• Kolom
  • KELAKUAN NETIZEN: Panggilan Bosmu Di-Reject Aja

KELAKUAN NETIZEN: Panggilan Bosmu Di-Reject Aja

Mungkinkah mewujudkan “Rights to Disconnect” atau Hak untuk Tidak Terhubung bagi para pekerja di Indonesia?

M. Fasha Rouf

Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.

Unjuk rasa buruh atau pekerja di Gedung Sate, Bandung, akhir 2022. (Foto Ilustrasi dan desain: Prima Mulia, Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

28 Maret 2024


BandungBergerak.id – “Orang yang tidak dibayar untuk kerja 24 jam sehari, tidak boleh di sanksi jika mereka tak online dan tak siaga 24 jam sehari.”

Jangan harap perkataan itu keluar dari Bosmu, atau dari Pemimpin Pemerintahan Indonesia. Kalimat itu dilontarkan Anthony Albanese, Perdana Menteri Australia dari Partai Buruh (SMH, 7/02/2024). Pernyataan itu sebagai bentuk dukungan untuk “Rights to Disconnect”, atau Hak untuk Tidak Terhubung.

Secara singkat, Right to Disconnect adalah Rancangan Undang-undang yang melindungi hak bagi karyawan untuk menolak panggilan dari pemberi kerja (termasuk client) di luar jam kerja yang telah disepakati dalam kontrak.

“Seorang karyawan boleh menolak untuk memantau, membaca atau menanggapi kontak, atau upaya kontak, dari pemberi kerja di luar jam kerja karyawan tersebut kecuali penolakan tersebut tidak beralasan,” isi salah satu aturan RUU tersebut.

Kata “tidak beralasan” atau “unreasonable” dalam RUU tersebut mengacu pada berbagai faktor pertimbangan, semisal komunikasi tersebut akan dihitung sebagai kompensasi kerja lembur, tujuan komunikasi, dan dampaknya terhadap kesejahteraan karyawan. RUU ini memang masih mengakui perlunya kontak sesekali di luar jam kerja, tetapi hal tersebut tidaklah boleh mengeksploitasi pekerja yang hanya dibayar sesuai jam yang telah disepakati antarpihak.

Sontak, rekan-rekan saya yang sedang belajar di Australia pun ramai-ramai membagikan berita ini di status media sosial mereka. Tak lama, netizen Indonesia turut ramai mendukung. Mereka seperti melihat hal yang dirindukan, meskipun masih berada di seberang Samudera Hindia.

Australia sendiri bukanlah negara pertama yang mendukung right to disconnect. Perancis, Italia, dan Belgium telah menerapkan aturan senada dengan pertimbangan konteksnya masing-masing.

Nah, apakah status yang berseliweran di kanal media sosial netizen Indonesia beserta beragam komentar dan curhatannya tersebut akan menjadi kenyataan di Indonesia? Memang bukan berarti hal itu mustahil seperti kumbang mencapai rembulan, tetapi menuntut banyak perjuangan, secara struktural dan personal.

Baca Juga: KELAKUAN NETIZEN: Komunitas Informatik, Solusi Kesenjangan Digital?
KELAKUAN NETIZEN: Bergosip untuk Kemenangan Rakyat
KELAKUAN NETIZEN: Keluar dari Fanatisme Politik yang Beracun

Struktural: Berserikat dan Santuy Saja

Pertama dan paling penting, berbagai sektor pekerjaan di Australia memiliki serikat buruh yang kuat. Contoh paling ekstrem ialah polisi. Kalau di Indonesia, polisi sering kali hanya mengamankan demo buruh. Sementara di Australia, Polisi memiliki serikat buruh yang kuat dan sering kali menyelenggarakan advokasi untuk menuntut hak mereka melalui Police Federation Australia.

Apalagi berbagai sektor kerja lainnya, misal pendidikan. Tak sedikit dosen saya yang tergabung dalam National Tertiary Education Union. Mereka tak ragu meninggalkan kelas jika ada advokasi penting. Sementara di Indonesia, serikat pekerja kampus saja masih terganjal izin pendirian serikatnya.

Kondisi lemahnya serikat buruh bukan hanya cuma aturan hukum dan birokrasi, tetapi terkadang kita sendiri mungkin masih sulit dan malas berserikat. Padahal, melalui serikat pekerja yang kuat, maka iklim kerja yang santuy pasti akan terwujud. Dan itulah faktor struktural penting kedua: kerja secukupnya, pelayanan sewajarnya.

Pada tahun 2018, para pelajar dari Singapura yang belajar di Australia sangat mengalami kesulitan karena berbagai pelayanan Australia yang dirasa sangat lambat.

“Jika Anda ingin mengaktifkan internet, Anda harus menunggu berhari-hari hingga berminggu-minggu, dan ini sangat lambat dibandingkan dengan di Singapura yang dapat diselesaikan hanya dalam waktu sehari,” ujar salah satu responden dalam penelitian di jurnal yang ditulis oleh Niki Macionis, Gabby Walters, Edric Kwok (2019, hlm.4).

Lima tahun berikutnya, hal itu tampaknya masih sama. Contohnya, saya pernah diusir beberapa kali oleh petugas bank. Alasannya sederhana: “antrean sudah penuh, datang lagi saja besok”.

Kita bisa saja mengelak bahwa itu bukan hal baik, karena memberikan pelayanan buruk. Tapi ketika saya sering duduk di Southbank, di pinggir sungai Brisbane, tuduhan tersebut gugur begitu saja. Sejak pukul 15.30 apa pun harinya, Southbank akan ramai oleh orang-orang berolahraga atawa sekadar berjalan ringan bersama anjing mereka. Atau, mereka cukup untuk gogoléran menikmati langit di taman bibir sungai.

Para pekerja di sini, sungguh mendapat keistimewaan work life balance itu! Riset dari Macionis dkk. (2019) tadi pun mengonfirmasinya. Keseimbangan hidup pekerja Australia cukup menarik dan mengakibatkan gegar budaya bagi orang luar.

Personal: Jangan Sampai Denting bikin Sinting

Selain masalah struktural, secara personal kita pun masih dengan senang hati dan berlomba melingkarkan jam pintar terbaik di pergelangan tangan dengan salah satu tujuan agar tak melewatkan notifikasi dari puluhan aplikasi.

Telepon pintar memang telah lama menjadi dilema etik bagi kemanusiaan kita. Teknologi yang seharusnya jadi “perpanjangan” dari kemampuan manusia, sekarang semakin bersenyawa dengan tubuh kita.

Film dokumenter Social Dilemma (2020) memberikan catatan penting soal perangkat aplikasi telepon pintar dirancang untuk mendikte aktivitas hingga kecemasan manusia. Salah satu alat yang terpenting ialah melalui getar dan denting notifikasi dari layar kita. Melalui algoritma tertentu, kita dibuat selalu gelisah jika tak membuka notifikasi di layar. Ketika saya tak meng-install lagi Instagram di telepon genggam, misalnya, notifikasi yang menggoda tetap dikirimkan ke alamat email saya yang terdaftar.

Soal keterikatan manusia dengan telepon pintar, Cheng Dai dan koleganya (2021) dalam artikel berjudul Smartphone Use and Psychological Well-Being Among College Students in China: A Qualitative Assessment membuat tipologi yang sangat penting dan menarik untuk dipahami. Kategorisasi itu membuktikan, semakin tinggi tingkat ketergantungan terhadap telepon pintar, semakin tinggi tingkat kegelisahan dan merasa tak berdaya di hadapan dunia tanpa perangkat tersebut.

Kategori pertama ialah hypo-connected antagonists. Mereka menggunakan telepon genggam 20-30 menit sebelum tidur, dan 5-20 menit saat bangun tidur. Saat telepon pintarnya di luar pandangan dan jangkauan, mereka merasa tenang dan aman. Mereka pun hanya sesekali saja memikirkan telepon genggam saat aktivitas lain (saat belajar di kelas).

Kategori kedua ialah balanced majority. Orang dalam kelompok ini menggunakan telepon genggamnya 30-60 menit sebelum tidur, serta 10-20 menit saat bangun tidur. Namun, mereka mulai merasa cemas, tak nyaman, dan kesulitan saat telepon mereka tak terlihat. Lebih parah, saat telepon mereka tertinggal, mereka merasa gelisah, tidak aman, dan bosan serta harus kembali untuk mengambilnya.

Kategori ketiga ialah hyper-connected enthusiasts. 30-90 menit mereka habiskan untuk menggunakan telepon pintar sebelum tidur, serta 10-20 menit sesaat mereka membuka mata. Ketika telepon genggam jauh dari pandangan, mereka merasa sangat tidak terhubung dengan dunia, merasa tidak nyaman dan tidak dapat konsentrasi, bahkan tidak merasa bahwa itu adalah dirinya. Apalagi saat telepon pintar mereka tertinggal atau hilang, mereka merasa jenuh dan terisolasi dan harus kembali mengambilnya.

Kategori keempat ialah indulgent zealots. Kelompok ini menggunakan telepon genggam mereka dengan tujuan yang paling banyak dan beragam dibandingkan dengan tiga kategori sebelumnya, mulai dari berkomunikasi secara sosial, sampai dengan hiburan, bermain game online, dan siaran langsung. Tak ayal, waktu yang mereka habiskan untuk telepon genggam sangat tinggi, yaitu 30-120 menit sebelum tidur, dan 10-30 menit saat bangun tidur. Saat telepon pintar jauh dari pandangan, mereka bahkan merasa kehilangan diri dan teragitasi. Saat telepon mereka tertinggal, mereka merasa tak terhubung dengan dunia dan mesti kembali untuk mengambilnya sebelum melakukan aktivitas lainnya.

Refleksi di mana posisi kita berada mungkin juga akan memengaruhi sejauh mana kita menganggap panggilan di luar jam kerja itu wajar atau tidak. Ketika kita bergantung sekali pada telepon pintar kita, mungkin kita akan semakin merasa berasalah jika tak melihat pesan dari pimpinan yang belum terbaca, atau telepon yang tak terangkat. Namun jika kita telah terbiasa jauh dari telepon pintar, kita akan merasa hal wajar jika panggilan di luar jam kerja kita abaikan saja.

Tantangannya, COVID-19 juga telah mendorong penggunaan telepon pintar yang semakin penting bagi kondisi psikologis manusia, baik untuk bekerja maupun untuk menghindar dari stresnya pekerjaan. Riset Mouakket dan Aboelmaged (2023) menunjukkan bahwa karyawan cenderung menyalahgunakan penggunaan ponsel pintar untuk membantu mereka menghadapi pekerjaan jarak jauh, kecemasan terhadap COVID, intoleransi terhadap ketidakpastian, isolasi sosial, dan kelelahan emosional.

Jika the rights to disconnect ingin terwujud di Indonesia, pembenahan masalah struktural soal budaya kerja dan masalah personal soal ketergantungan yang akut pada telepon pintar harus diselesaikan lebih dulu. Atau mungkin, karyawan di Indonesia akan selamanya siap sedia menerima panggilan dari juragannya kapan pun dering telepon menyala. Sesudah mengangkat, barulah kita bernyanyi atas harap yang tak dapat terwujud:

Kamu calling calling/ aku lagi pusing// Kamu misscall aku, aku lagi dongkol// Please deh aku jenuh dengan omongmu/ Please deh aku jenuh...//

Di-reject di-reject di-reject aja…!

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//