Merawat Perjumpaan, Merebut Ruang Gerak Masyarakat Sipil di Jawa Barat
Kelompok-kelompok rentan seperti perempuan, masyarakat adat, dan disabilitas harus dilibatkan dalam perumusan kebijakan.
Penulis Awla Rajul1 September 2024
BandungBergerak - Ruang gerak masyarakat sipil di Jawa Barat harus direbut kembali untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang dicita-citakan. Harapan untuk bisa menghentikan diskriminasi yang dilatarbelakangi perbedaan, perlu terus dirawat. Salah satunya lewat perjumpaan-perjumpaan.
Itulah salah satu topik yang menjadi bahasan activism exhibition bertajuk “Mari Bung Rebut Kembali” yang diselenggarakan oleh Imparsial, PSHK, LBH Jakarta, Elsam, dan Yappika dalam kolaborasi dengan LBH Bandung, Panitia Bukan Jumaahan, Gerpolek Plot, Jakatarub dan BandungBergerak, di Fragment Project, Bandung, Sabtu, 31 Agustus 2024.
“Mari Bung Rebut Kembali” disemarakkan dengan pameran, orasi kebudayaan dan politik, talkshow, serta pertunjukan seni dan lapakan buku. Lewat kegiatan yang difasilitasi Juru Bahasa Isyarat (JBI) ini, kesadaran publik tentang kebebasan sipil dan partisipasi masyarakat dalam aktivisme di Jawa Barat, diharapkan tumbuh.
Pendeta Gereja Kristen Pasundan (GKP), Obertina Johanis menyebut masih ada beragam persoalan di tengah masyarakat yang dilatabelakangi perbedaan, baik agama, gender, maupun disabilitas. Diskriminasi karena perbedaan ini acapkali bermula dari prasangka dan curiga.
Obertina mengakui masih saja ada cerita-cerita negatif tentang keberagaman. Namun dia tidak patah arang lantaran harapan, yang dia sebut sebagai “kecambah”, terus tumbuh dan perlu dirawat. Orang-orang muda menjadi aktor kunci.
“Masih ada harapan, dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Kalau kita gak jaga (harapan itu), akan lebih dominan kelompok tadi (yang mendiskriminasi),” tuturnya. “Kecambahnya jadi mati.”
Beberapa upaya yang bisa dihadirkan untuk memutus rantai permasalahan dan merawat harapan adalah dengan membuka ruang pertemuan lintasiman. Jika individu sudah rutin hadir ke ruang dialog lintasiman, ia mengajak temannya yang lain untuk hadir. Kegiatan macam itu menurutnya bisa memudarkan prasangka dan menjadi ruang konfirmasi.
“Kalau gak hadir, minimal posting, itu akan memantik ruang diskusi,” kata pendeta yang juga melayani di Women Crisis Center Pasundan Durebang ini. “Perlu ruang seperti itu untuk mengonfirmasi hal-hal keliru yang sudah turun-temurun.”
Obertina juga mengajak orang-orang muda untuk memiliki teman lintasiman sebab dialog antariman bisa dimulai dengan dialog antarteman. Jangan sampai pertemuan lintasiman menjadi sangat elitis. Yang perlu didorong adalah ruang pertemuan lintasiman bagi seluruh lapisan masyarakat.
Obertina mengingatkan bahwa identitas sebagai “warga Indonesia” merupakan identitas yang sama-sama dimiliki oleh setiap masyarakat, setelah identitas kesukuan, agama, dan gender-seksualitas. Karena itulah, memahami konteks perbedaan perlu dilakukan dengan kesadaran bersama sebagai sesama warga Indonesia.
“Tiada dialog iman tanpa dimulai dialog teman. Mulailah punya teman (lintasiman), cari. Kita punya api kecil, kita bisa jaga itu bareng-bareng,” ungkapnya.
Baca Juga: Kualitas Demokrasi di Indonesia Menurun, Budaya Berdemokrasi Masyarakat Sipil Perlu Diperkuat
Toleransi terhadap Kelompok Rentan di Jawa Barat Menemui Hambatan di Lapangan
Jawa Barat Terus Bergelut dengan Masalah Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Partisipasi Kelompok Rentan
Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024, Dewi Kanti, dalam orasi budayanya menyampaikan bahwa ruang perjumpaan sebagai gerakan masyarakat sipil perlu dilanjutkan. Tradisi guyub bisa menjadi tawaran solusi untuk menghadapi tantangan di tengah situasi politik kebangsaan yang sedang tidak baik-baik saja.
Dewi Kanti menganalogikan bangsa Indonesia ibarat pohon yang besar. Politik merupakan buah atau ranting-ranting dari pohon yang besar itu, sementara akar dari pohon yang besar itu adalah masyarakat sipil, yang justru merupakan penguat dan penopang.
“Bagaimana mungkin batang, ranting, dan buah itu subur tanpa akar-akar yang menjadi kekuatan bangsa ini juga kita kuatkan. Artinya, penting sekali menjadi satu bekal kita bahwa ruang perjumpaan, saling menguatkan, menemukan titik temu pengertian di antara keberagaman yang ada itu menjadi satu cara. Daripada kita hanya berteriak dalam kegelapan, lebih bijaksana kalau kita juga saling menjadi cahaya untuk satu sama lain,” ucapnya.
Menurut Dewi, penting untuk menyegarkan kembali kekuatan-kekuatan elemen bangsa yang selama ini dianggap sepele, dikesampingkan, dan dinilai rapuh. Kelompok-kelompok rentan seperti perempuan, masyarakat adat, disabilitas, dan lainnya perlu disegarkan, dikuatkan, dan dilibatkan dalam perumusan kebijakan.
“Karena dari keterlibatan partisipatif itulah sejatinya kita bisa menghimpun satu kebijakan yang berdaya guna untuk bangsa ini,” ungkap tokoh masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan Kuningan ini.
Selaku penganut kepercayaan leluhur, Dewi mengingatkan bahwa ruang batas wilayah tidak bisa hanya dipandang administratif belaka karena masyarakat Indonesia sebenarnya disatukan oleh ruang-ruang kultural dan ruang-ruang sosial yang sejatinya menjadi akar sejarah bangsa. Kebudayaan diyakini dapat menjadi cara untuk menghadapi tantangan dan perubahan zaman.
Menurut Dewi, masyarakat sipil harus bersama-sama merawat adat dan kebudayaan. Tidak mungkin ada Indonesia tanpa adanya masyarakat adat yang menjaga dan merawat pengetahuan-pengetahuan leluhur yang sudah ada bahkan sebelum bangsa Indonesia merdeka.
“Ketika hanya bertumpu pada kebijakan dan kebijaksanaan aparat, itu masih jauh,” tuturnya. “Jadi gerakan masyarakat sipil itu masih menjadi penting untuk kita kuatkan dan juga berbasis pada perspektif nilai-nilai feminisme, nilai-nilai perdamaian yang lebih pada nilai ibu bumi yang merawat spirit dan spirit mengandung dan melahirkan.”
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Awla Rajul, atau artikel-artikel lain tentang isu Masyarakat Sipil