TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Masa Pendudukan Jepang di Lembang
Peristiwa Ciater Stelling mengawali invasi Jepang yang merangsek dari Kalijati Subang menuju jantung Kota Bandung.
Malia Nur Alifa
Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian
24 Agustus 2024
BandungBergerak.id – Pagi itu tanggal 6 Maret 1942, keadaan masih terlihat normal. Namun tukang susu keliling dan tukang pos sepertinya terlihat terlambat, bahkan ada yang tidak datang ke beberapa rumah di utara Lembang. Keadaan pasar dan beberapa toko Tionghoa masih beroperasi seperti biasanya. Saat itu jam menunjukkan pukul 1 siang dan keadaan mulai terlihat kaos ketika suara dentuman dahsyat terjadi tepat di Alun-alun Lembang dan meluluhlantakkan Masjid Agung Lembang yang saat itu terbuat dari bambu dan kayu dengan atap sirap.
Sontak warga yang tengah beraktivitas mulai berhamburan keluar rumah. Dentuman ke dua terjadi di Gunung Lembang (kawasan Baru Adjak) tepatnya di Situ Umar. Dentuman itu merupakan bom udara dari pesawat tempur Jepang yang terbang rendah. Para pegawai kandang Baru Adjak pun banyak yang terluka dan meninggal dunia.
Salah satu dari Suster Karmelit yang sedang berada di Gereja Karmel pun ikut terpental ketika dentuman kedua terjadi di Situ Umar. Dentuman tersebut memaksa semua Suster Karmelit berlindung di bawah meja makan besar yang terbuat dari kayu jati. Aktivitas warga di pusat perekonomian pun terhenti. Para petani, pegawai perkebunan dan peternakan pun terlihat mengungsi ke arah selatan dan barat menuju Bandung dan Cimahi.
Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Grand Hotel Lembang dari Masa ke Masa
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Dokter Wisnoe Joedo
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Keluarga Zuur dari Jatiwangi
Masa Pendudukan Jepang
Masa-masa ini adalah sebuah masa yang sangat suram bagi negeri ini dan tak terkecuali dengan Lembang. Kawasan Baru Adjak di ubah menjadi kawasan interniran khusus anak- anak di bawah usia 10 tahun, dan wanita. Sementara para pria dewasa dibawa ke Cimahi.
Kawasan Grand Hotel Lembang di ubah menjadi gudang bahan pokok dan wanita-wanita penghibur untuk para tentara Jepang kelas menengah ( Jugun Ianfu). Ornamen klasik dan barang- barang seni di kawasan hotel pun ikut dirusak.
Kebanyakan para wanita penghibur tersebut didatangkan dari wilayah Pantura. Mereka dikumpulkan terlebih dahulu di sebuah gedung bekas kantor pengolahan ulat sutra di selatan Lembang. Mereka disortir secara fisik. Yang terlihat lebih putih dan bersih akan dibawa untuk menuju rumah bordil yang berlokasi di tempat tinggal dokter Pino Ursone (pabrik farmasi Carlo Erba Farmintalia) untuk bekerja sebagai Jugun Ianfu bagi petinggi militer Jepang yang kebanyakan berdomisili di Utara Lembang (Hotel Tangkuban Parahu dan kediaman Tuan Elman di Sindangreret Cikole). Bagi para wanita yang terlihat tidak terlalu cantik dan tidak terlalu putih maka mereka akan ditempatkan di Grand Hotel Lembang dan akan bekerja sebagai Jugun Ianfu bagi para prajurit Jepang kelas menengah. Sedangkan bagi para wanita yang mereka anggap paling jelek akan dibawa menuju barak- barak jorok bagi prajurit Jepang berpangkat rendah di kawasan utara Lembang.
Begitu menyedihkannya kisah para wanita-wanita tersebut. Beberapa kisah para wanita tersebut saya tulis pada buku kedua saya yang berjudul “9 Kisah Wanita-wanita Pribumi Lembang di Masa Lalu”.
Pertempuran Ciater Steling
Masuknya Jepang ke kawasan utara Lembang disebut juga dengan pertempuran Ciater Stelling yang berlangsung selama 3 hari (5,6, dan 7 Maret 1942). Pertempuran tersebut terjadi untuk memperebutkan perlintasan Ciater yang memiliki peranan sangat strategis dalam upaya pertahanan Kota Bandung. Setelah pasukan Jepang mendarat di Kalijati, Subang, tentara Belanda mundur dari Batavia dan Bogor. Mereka juga mempersiapkan garis pertahanan di perlintasan gunung menuju Bandung guna menunda pasukan Jepang hingga satuan-satuan tentara Belanda yang mundur dapat berkumpul satu sama lainnya.
Tentara Jepang saat itu yang merangsek masuk ke kawasan Utara Lembang berjumlah 1.500 orang, dan tentara Jepang memutuskan untuk menyerbu garis tersebut untuk mencegah serangan balik, saat tentara Belanda masih terpencar. Berkat dukungan angkatan udara dan kualitas prajurit yang baik, Jepang berhasil merebut titik-titik pertahanan Belanda yang sangat kekurangan personil setelah tiga hari pertempuran tersebut. Jalan bagi para tentara Jepang semakin terbuka lebar untuk memasuki Bandung ketika mereka telah menguasai Lembang dengan sangat mudah.
Sebelum perang besar terjadi di Bandung, pemerintah Hindia Belanda pun terlebih dahulu menyerah kepada Jepang dengan cara mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Bendera putih yang digunakan tersebut adalah taplak meja besar yang didapat dari ruang makan Vila Isola yang saat itu berada di bawah pengelolaan Hotel Homann. Taplak meja besar berwarna putih tersebut dikibarkan di atap Vila Isola sehingga terlihat oleh pesawat-pesawat tempur Jepang yang terbang rendah.
Pertempuran di Benteng Goenoeng Poetri (Gunung Putri)
Benteng Goenoeng Poetri (Gunung Putri) adalah sebuah benteng yang dibangun tahun 1902 oleh militer kolonial Belanda di bawah mandat John Henrij Van Blommestein dan selesai dibangun tahun 1912. Sebetulnya benteng ini adalah sebuah kesatuan dari jajaran benteng-benteng lain yang dibangun pun dengan waktu yang bersamaan. Sebut saja Benteng Cikahuripan dan benteng- benteng di Cikalongwetan. Pembangunan benteng-benteng tersebut ditutup oleh pembangunan Benteng Pasir Malang di Timur Lembang pada tahun 1922. Namun semua benteng tersebut ternyata tidak mampu membendung serangan Jepang yang datang dari arah Utara.
Pertempuran sangat dahsyat dan dalam keadaan yang sangat tidak seimbang itu membunuh banyak sekali anggota militer Belanda, hingga di kawasan Benteng Goenoeng Poetri tersebut banyak ditemukan mayat-mayat dalam kondisi sudah bertumpuk dan dalam kondisi sangat mengenaskan. Para korban pertempuran Ciater Stelling dimakamkan di Ereveld Pandu dengan sebuah penghormatan khusus.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang