• Kolom
  • KELAKUAN NETIZEN: Komunitas Informatik, Solusi Kesenjangan Digital?

KELAKUAN NETIZEN: Komunitas Informatik, Solusi Kesenjangan Digital?

Riset Heeks (2017) memperingatkan bahwa 70% dari program inisiatif pembangunan melalui internet berakhir pada kegagalan. Komunitas informatik bisa menjadi solusi.

M. Fasha Rouf

Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.

Murid SDN 025 Cikutra, Bandung, menunggu jaringan stabil saat simulasi Asesmen Nasional Berbasis Komputer tingkat SD/MI sebagai pengganti Ujian Nasional, 22 Oktober 2021. Jaringan internet jadi kendala utama. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

12 Desember 2023


BandungBergerak.id – Kesenjangan digital dianggap menjadi masalah besar bagi pembangunan ekonomi baru. Ketimpangan akses internet antara masyarakat perkotaan dan perdesaan menjadi wacana yang diangkat oleh pemerintah sampai calon presiden dan wakil presiden 2024 dalam janji-janjinya. Termasuk program yang telah terlihat sebagai borok besar, pembangunan Base Tranceiver Station (BTS) oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Proyek yang pada akhirnya segala keuntungan Buat Tuan Saja (BTS).

Sang menteri divonis 15 tahun penjara. Para aktor swasta dituntut beragam hukuman yang tak ringan. Perkembangan kasus terbaru, auditor keuangan negara turut dijerat dengan angka suap puluhan miliar. Korupsi hasil kongkalikong lintas sektor yang masif ini menggambarkan bagaimana sebuah ideograf “kemajuan teknologi” hanya menjadi bancakan tikus-tikus lapar yang tak pernah terpuaskan.

Tujuan proyek ini mungkin saja baik, meningkatkan aksesibilitas warga pelosok terhadap internet, yang dipercaya sebagai magic baru untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Namun, riset Heeks (2017) sudah lama memperingatkan bahwa 70% dari program-program inisiatif pembangunan melalui internet berakhir pada kegagalan.  Hanya ada satu yang tak pernah merasakan gagal dalam proyek-proyek internet development tersebut, yaitu para pengusaha teknologi dan penguasa yang mendapatkan keuntungan. Meski jaringan internet atau peranti teknologi di tempat pelosok tetap tidak membawa berkah, tetapi angka di rekening mereka tetap bertambah.

Heeks (2017) mengidentifikasikan beberapa jenis kegagalan. Pertama, kegagalan total (total failures), yaitu proyek-proyek yang tidak pernah diimplementasikan, atau proyek yang terbengkalai alias mangkrak. Jenis kegagalan ini angkanya minoritas. Sementara mayoritas kegagalan ialah partial failures (gagal sebagian), yaitu tujuan utama dari inisiatif tidak tercapai dan/atau justru terjadi luaran (outcomes) yang tidak diinginkan (undesirable). Kegagalan lainnya ialah soal keberlanjutan dalam pemeliharaan, juga dalam replikasi program. Ada pula kegagalan dalam proses, karena melebihi batas anggaran dan batas waktu yang direncanakan.

Menilik terminologi Heeks tersebut, proyek BTS secara implementasi bisa jadi partial failures, karena masih terdapat segelintir proyek (terutama pembangunan infrastruktur internet) berhasil dijalankan. Tetapi, tentu tujuan, kualitas, dan keberlanjutan dari proyek ini patut terus dikawal karena banyaknya anggaran yang dikorup yang bisa jadi dimaknai sebagai total failures.

Lantas, jika akses internet yang murah dan berkualitas adalah hak bagi setiap warga negara, lalu adakah cara lain untuk memenuhi hak tersebut selain mega-proyek dari negara yang rawan untuk dikorupsi oleh pihak-pihak tertentu?

Baca Juga: KELAKUAN NETIZEN: Merekam yang Dihapus Negara
KELAKUAN NETIZEN: Ingatan Personal di Arsip Digital
KELAKUAN NETIZEN: Balada Asep dan Artificial Intelligence

Komunitas Informatik

Sebelum lebih jauh menganalisa bagaimana cara pemenuhan hak tersebut, sepatutnya diajukan pertanyaan lebih jauh soal hak digital warga negara. Apakah terdapat hak lain terkait akses internet yang seharusnya dapat dipenuhi oleh negara? Seperti hak melakukan pengelolaan mandiri yang berdampak pada demokrasi manajerial.

Hak soal kemandirian akses internet yang sering terabaikan tersebut sebenarnya telah banyak digugat, dilawan, dan dibangun gerakan alternatifnya oleh beberapa komunitas. Kajian komunikasi mengistilahkan gerakan itu dalam kerangka komunitas informatik (community informatics). Secara sederhana, komunitas informatik dapat diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan isu-isu yang berkaitan dengan internet. Komunitas itu dapat berada dalam internet (online community) maupun kelompok fisik (physical community).

Komunitas informatik dapat memperjuangankan ragam hal, seperti infrastruktur internet, pengelolaan internet, keamanan internet, demokratisasi internet, atau konten internet. O’Neil (2002) menyebutkan bahwa community informatics berkontribusi untuk penguatan demokrasi, sosial kapital, pemberdayaan individu, kepemilikan dan keterikatan terhadap komunitas, hingga peluang untuk pembangunan sektor ekonomi kerakyatan.

