Dua Dekade Pekerja Rumah Tangga Indonesia Tidak Dilindungi Undang-undang
Jawa Barat tercatat menjadi salah satu provinsi dengan jumlah pekerja rumah tangga tertinggi nasional. Sudah sangat lama PRT menanti pengesahan RUU PPRT.
Penulis Noviana Rahmadani29 Agustus 2024
BandungBergerak.id – Ketiadaan payung hukum telah menjerat jutaan pekerja rumah tangga dalam lingkaran setan ketidakadilan. Hak-hak dasar mereka sebagai pekerja tercederai mulai dari upah rendah, jam kerja yang tidak manusiawi, serta berbagai bentuk penyiksaan.
Dua dekade lamanya, pekerja rumah tangga terus berjuang keras untuk keluar dari bayang-bayang eksploitasi. Menurut International Labour Organization (ILO), pada 2015 terdapat sekitar 4 juta pekerja rumah tangga di Indonesia. Jawa Barat menempati posisi teratas dengan 859.000 pekerja, diikuti oleh Jawa Timur dengan 779.000 pekerja, Jawa Tengah 630.000 pekerja, Jakarta 481.000 pekerja, dan Banten 244.000 pekerja.
International Labour Organization juga menyebutkan, perempuan mendominasi pekerjaan rumah tangga secara global, mencakup 76,2 persen dari 75,6 juta pekerja rumah tangga di seluruh dunia. Lingkungan domestik yang tertutup meningkatkan risiko pekerja rumah tangga mengalami kekerasan dan pelecehan.
Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), mencatat sebanyak 2.641 pekerja rumah tangga mengalami kekerasan mulai dari penundaan pembayaran upah hingga pemutusan hubungan kerja yang sewenang-wenang selama periode 2018-2023. Selain itu, terbatasnya kebebasan berserikat merupakan permasalahan struktural yang dihadapi oleh kelompok pekerja ini membuat mereka merasa terisolasi dan tidak berdaya.
Menyoroti betapa rentannya mereka terhadap perlakuan tidak manusiawi, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai payung hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak dasar PRT dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan bermartabat.
“Apalagi itu udah 20 tahun ya, teman-teman PRT memperjuangkan ini. Ini adalah masa-masa akhir pemerintahannya. Kita berharap di bulan-bulan ini disahkan RUU PPRT,” kata Jumisih, staf advokasi Jala PRT saat dihubungi BandungBergerak.id, Rabu, 21 Agustus 2024.
Hak kesejahteraan lainnya, seperti upah yang layak, jaminan sosial, jam kerja yang layak, serta deskripsi pekerjaan yang tidak berlebihan, juga kerap kali diabaikan. Oleh karena itu, salah satu poin penting dalam RUU PPRT adalah menciptakan hubungan kerja yang setara antara PRT dan pemberi kerja, yang harus dituangkan dalam perjanjian kerja tertulis. Perjanjian ini akan menjadi acuan bagi kedua belah pihak untuk melindungi hak dan kewajiban masing-masing. Meskipun Undang Undang Ketenagakerjaan telah ada, namun spesifikasinya belum cukup untuk mengakomodasi kondisi pekerja rumah tangga.
Jumisih menambahkan salah satu tantangan utama dalam implementasi RUU PPRT adalah kurangnya kesadaran di kalangan pemberi kerja tentang perlunya perlindungan terhadap PRT. Banyak pemberi kerja yang masih menganggap PRT sebagai kelas yang lebih rendah dibandingkan warga negara lainnya.
Edukasi mengenai pentingnya perlindungan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) harus ditingkatkan secara masif. Peran negara sangat krusial dalam memberikan pemahaman kepada seluruh pihak, baik PRT maupun pemberi kerja, tentang hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
“Dengan disahkannya RUU PPRT nantinya, tentu saja tanggung jawab kita itu tidak berakhir,” kata Jumisih.
Baca Juga: Jumlah Pekerja Anak di Indonesia Meningkat, termasuk di Kota dan Kabupaten Bandung
Kelas Pekerja di Bandung Tidak Baik-baik Saja
Pekerja Rumah Tangga itu Mitra Kerja, bukan Budak
Berbagai Pihak Menekan RUU PPRT Segera disahkan
Kekerasan dan eksploitasi terhadap Pekerja Rumah Tangga Migran (PRT Migran) menjadi masalah serius. Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan bahwa pada periode Januari hingga Desember 2023, terdapat 274.964 penempatan baru PRT migran dari Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, jumlah total PRT migran mencapai 4 juta orang, dan data akumulasi dari Bank Dunia mencatat sekitar 9 juta PRT migran Indonesia. Sekitar 70 persen dari jumlah tersebut adalah perempuan yang bekerja di sektor pekerjaan rumah tangga, menjadikan Indonesia negara dengan jumlah PRT migran terbesar di Asia Tenggara.
Di dalam negeri, jumlah pekerja rumah tangga diperkirakan sekitar 4 juta orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 2,7 juta PRT mengalami pelanggaran hak ketenagakerjaan, serta menghadapi kekerasan fisik dan seksual. Data dari Catatan Akhir Tahun Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa pengaduan terkait sektor PRT Migran mencapai 46 persen dari total pengaduan yang diterima SBMI selama rentang tahun 2010-2023.
Pemerintah dianggap telah lalai dalam melindungi hak-hak pekerja rumah tangga, baik yang bekerja di luar negeri maupun di dalam negeri. Konvensi ILO-189 yang mengatur hak-hak pekerja rumah tangga belum sepenuhnya diterapkan.
Yunita Rohani, Koordinator Advokasi SBMI, menegaskan pentingnya RUU PPRT untuk memperbaiki kondisi kerja dan melindungi hak-hak pekerja rumah tangga.
"Pekerja rumah tangga, baik yang bekerja di dalam negeri maupun yang berstatus sebagai pekerja migran, sering kali menghadapi berbagai bentuk eksploitasi dan perlakuan tidak adil,” ujarnya.
Yunita menambahkan, pekerja rumah tangga belum berada dalam keadaan ‘merdeka’. Hak-hak mereka rentan dikangkangi akibat dari tak dilindunginya oleh payung hukum yang mumpuni. Pekerja rumah tangga masih menunggu kabar baik dari DPR untuk segera mengesahkan RUU PPRT sehingga mampu melindungi hak pekerja rumah tangga termasuk hak upah yang adil, waktu istirahat, dan perlindungan dari kekerasan.
“Teman-teman kita PRT bekerja dalam kondisi yang rentan tanpa jaminan sosial dan hak-hak dasar yang memadai,” pungkasnya.
*Kawan-kawan yang baik, mari membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari Noviana Rahmadani, atau artikel-artikel tentang Pekerja atau Buruh