• Kolom
  • KELAKUAN NETIZEN: Keluar dari Fanatisme Politik yang Beracun

KELAKUAN NETIZEN: Keluar dari Fanatisme Politik yang Beracun

Fanatisme politik di era wabah informasi ini dapat menjerumuskan pada penyebaran informasi palsu hingga berita bohong. Berpeluang merusak agenda rakyat dalam pemilu.

M. Fasha Rouf

Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.

Janji kerja mudah. Pengamen jalanan di depan slogan dan janji kampanye partai politik di simpang Jalan Riau-Ahmad Yani, Bandung, 20 Desember 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

7 Februari 2024


BandungBergerak.id…dan sibukkanlah orang-orang zalim agar mendapat kejahatan dari orang zalim lainnya, selamatkanlah kami dari kejahatan mereka…

Itu adalah penggalan dari terjemahan Selawat Asygil. Selawat yang sering didendangkan Ayah saya saat di rumah. Jika diingat, ia membesarkan saya dengan gayanya sendiri: melalui dendang nadom, atau syair-syair yang dipungutnya saat mondok.

Karenanya, tiap saya mengenang lantunan selawat itu selalu memuncul pemaknaan baru, karena diri saya bertumbuh, atau lingkungan yang terus berubah. Termasuk di masa kampanye pemilihan presiden (Pilpres) 2024, semua kubu rasanya memanjatkan selawat itu baik di forum akbar atau kecil. Seluruhnya merasa paling dizalimi oleh lawan politiknya.

Baca Juga: KELAKUAN NETIZEN: Balada Asep dan Artificial Intelligence
KELAKUAN NETIZEN: Komunitas Informatik, Solusi Kesenjangan Digital?
KELAKUAN NETIZEN: Bergosip untuk Kemenangan Rakyat

Spirit Melawan si Paling Zalim

Namun, sesungguhnya spirit selawat itu lebih tepat dimiliki dan digaungkan oleh rakyat. Kebanyakan kitalah yang menjadi kelompok tertindas dan termarjinalkan. Bahasa anak sekarang, spirit melawan Si Paling Zalim. Setidaknya ada tiga alasan mengapa spirit itu mesti lebih berkobar di waktu Pilpres ini.

Pertama, secara cerlang diketahui bahwa seluruh calon presiden dan wakil presiden ialah pilihan elite politik. Mulai dari pengetatan ambang batas pencalonan (presidential trasehold 20%), hitung-hitungan kepentingan (termasuk kepentingan keluarga), atau kalkulasi banal dari potensi elektoral. Sukmawan dan Pratama (2023) tegas menyebut bahwa presidential trasehold malah berkontribusi pada populisme dan perpecahan, dan tak ada bukti empiris bahwa itu dapat meredam konsekuensi negatif dari sistem presidensial multipartai.

Kedua, keriuhan dan pertengkaran yang terjadi di media sosial, adalah panggung depan (frontstage) yang belum tentu sama terjadi di panggung belakang (backstage). Perpecahan di media sosial karena Pilpres 2019, tetapi tiba-tiba ada rekonsiliasi di tingkat elite bisa menjadi contoh baik bagaimana kita harus bisa menapak lebih bijak.

Padahal, riset media sosial yang dilakukan Salahudin dan koleganya (2020) menyebut bahwa pada Pilpres 2019, di kalangan organisasi-organisasi islam sekalipun —yang seharusnya menjadi juru damai— telah terjadi polarisasi. Organisasi Islam pendukung Jokowi-Amin versus pembela Prabowo-Sandi. Ragam kepentingan kelompok Islam itu hanya bisa bersatu jika kepentingan dari masing-masing terpenuhi (Salahudin dkk., 2020). Eh pada akhirnya, justru kepentingan penguasa yang lebih dulu mudah menyatu.

Ketiga, dari semua visi, misi, kebijakan, program dan segala cita-cita yang disampaikan para kandidat pada rakyat, belum jelas siapa yang paling diuntungkan. Bisa jadi semua program sudah diatur siapa tokoh kuncinya, atau ke mana aliran labanya. Ujungnya, rakyat hanya jadi variabel ukuran kuantitatif dalam pelaporan anggaran dan kegiatan.

Contoh mudahnya, kita bisa melihat cuitan-cuitan dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Indonesia di aplikasi X atas hasil riset-investigatif mengenai siapa penguasa dan/atau pengusaha (atau peng-peng) di balik masing-masing calon pasangan. Semuanya jelas tergambar dalam grafik ciamik; mulai dari jumlah pengusaha dari masing-masing pasangan hingga besaran usaha tambang yang digarap.

Ketiga hal itu semestinya membuat kita tetap memiliki spiritualitas melawan ketidakadilan. Sebuah keteguhan hati yang berpihak pada diri kita sendiri yang masih merasa banyak kesulitan. Atawa jika sedang merasa hidup nyaman, seharusnya dapat berempati pada kelompok yang tak bernasib baik, atau bahkan karena terisap kekayaan dan kenyamanan kita.

Tangisan dan Pembelaan di Media Sosial

Jika kemalangan nasib rakyat dapat diresapi, sesungguhnya selawat itu mampu menyalakan nalar, kalbu, hingga (jika ingin) memberikan suara pada calon presiden dan wakil presiden yang setidaknya kita anggap paling bersinar.

