TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Dokter Wisnoe Joedo
Dokter Wisnoe Joedo pernah memimpin Sanatorium Solsana Cipaganti. Ia juga cicit dari dokter Sam Joedo yang merupakan dokter mata bumiputra pertama di nusantara.
Malia Nur Alifa
Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian
2 Agustus 2024
BandungBergerak.id – Siang itu tepatnya hari Jumat, 26 Juli 2024, saya mendapatkan pesan masuk pada telepon seluler saya dan itu adalah perkenalan pertama saya dengan Mbak Karina Joedo. Beliau adalah cucu dari dokter Wisnoe Joedo, seorang dokter yang memimpin sebuah sanatorium di utara Bandung yaitu Sanatorium Solsana Cipaganti dan juga merupakan cicit dari dokter Sam Joedo yang merupakan seorang dokter mata bumiputra pertama di nusantara.
Kaget, tentu saja, namun yang paling saya rasakan adalah mungkin ini sudah waktunya. Sebetulnya rasa penasaran saya pada sosok dokter Wisnoe Joedo ini telah ada pada saat saya membeli sebuah buku karya Bapak Sudarsono Katam yang berjudul Insulinde Park. Di buku tersebut terdapat sebuah foto gedung yang sekarang menjadi gedung Paguyuban Pasundan (Jalan Sumatra No. 41, nomor sekarang), dahulu No. 27). Dan keterangan pada foto tersebut bertuliskan, rumah dokter Wisnoe Joedo. Setelah bertanya kepada bapak Sudarsono Katam itu sendiri dan kepada beberapa orang, ternyata profil dokter Wisnoe Joedo ini sangat minim.
Memang terkadang segala sesuatu itu bila sudah waktunya , maka akan memberikan jawaban.
Mbak Karina Joedo kemudian menerangkan kisah kakeknya tersebut. Wisnoe Joedo dilahirkan di Batavia 17 Oktober 1905. Setelah menamatkan sekolah di ELS dan HBS pada 1925, ia mengikuti jejak ayahnya dokter Sam Joedo untuk bersekolah di STOVIA dan lulus di tahun 1932. Wisnoe Joedo setelah lulus menjadi asisten dokter selama dua tahun di Batavia , lalu menjadi pegawai Eijkman Instituut hingga 1938. Setelah itu ia membuka praktik di Tasikmalaya namun tidak lama ia pindah ke Kendari. Tahun 1939 ia bertugas di Surabaya, dan tidak lama kemudian berpindah tugas ke Senatorium Cisarua Bogor. Tahun 1942 kembali ke Tasikmalaya dan membuka praktik di sana hingga 1945. Pasca kemerdekaan ia dipindah tugaskan untuk mengepalai sebuah sanatorium yang berada di utara Bandung yaitu Sanatorium Solsana Cipaganti.
Mungkin banyak yang kurang familier dengan Sanatorium Solsana Cipaganti, yang jelas bukan berada di kawasan Cipaganti sekarang, diberi nama Cipaganti karena letaknya tidak jauh dari Curug Cipaganti yang indah. Sanatorium Solsana Cipaganti tepatnya berada di kawasan yang sekarang menjadi kampus Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) di Ciumbuleuit, Bandung. Salah satu narasumber bernama Irman Jhordy mengatakan kepada Mbak Karina Joedo bahwa ia dahulu tinggal di kawasan Jalan Dokter Wisnoe Joedo (sekarang menjadi Jalan Bukit Jarian). Irman mengatakan bahwa Senatorium Solsana Cipaganti adalah sanatorium yang sangat indah, tempat para warga menghabiskan sore, apalagi ketika bulan puasa (ngabuburit). Di sanatorium tersebut terdapat pohon beringin besar dan jajaran pohon palem. Bahkan warga setempat mendirikan sebuah klub bola yang bernama P.S. Wisnoe, yang diambil dari nama Jalan Dokter Wisnoe Joedo.
