DATA PELANGGARAN KEBEBASAN BERAGAMA BERKEYAKINAN 2014-2023 DI INDONESIA: Jawa Barat Selalu Masuk 10 Besar Dalam Kurun 10 Tahun Terakhir
Produk hukum daerah yang diskriminatif memperburuk situasi serta mendukung praktik intoleransi dan diskriminasi kepada kelompok rentan dan minoritas agama.
Penulis Linda Lestari29 Juni 2024
BandungBergerak.id - SETARA Institute rutin melakukan pemantauan pada kondisi Kebebasan Beragama Berkeyakinan (KBB) di Indonesia setiap tahunnya. Jawa Barat selalu menempati posisi teratas dengan jumlah kasus pelanggaran KBB terbanyak setiap tahun meski pada tahun 2022 pernah tergeser ke posisi kedua oleh Jawa Timur.
Data laporan SETARA Institute menunjukkan setiap provinsi mengalami fluktuasi dalam jumlah pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan. Jawa Barat menjadi salah satu provinsi paling sering muncul dalam deretan 10 besar dengan jumlah kasus pelanggaran KBB terbanyak di Indonesia selama 10 tahun terakhir.
Pada tahun 2022 di Jawa Barat sempat terjadi penurunan kasus dari tahun sebelumnya, yakni dari 40 menjadi 25 kasus. Namun, terjadi kenaikan jumlah pelanggaran KBB yang cukup besar pada 2023. Pada 2023 Jawa Barat kembali berada pada posisi teratas dengan jumlah kasus pelanggaran KBB terbanyak, yakni 47 kasus.
Laporan Kebebasan Beragama Berkeyakinan SETARA Institute 2019 menyebutkan, beberapa faktor yang menyebabkan tingginya pelanggaran KBB di Jawa Barat. Misalnya keberadaan Peraturan Gubernur Nomor 12 tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Ahmadiyah yang menjadi pemicu kelompok-kelompok intoleran untuk memusuhi dan bersikap anti-Ahmadiyah. Ditetapkannya peraturan ini menimbulkan unjuk rasa dan pembubaran kegiatan Ahmadiyah berupa peluncuran Haqiqatul Wahy di Bandung Timur pada awal 2019.
Faktor lainnya adalah corak keislaman di Jawa Barat yang cenderung kaku dan ketat. Menurut laporan SETARA Institute, Jawa Barat memiliki 27 kota dan kabupaten dengan penduduk yang heterogen dan memiliki karakteristik pemahaman keagamaan yang lebih kaku dibandingkan wilayah lain. Demikian situasi ini memerlukan kerja sama pemerintah daerah untuk mengelola dan menyikapi situasi tersebut. Produk hukum daerah yang diskriminatif dapat memperburuk situasi serta mendukung praktik intoleransi dan diskriminasi kepada kelompok rentan dan minoritas agama.
SETARA Institute juga menyebut konservatisme dan sentimen keagamaan yang kuat menyebabkan respons negara menjadi reaktif dan sering kali mengikuti kecenderungan publik yang tidak rasional. Hal ini semakin didukung dengan lemahnya pengelolaan dinamika masyarakat dengan jumlah dan wilayah penyebaran yang luas.
“Banyaknya tindak pelanggaran KBB di Jawa Barat mengindikasikan rendahnya kompetensi dan kapabilitas penyelenggara negara dalam pemerintahan. Faktor lain berupa rendahnya political will pemerintah di tingkat lokal untuk mengambil kebijakan politikal-yuridis dalam rangka menegakkan ketentuan konstitusi dan menjamin hak konstitusional warga negara dalam bidang KBB,” tulis SETARA Institute dalam laporan KBB 2019.
Baca Juga: DATA JUMLAH PENDUDUK PENGANUT KEPERCAYAAN DI KABUPATEN BANDUNG BARAT 2013-2023: Bertahan Meski Terus Menyusut
Terjal Jalan Murid-murid Penghayat Kepercayaan Menghadapi Perundungan
Budi Daya di Tangan Orang Muda
Rekomendasi Kebijakan
Dalam laporan terbarunya, SETARA Institute memberikan beberapa rekomendasi kebijakan, di antaranya, Presiden Joko Widodo hendaknya memperkuat kepemimpinan toleransi dan mengakselerasi kebijakan tata kelola inklusif untuk memunculkan gerak pemerintahan yang masif dari pusat hingga daerah guna mengatasi permasalahan-permasalahan KBB secara efektif, terutama gangguan tempat ibadah.
Selanjutnya, presiden disarankan membuka partisipasi bermakna dan seluas-luasnya untuk Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama yang pada pokoknya ditujukan untuk memastikan penguatan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan.
Selain itu, SETARA Institute juga memberikan rekomendasi terkait efektivitas penanganan kebijakan diskriminatif. Misalnya dengan memenuhi mandat UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Badan Regulasi Nasional, yang memastikan pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah UU secara lebih sistematis dalam suatu sistem perencanaan yang seksama.
SETARA Institute juga memberikan rekomendasi pada jajaran kementerian. Menteri Agama agar meninjau ulang desain dan kinerja Program Moderasi Beragama yang saat ini telah diinstitusionalisasikan dengan pembentukan Badan khusus dan Peraturan Presiden 58/2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama, sehingga di lapangan tidak menimbulkan dan memicu gesekan antar sesama agama dan antar sesama anak bangsa.
Selain itu, rekomendasi kebijakan juga diberikan pada menteri dalam negeri untuk memastikan pengarusutamaan inclusive governance bagi pemerintahan daerah, dengan menerbitkan kebijakan khusus tata kelola yang inklusif dalam mengelola kemajemukan republik.
Di masa pemerintahan yang akan datang, SETARA Institute merekomendasikan untuk memastikan agenda pemajuan toleransi dan inklusi sosial dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2024-2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024-2029. Sekalipun tubuh negara kemungkinan akan dinamis, situasi di masyarakat belum berubah karena ekosistem toleransi yang masih rapuh. Untuk itu, dibutuhkan agenda bersama yang melibatkan pemerintah daerah dalam pemajuan kebebasan beragama/berkeyakinan.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Linda Lestari, atau artikel-artikel lain tentang Intoleransi di Jawa Barat