Pelajaran dari #PeringatanDarurat
Jangan sampai kemenangan kecil rakyat ini pada akhirnya kembali dikooptasi oleh oligarki.
M. Fasha Rouf
Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.
31 Agustus 2024
BandungBergerak - Tiga hari setelah HUT ke-79 Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) memberi kado dengan mengeluarkan dua putusan penting bagi demokrasi Indonesia. Pertama, keputusan nomor 60/PUU-XXII/2024 yang membuka peluang lebih banyak partai politik untuk mengusung calon pemimpin daerah. Kedua, keputusan 70/PUU-XXII/2024 yang mempertegas batas umur saat pendaftaran calon kepala daerah.
Sebagian besar masyarakat bersukacita atas keputusan ini. Namun, bagi lingkar kekuasaan, dua keputusan itu mengganggu. Keputusan pertama mengancam bubarnya Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang direncanakan menang mutlak di daerah-daerah dengan demografis besar dan wilayah dengan sumber daya alam strategis. Keputusan kedua tentu lebih menusuk ke jantung kekuasaan: Kaesang, anak bungsu Presiden Joko Widodo tidak bisa mendaftar menjadi Cagub ataupun Cawagub. Keesokan harinya, 21 Agustus 2024, melalui sidang Badan Legislatif (Baleg) DPR, pemerintah dan DPR bersepakat untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah di rapat paripurna DPR dan menganulir dua putusan MK tersebut.
Tak lama setelah kabar mufakat licik itu tersiar, netizen menggelorakan tagar #PeringatanDarurat di platform X. Mereka ingin mengingatkan, jika wakil rakyat dan pejabat kebablasan, rakyat bisa bergerak menyatakan kedaruratan, kembali merebut kekuasaan ke tangan mereka. Pada 21 Agustus malam, netizen dari beragam latar belakang melakukan konsolidasi. Esoknya, ribuan massa menyerbu gedung wakil rakyat di berbagai kota besar di Indonesia. Beragam elemen menyatukan kekuatan. Atas nama organisasi atau perorangan.
Tak ingin ditipu oleh pembatalan sidang paripurna, rakyat terus meraungkan sirine peringatan darurat tersebut. Protes terjadi di dunia maya maupun di jalanan. Koran Kompas mencatat, setidaknya hingga tanggal 23 Agustus, terdapat 16 kota yang melakukan aksi #PeringatanDarurat di berbagai lokasi. Di Yogyakarta misalnya, demonstran membawa pasung ke tengah massa aksi sebagai simbol untuk mengakhiri kedinastian dan kekuasaan yang semena-mena.
Konsep Massa dan Tujuan #PeringatanDarurat
Pergerakan massa di berbagai titik ini tentu salah satu buah positif dari hadirnya media sosial dengan penggunanya yang kritis. Banyak ilmuwan gerakan sosial seperti Beckerman (2022), Johansson dan Scaramuzzino (2023), serta Schaaf dan Quiring (2023) yang sangat yakin bahwa media sosial memiliki kemampuan dan kecepatan tinggi dalam memobilisasi warga sipil skala besar. Dalam istilah yang digunakan oleh Sastramidjaja (2021), gerakan protes sejenis ini terjadi karena adanya generasi muda digital dan pola gerak rizomatik (menyebar, mengakar).
Berdasarkan tipe orang yang terlibat dalam mobilisasi sosial (McCarthy dan Zald, 1977), saya menganalisis bahwa massa demonstran #PeringatanDarurat adalah konstituen terisolasi terlebih dahulu, yaitu individu atau kelompok yang menjadi bagian dari gerakan sosial tetapi belum pernah bertemu secara langsung dalam federasi atau organisasi konkret. Mereka adalah penganut hati nurani yang menjadi bagian dari #PeringatanDarurat tetapi tidak secara langsung diuntungkan dari tercapainya tujuan secara orgnisatoris, seperti manfaat langsung yang dirasakan Partai Politik.
