Aksi Menyalakan Lilin dan Menabur Bunga BEM SI Jabar, Menolak Kekerasan Polisi Selama Demonstrasi Peringatan Darurat
Aksi menyalakan lilin dan menabur bunga ini sebagai simbol menyalakan perjuangan dan solidaritas untuk korban kekerasan oleh polisi.
Penulis Emi La Palau31 Agustus 2024
BandungBergerak.id - Barisan lilin menerangi poster-poster bertabur bunga yang menyuarakan kecaman terhadap kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian yang terjadi selama aksi Peringatan Darurat, 22 dan 23 Agustus 2024 lalu. Di Monumen Perjuangan Jabar, Kamis malam, 29 Agustus 2024, perwakilan mahasiswa bergantian menyampaikan orasi kritis tentang carut-marutnya kondisi demokrasi di bawah kepemimpinan Jokowi.
Aksi simbolik ini dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Jawa Barat, sebagai bentuk solidaritas kepada para korban kekerasan oleh aparat. Mahasiswa turun ke jalan di aksi Peringatan Darurat untuk menolak negara dikuasai hanya satu dinasti keluarga atau oligarki.
“Tidak ada suatu keluarga pun yang pantas untuk memonopoli bangsa ini,” ungkap Riko, mahasiswa Universitas Logistik dan Bisnis (ULBI), dalam orasinya.
Mahasiswa lainnya menyoroti berbagai produk hukum selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang memuat kepentingan oligarki, bukan untuk seluruh rakyat Indonesia.
“Belakangan di era Pemilu sampai Pilkada lagi-lagi rezim otoriter ingin menjadikan satu dinasti politik utuh dengan membuat anak-anaknya maju,” ungkap Arief, mahasiswa Unikom.
“Rasanya kita berhak marah, karena dari bangun tidur sampai tidur lagi, kita punya sumbangsih ke negara,” lanjutnya.
Menurut Arief, kemarahan terhadap aparat kepolisian dalam menghadapi massa aksi dengan bersenjata lengkap pada Peringatan Darurat 22 dan 23 Agustus 2024 lalu menimbulkan ratusan korban luka.
“Lagi-lagi kita dihadapkan oleh aparat yang gajinya kita bayar tiap bulan, tapi mereka menghadapi kita dengan perlengkapan senjata lengkap, gas air mata, senjata, pentungan, rompi antipeluru,” ujarnya.
Ia menuntut kepolisian untuk melakukan evaluasi secara struktural. Lilin-lilin menjadi simbol kobaran api yang akan membesar dari gerakan mahasiswa untuk melakukan evaluasi terhadap para pengurus negara.
“Aparat hanya melayani penguasa. Banyak kawan kita yang mengalami luka di kepala. Hari ini, api lilin ini merupakan simbol kami berjuang melawan aksi ketidakadilan ini,” ungkap Rifki, mahasiswa STIA LAN Bandung.
Nyala Lilin untuk Perjuangan
Singgih, mahasiswa Poltekes Kemenkes Bandung menyoroti berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam beberapa tahun ke belakang, mulai dari Tragedi Kanjuruhan, kasus Afif Maulana, dan terbaru dalam aksi Peringatan Darurat.
“Setelah melihat aparat kepolisian yang bangsat, semoga dengan datangnya kawan-kawan di sini, membangun empati, untuk kita semua,” katanya.
Koordinator BEM SI Jabar Arief Tegar Prawira menjelaskan, aksi menyalakan lilin ini merupakan bentuk solidaritas terhadap seluruh massa aksi yang mengawal putusan Mahkamah Konstitusi sekaligus menolak revisi UU Pilkada. Aksi ini diharapkan bisa memantik masyarakat untuk mengkritik dan mendorong agar institusi Polri bisa segera direformasi baik secara kultural maupun struktural.
“Lilin dan bunga adalah simbol bahwa hari ini kita sedang sama-sama berkabung, kita bersedih karena demokrasi dan kedaulatan rakyat secara terang-terangan telah dibunuh oleh rezim hari ini yang direpresentasikan oleh aparat penegak hukum,” kata Arief seraya menambahkan bahwa saat ini esensi reformasi 1998 telah dibunuh.
Tuntutan BEM SI Jabar
Di sela-sela aksi yang diwarnai dengan melantunkan doa bersama untuk korban kekerasan oleh aparat kepolisian, BEM SI Jabar menyampaikan beberapa tuntutan terkait kekerasan yang dilakukan kepolisian terhadap massa aksi di berbagai kota di Indonesia, mulai dari Jakarta, Semarang, Makassar, dan lain-lain. Berikut ini pernyataan sikap BEM SI Jabar:
- Mengecam dan mengutuk segala bentuk represifitas yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap massa aksi;
- Menuntut aparat kepolisian yang represif untuk ditindak dan diberikan sanksi tegas;
- Menuntut DPR RI, Komnas HAM, dan seluruh stakeholder untuk memanggil pihak kepolisian dan menginvestigasi adanya arahan terkait represifitas yang dilakukan oleh aparat;
- Memastikan pembebasan massa aksi yang tertangkap dan memastikan kesehatan dan perawatan massa aksi yang terkena represifitas oleh aparat kepolisian.
