• Kolom
  • KELAKUAN NETIZEN: Bergosip untuk Kemenangan Rakyat

KELAKUAN NETIZEN: Bergosip untuk Kemenangan Rakyat

Cara menggosip di media sosial menjadi salah satu strategi yang digunakan dalam pemilihan presiden 2024 ini. Kenyataan dan rekaan dibiarkan kabur sedemikian rupa.

M. Fasha Rouf

Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.

Daftar pasang calon presiden dan wakil presiden pemilihan umum 2024. (Foto: Sumber kpu.go.id)

29 Januari 2024


BandungBergerak.id – Setelah menyelesaikan semua sisa pekerjaan rumah selepas Isya, Uwa segera duduk di depan televisi. Kadang ia memanggil saya untuk menyalakannya. Stasiun yang diminta selalu satu: SCTV. Hingga hampir dini hari, ia menonton sinetron.

Selama menonton sinetron, banyak komentar meluncur dari mulut Uwa. Baik soal alur cerita, apalagi tentang sikap dan tindakan para tokoh. Saya tidak ingat bagaimana cerita sinetron tersebut, tetapi hanya ingat lagunya: jika aku bisa, ku akan kembali/ ku akan merubah takdir cinta yang kupilih.

Tapi Uwa masih mengingat baik cerita dari awal episode. Ketika saya iseng menanyakan bagaimana alur cerita sebelumnya, dan bagaimana riwayat kehidupan tokoh dalam cerita, ia mampu mengurainya sangat detail.

Meskipun Uwa rajin berkomentar, sebenarnya dia tak bisa membaca, apalagi menulis. Saya curiga, begitulah sinetron bekerja. Ia tak meminta penontonnya untuk paham literasi modern (baca, tulis, media, digital), tetapi hanya cukup menggunakan emosi untuk menikmatinya.

Soal emosi ini, Uwa adalah sosok perempuan hebat yang saya kagumi. Sebulan sebelum bekerja membantu Nenek, Uwa baru saja ditinggalkan suaminya. Ia dengan tabah merawat suaminya hingga akhir hayat, meski pernah mengalami trauma berat karena kekerasan dalam rumah tangga. Barangkali umpatan dan komentar terhadap sinetron adalah katalis terhadap hidup ideal atau tak ideal menurutnya. Mungkin bagi Uwa, hidup abadi bukan karena menulis, tapi karena terus menjalani apa yang telah Tuhan tetapkan dalam garis.

Baca Juga: KELAKUAN NETIZEN: Ingatan Personal di Arsip Digital
KELAKUAN NETIZEN: Balada Asep dan Artificial Intelligence
KELAKUAN NETIZEN: Komunitas Informatik, Solusi Kesenjangan Digital?

Gosip dan Budaya Populer

Makanya, kata Nilan (2001) dalam risetnya, jika ingin memiliki pekerja rumah tangga (PRT) penuh waktu (full-time) di Indonesia, hal yang pertama harus dilakukan ialah memiliki televisi. Jika tidak, PRT akan jemu kehilangan program favoritnya.

Sinetron adalah alat gosip masyarakat kita. Nilan (2001) menemukan bahwa cara masyarakat kita memperbincangkan sinetron telah berkelindan dengan bagaimana mereka membicarakan dan menyimbolkan persoalan-persoalan hidupnya, mulai dari urusan tetangga hingga kelakuan bernegara.

Tak heran jika Sapardi Djoko Damono (2011) menyebutkan bahwa gosip adalah landasan dari kebudayaan populer (di sekitar) kita. Dalam buku lawasnya tersebut, ia menggambarkan bahwa secara sosiologis, gosip mengakar dalam budaya lisan kita yang kuat. Hadirnya media massa akan mendapatkan respons yang mudah untuk dicerna lalu diperbincangkan. Tak hanya di Indonesia, Zeitlin sejak 1979 juga menyebutkan bahwa gosip tentang selebritas yang disebarkan lewat mulut ke mulut adalah salah satu hal yang paling menarik (most intriguing) dari kebudayaan Amerika modern.

Di era media sosial ini, gosip masih memberi energi yang kuat bagi netizen-netizen Indonesia. Kita lihat saja akun lambe_turah di Instagram. Akun gosip kehidupan selebritas itu memiliki 11,8 juta pengikut dari 17 ribu unggahan. Di media sosial, aktivitas rumpi masyarakat kita menjadi lebih interaktif. Netizen bisa memberikan tanda suka pada unggahan atau komentar orang, atau ikut turut ribut di kolom komentar.

Saya iseng membaca komentar di salah satu unggahan lambe_turah soal Inara Rusli. Netizen terbelah antara kubu yang mendukung Inara atau kubu yang mendukung mantan mertuanya. Wacananya mulai dari menyeret agama, hingga mengomentari gaya hidup sosialita. Mulai dari bahasa halus umpama doa, hingga bahasa kasar tak karuan.

Namun, di salah satu unggahan lambe_turah tentang Pinkan Mambo yang (katanya) dipaksa ngamen di perempatan jalan, tiba-tiba seorang netizen membalas tak nyambung, “Biarkan saja, asal jangan mencoblos Capres X”.

Racun Gosip dalam Kampanye Politik

Setelah menelusuri lagi, ternyata akun lambe_turah juga mengunggah beberapa konten terkait Pemilu 2024, misalnya soal pernyataan Presiden bahwa ia bisa turun berkampanye. Netizen pun semangat berdebat.