Massa yang memiliki nurani dan kesadaran kritis itu sangat penting bagi pengawasan demokrasi Indonesia. Namun, di tengah api membara di masyarakat untuk membakar banyak kelaliman, tetap ada nyinyiran beberapa pihak. Bukan hanya dari yang pro-kekuasaan, tetapi juga dari segelintir akademisi.
Contohnya, Mudhofir dan A’yun (2024) dalam esainya di Multatuli Project menyatakan bahwa #PeringatanDarurat hanyalah sebuah gerakan aktivisme borjuis tanpa niat untuk menjadi organisasi formal yang terlibat dalam reformasi sistem politik. Bukan argumennya tak tepat, tetapi mereka tak empatik. Bahasanya sangat meremehkan massa yang berjuang di lapangan. Bahkan melebar mengkritik para aktivis yang melakukan Mahkamah Rakyat beberapa waktu sebelumnya. Selain itu, waktu rilis tulisan sangat ganjil, ketika massa sedang berada pada puncak semangat mengawal demokrasi.
Dus, kritik yang dilontarkan Mudhofir dan A’yun tersebut tampaknya gagal melihat posisi massa digital. Mereka melihat massa seharusnya berada dalam sebuah organisasi pergerakan sosial konkret, terorganisasi, dan memiliki tujuan jangka panjang yang jelas. Argumen itu sangat dekat dengan pendekatan teori klasik social resource mobilisation theory (RMT) dari McCarthy dan Zald (1977) sebagaimana saya sebut sebelumnya. Namun dalam perkembangannya, banyak peneliti pergerakan sosial masih sangat kebingungan dengan keajaiban media sosial dalam mengumpulkan massa dan sumber daya pergerakan yang sangat berlimpah.
Memang, menurut salah satu hipotesis RMT, organisasi atau pergerakan yang lebih bergantung pada komponen individu seperti dari gerakan daring cenderung memiliki aliran sumber daya yang kurang stabil. Namun nyatanya, gerakan #PeringatanDarurat berhasil mencapai tujuan mereka: mengawal keputusan MK sampai berlaku dalam Pilkada 2024 dengan sumber daya aksi yang melimpah. Johansson dan Scaramuzzino (2023) pun menyebut bahwa aktivisme sosial di dunia digital sebenarnya memilii sumber daya yang sangat melimpah (digital resource abundance).
Baca Juga: KELAKUAN NETIZEN: Panggilan Bosmu Di-Reject Aja
KELAKUAN NETIZEN: Keluar dari Fanatisme Politik yang Beracun
KELAKUAN NETIZEN: Bergosip untuk Kemenangan Rakyat
Pelajaran Gerakan Sosial Digital dari #PeringatanDarurat
Sebelum mendiskusikan strategi agar gerakan #PeringatanDarurat bisa bertahan lebih lama untuk tujuan substansif lainnya, saya mencoba menganalisis beberapa pelajaran berharga dari gerakan ini. Sangat banyak inisiatif baru yang jauh lebih kuat dan sistematis dibanding gerakan massa sebelumnya, misalkan #ReformasiDikorupsi.
Pertama, komunikasi sains yang baik dari pengamat dan aktivis pemilu perlu diapresiasi. Mereka selalu mengawal dinamika keputusan MK. Mereka menyampaikan argumen akademis soal bahaya-bahaya jika keputusan ini dibatalkan dengan cara yang mudah dimengerti warganet. Contohnya akun @titianggraini, seorang pegiat pemilu yang konsisten menjelaskan dari sudut pandang hukum kepemiluan. Cuitan para pengamat ini banyak digunakan sebagai bahan argumentasi perlawanan.
Kedua, gerakan ini menggunakan kekuatan budaya populer yang tidak terbayangkan sebelumnya. Berawal dari akun anonim @BudiBukanIntel, tagar #PeringatanDarurat dilayangkan. Tagar itu berasal kreasi video di Youtube yang distopia, bagaimana stasiun televisi akan memperingatkan warga Indonesia jika makhluk asing menginvansi. Cuplikan video dan tagar itu kemudian menyebar kilat. Para musisi ramai-ramai menggunakan lambang dan tagar itu saat mereka konser. Membantu menambah jumlah dan spektrum massa yang terlibat atau tertarik pada gerakan ini. Seniman-seniman melakukan cultural jamming secara daring atau diarak ke jalanan.
