Mengupas Cawe-Cawe Politik Jokowi dan Dampaknya Terhadap Kemunduran Demokrasi
Jalan demokrasi di negeri ini mesti terus dikawal orang-orang muda. Batalnya revisi UU Pilkada sebagai kemenangan kecil untuk menolak kemunduran demokrasi.
Penulis Yopi Muharam2 September 2024
BandungBergerak.id - “Astagfirullah haladzim, kita semua menggeleng kepala dan mengelus dada-mengelus dada atas perbuatan zalim yang dilakukan oleh pemimpin negara,” teriak Zulfa saat melakukan musikalisasi puisi.
Zulfa membacakan puisi dengan tema kondisi Indonesia saat ini. Peringatan Darurat yang digaungkan beberapa waktu lalu, menyebabkan masyarakat tumpah ruah-turun ke jalan. Hal itu terjadi karena adanya kemunduran demokrasi di Indonesia. Sebab, Presiden Jokowi mencoba meloloskan putra bungsunya Kaesang Pangarep untuk maju di Pilkada tahun 2024 melalui revisi UU Pilkada. Hal ini dapat melanggengkan dinasti politik keluarga Jokowi.
Mengutip dari laman Majalah Tempo, pada tahun 2015 Economist Intelligence Unit memaparkan hasil riset yang menunjukan presentase demokrasi awal periode Jokowi menjabat berada di urutan ke-49, dengan nilai 7,03. Sembilan tahun kemudian, pada tahun 2023 EIU kembali mengeluarkan risetnya dan menunjukkan kebebasan demokrasi di Indonesia kian menurun di akhir periode Jokowi dengan persentase indeks sebesar 6,53 yang membawa Indonesia berada di urutan ke-56.
Melihat kejadian tersebut, Imparsial bersama LBH Bandung, Bukan Jumahaan, Gerpolek, Jakatarub, dan BandungBergerak mengadakan acara pameran, diskusi, dan orasi dengan tema “Mari Bung Rebut Kembali! Jabar Juara Lahir Batin, Kaditu Kadieu Prihatin”, di Fragmen, Jalan Ir. H. Djuanda No. 23, Kota Bandung, Sabtu, 31 Agustus 2024. Salah satu orator di acara ini adalah Program Manajer dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Viola Reininda.
Viola memaparkan presentasi terkait demokrasi di Indonesia yang kian memprihatinkan. Dia menyinggung anak Presiden Jokowi yang telah menduduki kursi Wakil Presiden. Menurutnya hal ini telah merenggut independensi warga negara Indonesia.
Merespons aksi Peringatan Darurat yang terjadi pada 22-23 Agustus kemarin, dia menyadari kemenangan kecil rakyat Indonesia. Kaesang tidak dapat mencalonkan sebagai pemimpin daerah. Artinya, tidak bisa mengikuti jejak sang kakak dan kaka ipar Bobby Nasution yang menduduki jabatan Wali Kota Medan.
Dia menambahkan proses demokrasi sebetulnya tidak sebatas pemungutan suara di balik bilik suara saja. Masyarakat Indonesia harus terus mengawal demokrasi hingga pergantian kursi kepemimpinan selanjutnya.
Terpilihnya Prabowo Subianto sebagai kepala negara dan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil membuktikan kemerosotan demokrasi di Indonesia. Pasalnya Prabowo tercatat sebagai pelaku kekerasan HAM berat saat jadi serdadu. Sedangkan Gibran adalah anak dari Presiden Jokowi yang jadi wakil Presiden karena bantuan pamannya, Anwar Usman bekas ketua Mahkamah Konstitusi.
Menghitung bulan ke depan, keduanya akan resmi dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Presiden Jokowi berhasil membajak demokrasi, sebut Viola.
“Terutama yang saya garisbawahi di sini adalah penyalahgunaan hukum untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan lewat otokrasi legalism atau otokrasi aturan hukum yang kemudian muncul percikan-percikan lain yang berkelindan dengan demokrasi,” ujar Viola.
Baca Juga: Merawat Perjumpaan, Merebut Ruang Gerak Masyarakat Sipil di Jawa Barat
Aksi Menyalakan Lilin dan Menabur Bunga BEM SI Jabar, Menolak Kekerasan Polisi Selama Demonstrasi Peringatan Darurat
Aktivis 1998 Ziarah ke Makam Korban Tragedi Trisakti di Bandung, Mereka Menolak Kebangkitan Orde Baru
Beban Ganda Orang Muda Mengawal Demokrasi
Peran orang-orang muda sangat penting dilakukan untuk mengawal demokrasi di Indonesia. Peringatan Darurat beberapa waktu lalu menjadi bukti kawula muda sudah lebih kritis terhadap iklim politik di Indonesia.
Batalnya Revisi UU Pilkada untuk meloloskan putra bungsu Presiden Jokowi Kaesang Pangarep akhirnya gagal. Ini menjadi kemenangan kecil. Menurut Viola kemenangan ini harus terus dikawal.
Viola mengungkapkan proses dalam pengawalan demokrasi seharusnya tidak dibebankan kepada para pemuda saja. Pasalnya menurut Viola, keadaan sekarang ini terjadi karena generasi sebelumnya.
“Padahal yang menyebabkan kemunduran demokrasi adalah generasi milenial ke atas yang enggak bisa mengontrol teman sejawatnya (generasi) sendiri,” tutur Viola.
Dia melanjutkan generasi muda era sekarang sudah dibebani dari berbagai sisi. Mulai dari sulitnya mencari kerja, sampai beban sandwitch generation. “Tidak semua pemuda seberuntung anak presiden,” ujar Viola. “Maka dari itu perlu juga untuk berbagi peran.”
Penting bagi masyarakat Indonesia membagi tugas. Zaman digital seperti sekarang ini dapat menjadi wadah untuk menyuarakan kritik kepada penguasa. Peran tersebut sangat efektif digunakan. Peringatan Darurat adalah contohnya.
“Itulah yang bisa dilakukan supaya kita bisa saling melengkapi dan juga saling menjaga nafas panjang untuk merebut demokrasi,” tegasnya.
Di sisi lain, seorang pemuda yang tengah menyimak presentasi, Hizqil Fadl mengungkapkan pentingnya peran orang muda mengawal demokrasi. Menurutnya, masyarakat Indonesia sudah kecolongan saat anak Presiden Jokowi, Gibran maju sebagai wakil presiden.
Menurut Hizqil praktik kotor yang dilakukan Jokowi untuk membangun dinasti politik mesti dikawal. Terlebih bagi orang muda yang belum melek politik.
“Namun hal penting lainnya ialah kita harus merangkul mereka yang enggak memahami situasi hari ini, ini tugas kita bersama,” ujar Hizqil.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yopi Muharam atau artikel-artikel lain tentang tentang Demonstrasi Revisi UU Pilkada