mangoendiningrat, seorang dokter kasunanan Surakarta, menganjurkan penggunaan herbal tradisional untuk pengobatan. Meskipun lahir dari kalangan “ningrat” Jawa, Soedjatmoko menolak untuk menggunakan gelar aristokratnya tersebut. Di masa awal kemerdekaan, ia turut serta menentang propaganda Belanda dengan aktif di The Voice of Indonesia yang memberi tahu dunia luar tentang kondisi yang terjadi di Tanah Air. Di puncak karirnya, Soedjatmoko menjadi Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Tokyo, Jepang.
Tidak ketinggalan nama Dokter Satrio, seorang perwira militer yang berhasil menyelundupkan vaksin cacar air lewat tubuh empat ekor kerbau dan berhasil menolong sekitar 240.000 orang. Di kemudian hari, ia menjadi Menteri Kesehatan era Orde Lama, juga Ketua PMI 1970-1982.
Dokter, Sang Pendekar Kemanusiaan
Belajar dari sejumput kecil fakta historis di atas, kita bisa mengetahui bagaimana, baik di masa kolonial Hindia Belanda maupun di pascakemerdekaan Indonesia, para dokter bahu-membahu dan jatuh-bangun bersama rakyat yang diperjuangkannya. Tak jarang, mereka mengabaikan keselamatan dirinya sendiri. Ini menjadi sebuah cermin historis yang menegaskan bagaimana seharusnya seorang dokter berpikir, bertindak, dan berlaku-lampah terhadap sesamanya: mencontohkan, mendidik, juga berbagi kasih tanpa pamrih. Bukan malah merasa dia “senior”, lantas sang “junior” harus juga merasakan apa yang pernah dialaminya.
Kalau pola senioritas seperti itu terus berulang, di manapun kampusnya, niscaya dokter-dokter ahumanis dan ahistoris akan lahir dan berkembang biak. Sangat miris!
Pendidikan Barat yang dipadukan dengan nilai-nilai kearifan lokal Indonesia seharusnya membentuk pribadi tenaga dokter yang tidak saja berpengetahuan luas, tapi juga tidak meninggalkan akar kultural negerinya. Menatap maju, tanpa harus meninggalkan realitas tempat di mana dia menghirup udara bumi. Persis seperti tagline yang sering digaungkan salah satu kampus: locally rooted, globally respected.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang isu Dokter atau Kesehatan