Kunci dari komunitas informatik adalah kemandirian komunitas. Contoh kasus terbaik yang sering dirayakan ialah Rhizomatica. Didirikan pada tahun 2009, LSM asal Meksiko ini bertujuan khusus untuk mengeksplorasi solusi penyediaan jaringan seluler berbiaya rendah dan memberdayakan masyarakat untuk melangsungkan layanan telekomunikasi mereka sendiri sehingga tak bergantung pada penyedia (provider) layanan eksternal.

Awalnya Rhizomatica bergerak di wilayah desa rural, yaitu Talea de Castro yang memiliki 2.5000 anggota masyarakat adat. Komunitas adat tersebut memiliki keinginan untuk memiliki jaringan internet yang justru untuk memperteguh identitas adatnya, seperti pemetaan wilayah ulayat hingga penyebaran nilai-nilai adat melalui jejaring komunitas.

Komunitas adat tersebut sebelumnya telah memiliki banyak radio komunitas (termasuk fakta bahwa mereka memiliki 60 radio komunitas tanpa lisensi). Sehingga, secara kultural, pengelolaan jaringan secara mandiri bukanlah hal yang baru bagi mereka. Rhizomatica mulai mengoperasikan jaringan mereka pada Maret 2013 dengan 600 pengguna, melalui Red Celular de Talea (RCT).

Jaringan itu masih ilegal awalnya. Namun, Rhizomatica dan warga lokal tersebut ingin memiliki kedaulatan penuh, sehingga mereka melakukan lobi dan negosiasi dengan pemerintah, termasuk mengajukan lisensi kepada Instituto Federal De Telecomunicaciones (IFT). Saat ini, mereka sudah legal beroperasi dengan kemandirian pengelolaan: perawatan infrastruktur, penetapan tarif bersama, hingga mengelola keuntungan untuk kepentingan komunitas.

Pemberdayaan Komunitas oleh Pemerintah untuk Kemandirian Internet

Di Indonesia, praktik baik misalnya sudah berjalan di Kasepuhan Ciptagelar, melalui kerja sama warga adat dengan Common Room Bandung. Keduanya telah membangun kerja sama soal internet sejak 2016 melalui program pemberdayaan masyarakat adat dalam program ICT for Agriculture (ICT4AG). Merasakan semakin penting internet untuk ketahanan nilai-nilai adat, masyarakat Ciptagelar mulai memikirkan kemandirian penyediaan dan pengelolaan jaringan internet, sebagaimana mereka dapat mengelola radio dan televisi komunitas secara swadaya (CIGA).

Pada 2018, melalui hibah dari Association for Progressive Communication (APC), mereka mulai membangun jaringan internet yang bekerja sama dengan Awinet, sebuah internet service provider (ISP) yang berbasis di Bayah (Gustaf, 2020). Sistem yang dikelola menggunakan sistem antenna dan MikroTik routers. Saat ini, masyarakat Ciptagelar sudah menikmati internet dengan biaya murah dan keuntungan dapat dikelola secara mandiri untuk keperluan pengelola dan komunitas adat secara umum. Termasuk manfaat untuk generasi muda.

Dua contoh tersebut menjadi gambaran, sebenarnya ada cara lain selain program yang menetes dari atas ke pelosok-pelosok Indonesia, yaitu melalui pemberdayaan komunitas di rural area agar program dapat lebih sesuai dan tetap sasaran (contextualised). Namun, tentu ini memerlukan jalan yang lebih memutar dibandingkan cara praktis yang telah dipilih dan terbukti beresiko besar tersebut. Jalan berputar ini pun akan kontradiktif dengan konsep kerja-kerja-kerja, bangun-bangun-bangun, dan serap-serap-serap a la pembangunan saat ini.

Terdapat beberapa kelokan jika pemerintah memilih jalan pemberdayaan tersebut. Pertama, pemerintah perlu melakukan komunikasi partisipatoris untuk mendedah dan memetakan bagaimana kebutuhan masyarakat soal internet. Jangan-jangan, terdapat kelompok masyarakat di pelosok yang justru tak menginginkan kehadiran internet, seperti di Baduy. Komunikasi partisipatoris juga digunakan untuk mencari local heroes, kesiapan pengelolaan, jenis infrastruktur yang paling cocok, dan lain sebagainya. Komunikasi partisipatoris harus rajin mendengar dalam waktu yang tidak cepat.

Kedua, pemerintah tak dapat menentukan secara pukul rata jenis penyedia layanan, dan tak dapat menggenggam anggarannya di tangan sendiri. Komunitas harus diberikan opsi terbaik untuk memilih penyedia infrastruktur dan pengelola anggarannya. Pengelolaan anggaran partisipatoris di Indonesia, cukup menarik jika menilik contoh Dana Indonesiana. Ketiga, secara proses program dan anggaran, diperlukan monitoring dan evaluasi yang partisipatif, tetapi juga tegas sesuai dengan aturan pemerintahan dan regulasi keuangan.

Jalan yang panjang memang melelahkan, tetapi bisa saja itu lebih menyelamatkan dan memberikan manfaat besar. Melalui pemberdayaan komunitas di pelosok untuk pengelolaan internet mereka, keberlanjutan (sustainability) dari program juga bisa jadi lebih baik. Karena ketika seseorang merasa memiliki sesuatu, ia akan menjaganya dengan sangat baik. Tetapi jika pejabat merasa memiliki segala sesuatu, tak ada siapa pun yang ia akan jaga selain dirinya.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//