Gosip dan politik sebenarnya sudah mengakar sejak lama di masyarakat kita. Misalkan, di Kalimantan, calon presiden yang akan mendapatkan suara paling banyak di wilayah tersebut ialah calon yang paling sering dibicarakan di kedai-kedai kopi.

Tampaknya, cara menggosip di media sosial adalah salah satu strategi yang digunakan dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024 ini. Prinsipnya mungkin sama seperti yang terjadi pada Uwa: lewat konten populer dan gosip, rakyat tak perlu memiliki literasi politik dan literasi media yang memadai, hanya butuh waktu untuk menonton dan mendengar, lalu nyalakan emosi.  

Karenanya, selain adu buzzer media sosial sebagaimana terjadi di 2014 dan 2019, Pilpres kali ini tampaknya semakin recehan dan menggelikan. Banyak selebritas mendukung salah satu pasangan calon tanpa alasan jelas dan meyakinkan. Misal, ada penulis puisi (meskipun tulisannya jelek aja belum) yang mendukung salah satu capres tanpa argumen yang dapat diterima akal sehat. Padahal, spirit puisi adalah melihat realitas dengan kejernihan, tak mudah percaya pada kepalsuan, dan lebih sering berpihak pada penindasan.  

Sebagaimana gosip selebriti, ada gosip politik soal keberhasilan, ada negative campaign soal kegagalan dari masing-masing kandidat. Sebagaimana gosip selebriti, masyarakat malah ditawari gimmick politik dibandingkan konten-konten yang membuat kita cerdik. Sebagaimana gosip selebriti, kenyataan dan rekaan dibiarkan kabur sedemikian rupa.

Melawan Kampanye Politik Recehan

Melihat kekuatan logistik yang digelontorkan, tampaknya media sosial kita memang akan begitu terpuruk hingga pemilihan usai. Atau mungkin akan jauh lebih buruk setelah ada pemenang yang duduk di bangku presiden. Karenanya, sebagaimana masalah yang biasa kita dapatkan sehari-hari, kita yang harus melawan sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya.

Dampak dari gosip selebriti dan gosip politik pada kehidupan kita tentu sangat jauh berbeda. Ketika kita mendukung salah satu tokoh dalam sinetron atau salah satu artis yang berkonflik, itu tak akan berarti apa-apa bagi kehidupan nyata kita.

Tetapi, jika kita mendukung calon presiden yang salah hanya karena gosip politik populer, maka pilihan itu akan benar-benar memengaruhi kehidupan kita. Kita bisa semakin terinjak atau bisa sedikit berharap untuk beranjak dari kekuasaan yang merusak, dari nasib buruk yang kian berserak.

Jika kita percaya pada tesis Harari (2014) bahwa gosip adalah salah satu cara manusia menguasai peradaban di dunia, bolehlah kita sedikit percaya bahwa gosip juga dapat menjadi kekuatan bagi rakyat jelata seperti kita untuk memenangkan pilihan terbaik bagi bangsa.

Riset Martinescu dkk. (2019) menyebutkan bahwa dalam hubungan kekuasaan, gosip lebih banyak digunakan antar kelompok dengan kekuatan yang setara (seperti masyarakat biasa dengan masyarakat biasa) atau disebut lateral gossip, serta antara kelompok yang memiliki kekuatan lemah kepada kelompok dengan kekuatan lebih besar (upward gossip). Sementara orang yang memiliki kuasa lebih besar dari kita (downward), akan menghindari cara menggosip. Mereka akan menjaga rahasia kuasanya. Merujuk konsep ini, saya menawarkan dua cara yang dapat digunakan kita untuk menjadi massa politik yang berdikari.

Pertama, carilah pemimpin yang dapat mengonfirmasi gosip-gosip yang bertiup tentangnya. Pasti banyak sekali kabar burung yang buruk terhadap siapa pun calonnya. Pasti banyak juga visi-misi yang diperbincangkan di masyarakat. Milikilah keraguan terhadap keduanya. Bisa jadi gosip buruk berasal dari lawan politik, dan gosip positif hanya pencitraan semata. Maka, ketika ada calon pemimpin yang membuka ruang partisipatif untuk membahas lebih jauh dan mengkonfirmasi gosip-gosip itu, ia setidaknya sudah lebih baik dengan memberikan pintu terbuka bagi rakyat untuk berdialog. Tetapi ketika ada calon yang diam saja ketika rakyat ingin menguji gosip tentangnya, jangan-jangan gosip negatif tentangnya memang benar, atau ialah aktor gosip buruk kepada lawannya.

Kedua, mulailah melakukan lateral dan downward gossip. Mulailah memperbincangkan dan berdiskusi dengan pemilih lain, agar saling menyelamatkan dari pilihan-pilihan yang buruk hanya karena kampanye yang membius emosi. Mulailah juga menggugat pada pemimpin dengan mengajaknya bergosip tentang derita rakyat. Kita harus mencegah para calon pemimpin bangsa ini hanya bergosip di kalangan mereka, tentang apa yang akan mereka bagi dan habisi dari kekayaan negeri.

Jangan sampai, beberapa tahun atau bulan setelah Pilpres 2024 ini selesai, kita hanya bisa mengelus dada karena hidup kita semakin menderita karena ulah penguasa, sambil menyanyikan lagu di sinetron yang ditonton oleh Uwa: jika aku bisa, ku akan kembali/ ku akan merubah takdir cinta yang kupilih/ Meskipun tak mungkin, walaupun ku mau…

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//