Baca Juga:Pelajaran dari #PeringatanDarurat
Jejak Poster-poster Protes Peringatan Darurat di Bandung
Lebih dari 100 Orang Korban Luka, Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat Mengecam Tindak Kekerasan Aparat dalam Aksi Kawal Putusan MK di Bandung
Kekerasan terhadap Jurnalis
Aksi demonstrasi Peringatan Darurat Penolakan RUU Pilkada juga memakan korban kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis. Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) merilis peristiwa kekerasan terhadap jurnalis terjadi saat aksi demonstrasi elemen masyarakat dan mahasiswa menolak revisi UU Pilkada di DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 22 Agustus 2024.
Tak hanya hanya itu, jurnalis pers mahasiswa juga menjadi korban kekerasan polisi saat meliput aksi massa dengan tema yang sama di Semarang, Jawa Tengah.
Berdasarkan laporan yang diperoleh KKJ, setidaknya terdapat 11 orang jurnalis di Jakarta telah menjadi korban kekerasan aparat, melalui bentuk tindakan intimidasi, ancaman pembunuhan, kekerasan psikis hingga fisik yang mengakibatkan luka-luka berat. Tercatat 3 orang anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di Semarang mengalami sesak napas hingga pingsan akibat tembakan gas air mata yang dilancarkan oleh polisi untuk membubarkan aksi.
“Kali ini, tidak hanya aparat kepolisian - personel TNI diduga kuat turut dikerahkan dalam melakukan proses pengamanan dan menjadi aktor di balik penyerangan terhadap jurnalis. Laporan Tempo.co, personel TNI dan Polri diduga memukul dan mengancam membunuh jurnalis Tempo berinisial H yang tengah meliput demonstrasi di Kompleks Parlemen DPR RI pada Kamis, 22 Agustus 2024,” demikian keterangan resmi Komite Keselamatan Jurnalis.
Kekerasan tersebut berawal saat jurnalis tengah merekam aparat TNI dan Polri yang diduga menganiaya seorang pendemo yang terkulai di dekat pagar sisi kanan gerbang utama Gedung DPR RI yang dijebol massa sekitar pukul 17.00 WIB.
Secara tiba-tiba, tiga orang aparat meringkus H dan menanyakan asal serta menunjukkan surat tugas peliputan. Namun aparat justru melakukan intimidasi dan memaksa H untuk menghapus video yang direkamnya. H kemudian dibawa ke pos kepolisian terdekat dan kembali diminta untuk menghapus video oleh biro Provos.
Kejadian serupa juga dialami oleh kameramen Makna Talks – Edo dan Dory saat mendokumentasikan tindakan represif aparat. Mengutip postingan X oleh akun @iyaslawrence, keduanya terluka akibat tindakan pemaksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian disertai gas air mata dan penyerbuan.
Praktik kekerasan psikis berupa intimidasi dan penyerangan fisik juga mengakibatkan kerusakan pada alat kerja jurnalis Narasi.tv. Jurnalis yang melakukan peliputan hingga sekitar pukul 20.30 WIB didorong paksa dan diintimidasi oleh aparat kepolisian untuk meninggalkan lokasi peliputan.
Berdasarkan kejadian tersebut, Komite Keselamatan Jurnalis menilai kasus ini merupakan pelanggaran berat terhadap jaminan perlindungan kerja jurnalistik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”
Tindak kekerasan oleh Aparat Kepolisian berupa penganiayaan dan penyiksaan yang mengakibatkan luka berat pada jurnalis saat tengah menjalankan profesinya juga merupakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman 5 (lima) tahun penjara.
Atas perkara tersebut, KKJ mendesak:
Kepolisian untuk memproses aparat yang melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis secara hukum pidana dan kode etik.
Kapolri beserta jajarannya untuk menghentikan segala bentuk tindakan penggunaan gas air mata, intimidasi, penghalang-halangan, penyerangan (represi), penangkapan dan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap para jurnalis yang sedang bertugas dalam melakukan peliputan aksi publik sebagaimana dilindungi oleh undang-undang;
Panglima TNI beserta jajarannya untuk menarik mundur seluruh anak buahnya yang ditugaskan dalam pengamanan aksi sipil karena tidak sejalan dengan tugas dan kewajiban sebagaimana amanat Undang-undang;
Kapolri dan Panglima TNI beserta seluruh jajarannya untuk segera melakukan investigasi dan mengusut tuntas praktik kekerasan berupa penganiayaan, intimidasi dan penyerangan fisik yang menyasar jurnalis dan wartawan yang tengah menjalankan tugas peliputan;
Mengimbau para korban kekerasan untuk melaporkan seluruh bentuk kekerasan yang dialami selama proses peliputan.
Tentang Komite Keselamatan Jurnalis
Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019. Komite beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI).
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Emi La Palau, atau tulisan-tulisan lain tentang Presiden Jokowi