Sanatorium Solsana Cipaganti didirikan tahun 1935 oleh pemerintah kolonial. Dibangun pada lahan bekas tempat tinggal dan pengolahan teh perkebunan teh Ciumbuleuit yang dilikuidasi pada tahun 1922. Sebagian dari lahan perkebunan teh tersebut dipakai sebagai vila-vila mewah para petinggi militer, salah satunya adalah vila indah milik keluarga Blommestein. Sanatorium ini merawat penderita penyakit paru, khususnya tuberkolosis. Para pasien dirawat hingga sembuh di sana, biasanya hingga 3 tahun pengobatan.
Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Perkebunan Teh Keluarga Ursone dan Permakaman Warga Tertua di Lembang
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Sekelumit Kisah Kweekschool Lembang
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Nyonya Homann dan Indahnya Kabut Lembang
Rumah Sumatra 27
Mbak Karina Joedo menceritakan kisah-kisah menarik keluarga besarnya dan semua yang terjadi di rumah bersejarah di Jalan Sumatra No. 27 Bandung. Rumah tersebut dihuni oleh keluarga dokter Wisnoe Joedo pada tahun 1945, ketika ia diminta memimpin Sanatorium Solsana Cipaganti. Dokter Wisnoe Joedo memiliki 5 anak kandung dan 2 anak angkat. Anak pertama bernama Srie Kresnanto Joedo (merupakan anak hasil dari pernikahan pertamanya), Emiko Joedo (anak angkat dari kerabatnya yang berkebangsaan Jepang, nama aslinya adalah Nemura Takehara), Josiko (adik Emiko), Bawono Joedo (anak pertama dari pernikahan ke duanya dengan gadis cantik bernama Gunoi, anak Ratu Korawe dari Kendari), Koesoemo Joedo ( anak kedua dari Gunoi), Soetomo Joedo (anak ketiga dari Gunoi), Rajanti Joedo (anak keempat dari Gunoi).
Ayah dari Mbak Karina Joedo adalah Koesoemo Joedo, dan adiknya yaitu Bawoeno Joedo menikah dengan seorang penyanyi bernama Tetty Kadi dan memiliki anak-anak yang membentuk Numata Band.
Keluarga dokter Wisnoe Joedo sangat dekat dan akrab dengan keluarga Soekarno, bahkan ketika akan diselenggarakan Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955, Ibu Gunoi ini diberikan mandat untuk mewakili para wanita Bandung dalam menyambut para tamu. Bahkan adik dari dokter Wisnoe Joedo yang bernama Meta Sam Joedo pernah akan dijodohkan pada Bung Hatta oleh Soekarno.
Dokter Wisnoe Joedo sangat kerasan tinggal di Bandung, ia sangat mencintai Jawa Barat, hingga menjelang ajalnya ia hanya ingin dimakamkan di Kota Bandung padalah beliau ini adalah keturunan ningrat (bupati Purworejo) yang memiliki pemakaman keluarga sendiri di Cokronegoro II. Akhirnya pada tahun 1963, dokter Wisnoe Joedo ini menghembuskan nafas terakhirnya dan dimakamkan di pemakaman Sirnaraga.
Dari Mara Band hingga Radio Mara.
Untuk warga Bandung keberadaan Radio Mara sudah sangat familier, namun tahukah bahwa radio ini berdiri dari sebuah band yang bernama Mara 27. Mara 27 Band beranggotakan 10 orang yang tiga dari sepuluh anggotanya adalah anak-anak dari dokter Wisnoe Joedo yang juga termasuk manajernya. Band tersebut dipimpin oleh Iwang Pringadi. Diberi nama Mara 27. Band ini adalah singkatan dari Irama Sumatra 27 ( base camp-nya berada di rumah keluarga Joedo di Jalan Sumatra No. 27 Bandung ). Tahun 1966, Mara 27 Band bubar, namun untuk tetap menjalin silaturahmi dibentuklah Radio Mara pada tanggal 2 Oktober 1968 dengan gelombang 106,85 FM.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang