Jejak Poster-poster Protes Peringatan Darurat di Bandung
Poster-poster protes mewarnai aksi unjuk rasa dari massa prodemokrasi di Bandung. Poster-poster perlawanan ini menyuarakan kritik dan sindiran menohok.
Penulis Tim Redaksi27 Agustus 2024
BandungBergerak.id - Jika foto memiliki beragam makna, maka foto poster adalah gambar yang bersuara. Seperti tak mau kalah lantang dengan orator para demonstran, poster-poster yang diusung para demonstran penolak revisi UU Pilkada di Bandung dalam beberapa hari belakangan ini ‘berteriak’ dengan caranya sendiri. Ada yang garang, ada juga yang menyindir.
Poster-poster itu diacungkan di atas kepala para demonstran, ditempelkan di dinding tembok DPRD Jabar, dikaitkan di antara pagar kawat berduri, tertempel di tiang listrik, atau terbang tertiup angin dan kemudian singgah entah di mana dan mungkin dibaca oleh siapa.
Ribuan demonstran mahasiswa, masyarakat sipil, dan bahkan pelajar yang turun kejalan tidak datang dari ruang hampa. Mereka bergerak dari keresahan yang sama: dipretelinya tatanan demokrasi oleh elite-elite politik demi kepentingan kelompoknya.
Dimulai dari bergaungnya poster biru tua burung Garuda bertuliskan ‘Peringatan Darurat’ di media sosial. Mengapa poster ini muncul dan menimbulkan kegemparan warganet? Jawabannya, konstitusi di negeri ini sedang dikadali oleh DPR dan pemerintah.
Dua lembaga legislatif dan eksekutif ini ‘kompak’ untuk membuat revisi UU Pilkada yang dikoreksi Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas parlemen partai pengusung calon Pilkada dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang usia calon kepala daerah.
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tertinggi yang memutus sengketa terkait konstitusi. Kewenangan ini bahkan tak dimiliki oleh DPR dan pemerintah. Namun di sinilah masalahnya. DPR dan pemerintah berusaha mengakali putusan MK dengan melakukan revisi UU Pilkada secara kilat hanya selang sehari setelah MK mengeluarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 60 dan nomor 70.
Dengan mata telanjang terlihat, revisi UU Pilkada bertujuan untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi. Publik geram, ada udang di balik batu terkait utak-atik ambang batas parlemen dan batas usia calon dalam revisi UU Pilkada. Sudah menjadi rahasia umum, Pilkada DKI Jakarta akan mengusung calon kuat melawan kotak kosong. Namun hadirnya putusan MK membuat skenario ini buyar seketika.
Dan sudah menjadi rahasia umum juga bahwa Kaesang disiapkan untuk menjadi pemimpin. Maka dari itu, ia harus memenuhi syarat batasan usia. Rakyat paham, bagaimana bisa lembaga yang tidak memiliki kewenangan menafsirkan konstitusi (karena kewenangan ini hanya ada di MK) justru ingin menganulir putusan MK.
Rakyat di berbagai kota di Indonesia akhirnya turun ke jalan. Mereka bergerak untuk protes bahwa para elite politik di legislatif maupun eksekutif telah melakukan kesalahan, walaupun gerak mereka disambut represif oleh aparat kepolisian.
Demonstrasi rakyat tidak dilarang karena telah dijamin konstitusi. Melarang demonstrasi justru melanggar konstitusi.
Berbagai cara dilakukan massa prodemokrasi untuk menyuarakan kemarahannya pada kelakuan elite politik yang seenaknya mengutak-atik konstitusi demi kepentingan pribadi. Salah satunya melalui poster-poster protes. Tangkapan kamera menunjukkan poster-poster tersebut turut ‘meningkatkan’ gema demonstrasi Peringatan Darurat.
Sebut saja poster yang berbunyi “Lawan! dan Luapkan Kemarahanmu di Jalan!!! - Rakyat Gugat Negara” di poster ini dipampang gambar hitam putih Jokowi, Gibran, Bobby, dan Kaesang. Ada juga poster yang berbunyi “Darurat Demokrasi - Lawan!!!” dan “Lo kita negara ini punya lo X Fren? Lawan!”
Poster berbau sarkas juga bertebaran, misalnya “Sulung IPK Rendah, Bungsu Usia Rendah, Bapak Moralitas Rendah, #Demokrasidiamputasi”; “Enak Ya? Tukang Kayu Anaknya Dibikin Kursi Satu-satu”; “Beungeut Polos Seueur Waos!!”; dan “10 tahun Pemerintah Jokowi Bandung Indonesia Oligarki”, serta “Tolak Pilkada Akal-akalan”.
Belakangan, setelah didemo besar-besaran yang memakan korban luka-luka, DPR dan pemerintah urung merevisi UU Pilkada.
Baca Juga: Aksi Menolak Revisi UU Pilkada Masih Berlanjut di Bandung, Seluruh Rakyat Boleh Beraksi
Lebih dari 100 Orang Korban Luka, Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat Mengecam Tindak Kekerasan Aparat dalam Aksi Kawal Putusan MK di Bandung
Cerita Para Pedagang Kecil di Bandung dalam Gelombang Protes Peringatan Darurat
Poster Protes
Poster bukan media baru yang dipakai untuk aksi protes. Aryo Adhi Pamungkas (Jurusan Pendidikan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, 2012) dalam skripsinya mencatat, media massa jenis poster lahir dari perkembangan teknik cetak warna litografi yang sudah berkembang sejak abad ke-18. Seniman di era awal perkembangan poster antara lain Jules Cheret.
“Cheret mengubah poster menjadi sangat victorial, didominasi gambar dan teks jadi sedikit porsinya. Awal abad ke-20, Toulouse Lautrec dan rekan-rekan segenerasinya membanjiri kota-kota penting Eropa dengan poster bercorak Art Nouveau,” tulis Aryo.
Perkembangan selanjutnya, poster dipakai untuk mengkampanyekan ide atau gagasan tertentu, termasuk sebagai media protes. Salah satu poster fenomenal dan banyak direproduksi di banyak tempat di Indonesia adalah tentang Munir.
Muhammad Ibnu Fitrah dalam skripsi POSTER dan PROTES (Analisis Semiotika Terhadap Poster Anti-Tank Di Yogyakarta, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia) menuturkan, komunitas Anti-Tank membuat karya awalnya di Yogyakarta pada tahun 2008, bertepatan pada saat memperingati hari kematian aktivis Munir. Mereka membuat poster Munir bertuliskan “Orang Benar Akan Dibunuh” dan “Menolak Lupa”.
Setelah itu banyak dari poster Anti-Tank berbicara tentang kritikan terhadap politik, seperti “AWAS! Bahaya Laten Parpol” yang gambarnya adalah gambar presiden Indonesia kedua yaitu Suharto. Komunitas ini juga membuat poster “Not My Hero” dengan menggunakan gambar visualisasi dari poster “Piye Enak Jaman Ku Toh?”
Zaman sudah banyak berubah. Poster-poster perlawanan tampaknya masih akan terus tumbuh untuk mengawasi laku rezim demi rezim.
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain tentang Revisi UU Pilkada