Ketiga, masih berkaitan dengan budaya populer, dengan menggunakan OSINT framework, netizen secara jeli dan kritis menguliti sisi gelap lain dari keluarga Presiden dan pejabat publik lain yang justru mendukung pembatalan putusan MK. Sumber data terbuka berhasil disulap jadi kritik-kritik tajam soal etika keluarga pejabat negara. Karena berkaitan dengan gaya hidup bak selebritis yang serba mewah, kritik dengan gaya ini pun dapat menjangkau publik yang lain.
Terakhir, Beckerman (2022) mengingatkan bahwa aktivisme sosial melalui media sosial tetap terbatas oleh algoritma di masing-masing platform. Menariknya, pada protes kali ini, netizen dengan inisiatif dan keahliannya melakukan perlawanan di berbagai kanal yang sesuai dengan algoritmanya. Seorang TikTokers yang pandai berbahasa Prancis misalnya, menjelaskan bagaimana kepala Marie Antoniette dapat dipenggal dalam revolusi Perancis. Caranya yang slay, sangat sesuai dengan karakter audiens dan algoritma TikTok. Contoh lainnya, seorang musisi menyebarkan musik jedag-jedug bertema “Mulyono” yang dapat digunakan sebagai musik latar yang disukai pengguna dan algoritma TikTok. Sebuah taktik menarik.
Gerakan Lanjutan
Tentu masih banyak sekali buah tangan dari #PeringatanDarurat tentang bagaimana mengorganisasi perlawanan secara cepat dan dapat bertahan dalam waktu berhari-hari. Selain pelajaran berharga itu, gerakan berikutnya mungkin bisa bersama-sama memperbaiki beberapa catatan kecil yang ditemukan.
Pertama, mempertimbangkan peringatan McCarthy dan Zald (1977, hlm.1222) yang menyatakan bahwa peran dan akrobat dari pihak kekuasaan akan memengaruhi mobilisasi sumber daya gerakan sosial. Dalam aksi protes di jalanan kali ini, banyak demonstran terluka. Satu orang di Bandung bahkan kehilangan matanya. Ke depan, masyarakat sipil perlu mendistribusikan peralatan keamanan aksi secara lebih efektif untuk menghadapi tindakan represif. Jika warga tak terorganisasi, sementara pihak kekuasaan semakin berdisiplin dalam mendisiplinkan warga, perlawanan akan semakin sulit.
Kedua, Johansson dan Scaramuzzino (2023) mengusulkan taktik praktis agar kita memperhatikan langkah ketiga dari tahapan perlawanan melalui media sosial. Tahap ini berada setelah puncak gerakan sosial daring. Kita harus dapat mempertahankan sumber daya, wacana, dan posisi sosial untuk menjaga perhatian publik terhadap isu-isu kritis lainnya. Pendeknya, kita harus mampu menjaga api kritisisme agar menyala lebih lama, melalui beragam bentuk komunikasi partisipatif.
Ketiga, dalam menjaga keberlanjutan, organisasi masyarakat sipil masih dipercaya sebagai penjaga tujuan gerakan sosial jangka panjang. Karenanya, kolaborasi antara organisasi masyarakat sipil dengan netizen dan warga melalui berbagai program komunikasi dapat terus dilakukan. Sebenarnya, praktik saat aksi #PeringatanDarurat pun sudah baik. Berbagai organisasi sipil mengawal, mulai dari penggalangan dana, pembuatan kajian, hingga pemberian bantuan hukum. Peningkatan eskalasi dengan kerja-kerja kolaboratif bisa menjadi alternatif.
Jangan sampai kemenangan kecil rakyat ini pada akhirnya kembali dikooptasi oleh oligarki. Jangan sampai mereka pula yang menikmati putusan, sementara rakyat hanya kembali memungut remah dari pojokan. Karenanya, sirine peringatan akan gelagat kekuasaan semoga terus bisa dihidupkan dan dikonsolidasikan.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain M. Fasha Rouf atau artikel-artikel lain tentang Peringatan Darurat