Sayangnya, harapan itu sempat padam ketika saya melihat banyak sekali kelakuan netizen yang ganjil di media sosial selama masa kampanye. Pertengkaran justru lebih sering terjadi di kalangan rakyat biasa. Melalui akun media sosial masing-masing dan di amplifikasi oleh kehadiran buzzer, netizen kita saling menghujankan hujatan, menyebarkan cercaan.

Ada hal lucu saat saya menyaksikan berjibun konten media sosial yang menangisi calon presiden karena debat resmi yang digelar KPU. Padahal, memang seharusnya acara debat ialah pertarungan ide antarkandidat. Membedah bagaimana kepribadian, gagasan, hingga kemampuan teknokratik pemerintahan agar visi-misinya dapat diwujudkan. Bukan justru di pasca-debat, rakyat lagi yang saling bertengkar.

Mengutip cuitan Zen RS (8/01/2024) di akun X-nya: “Mereka-merekalah yang emang mestinya baku hantam secara terbuka, di atas panggung, di bawah sorot lampu, bukan di ruang-ruang tertutup. Biarlah kita-kita ini yang nonton (dan ngasih ponten). Jangan jelata mulu yang dicemplungin saling sikat sementara obos-obos duduk manis sambil ngoplos dadu.”

Hal tak kalah lucu, karena sudah meyakini pilihan di Pilpres 2024, banyak netizen dengan mudahnya menolak segala argumentasi dari orang yang beda pilihan. Sehingga, secara mudah kita meludahi begitu saja rasionalitas atau emosionalitas pilihan orang lain.

Di media sosial, seharusnya rakyat semakin mengkonsolidasikan kekuatan dengan perbanyak memperbincangkan isu-isu kepentingan umum. Bukan kepentingan sesaat. Jika sudah memiliki pilihan, jangan sampai terjebak menjadi sosok pemuja buta. Bukankah ada yang merasa terjebak ketika dulu pernah menganggungkan “orang baik”?

Lalu, jika tak suka pada calon dari kubu lawan, jangan sampai terjebak pada proses demonisasi. Kita membenci sosok karena memang terus mengonsumsi dan memproduksi hal-hal buruk tentangnya. Padahal, bisa jadi masih ada kebaikan darinya, meski sebesar biji zarah.

Keluar dari Toxic Online Political Fandom

Dalam bahasa komunikasi, kita harus mampu keluar dari toxic onlie political fandom (penggemar politik online yang beracun). Political fandom dapat diartikan sebagai sebuah cara pengaguman seseorang kepada figur politisi, partai politik, atau ideologi politik tertentu.

Disebut dapat menjadi toxic atau beracun karena di era wabah informasi ini, political fandom dapat menjerumuskan pada penyebaran informasi palsu, berita bohong, atau menghasilkan echo chambers (sebuah proses komunikasi yang dilakukan dengan sesama fans pendukung). Kondisi ini diperparah dengan algoritma atau sistem pengaturan di media sosial yang condong menghasilkan ekstrimisme pilihan, karena diatur berdasarkan kemiripan konten-konten yang kita sukai.

Natalie Le Clue (2023) dalam risetnya yang berjudul The new normal: Online political fandom and the co-opting of morals meneliti tentang toxic political fandom pada Pemilihan Presiden Amerika 2016 dengan menggunakan tagar Twitter #CrookedHillary dan #LockHerUp. Hasilnya menunjukkan bahwa gagasan tradisional komunikasi politik tentang ketidaksepakatan, debat, partisipasi, komunikasi, keterbukaan pikiran, dan identitas politik telah dikooptasi oleh para pengguna media sosial. Wacana yang sebelumnya “normal” dan “dapat diterima” telah menjadi retorika beracun. Para penggemar “menerima” untuk terlibat dalam praktik-praktik yang tidak terkendali, tidak etis, dan beracun. Kita harus mampu keluar dari praktik yang justru merusak agenda rakyat itu sendiri.

Untungnya spirit positif rakyat di media sosial untuk melawan kelaliman belum sepenuhnya lenyap. Menjelang hari pemilihan, justru semakin menggelegar suara-suara netizen yang bersemangat memenangkan kepentingan rakyat. Bersepakat untuk bergerak agar Pemilu menghadirkan sebesar-besarnya manfaat. Mulai dari suara-suara cendekia dan guru bangsa di akun media sosialnya, suara-suara aktivis, mahasiswa, dan ragam opini kritis dan tulus dari netizen Indonesia lainnya. Mereka hadir di jagat media sosial dengan spirit “…selamatkanlah kami dari kejahatan mereka…”.

Siapa pun pemenangnya, semangat itulah yang harus kita terus pupuk. Kita perlu menyiapkan ruang kecewa sembari getol menyiapkan tuntutan pada penguasa. Dan tentunya, terus mencari kemenangan rakyat di tengah pertarungan bawah meja kekuasaan.

Sebab, seperti riset Sindhunata, Ratu Adil sebenarnya tak akan pernah mewujud nyata, turun ke bumi di hadapan muka rakyat. Sesungguhnya Ratu Adil ialah spirit rakyat kecil untuk terus melawan ketidakadilan. Sindhunata menulis di Kompas (9/01/2024): “Jadi, bagi rakyat, sejauh penderitaan dan kemiskinan masih mendera, Ratu Adil takkan pernah hilang dari hadapan mata.”

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//