KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Membaca Naiknya Data Kekerasan terhadap Perempuan
Setiap tahunnya angka kekerasan terhadap perempuan di Kota Bandung mengalami kenaikan. Pekerjaan rumah yang krusial.
Penulis Nabila Eva Hilfani 5 September 2024
BandungBergerak.id – Berbagai acara telah digelar untuk menjambut 214 tahun Kota Bandung. Dua abad berdiri tidak serta merta membuat Bandung menjadi kota yang aman bagi semua warga khususnya perempuan.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung mencatat terjadi peningkatan jumlah kekerasan terhadap perempuan dalam kurun 2019-2023. Sebanyak 250 kasus kekerasan pada perempuan terjadi di tahun 2019; jumlah yang sama terjadi di tahun 2020; kasus ini naik menjadi 262 di tahun 2021; lalu naik kembali menjadi 362 kasus di tahun 2022; dan 443 kasus di tahun 2023.
Dilihat dari bentuk kasus, kekerasan psikis menjadi satu jenis kekerasan yang paling banyak dilaporkan di tahun 2023. Kekerasan psikis dapat mencakup berbagai bentuk. Berdasarkan Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023, kekerasan psikis adalah perbuatan nonfisik yang ditujukan kepada orang lain dengan maksud merendahkan, menghina, menakuti, atau membuat perasaan tidak nyaman.
Bentuk-bentuk kekerasan psikis dapat berupa pengucilan, penolakan, pengabaian, penghinaan, penyebaran rumor, panggilan yang mengejek, intimidasi, teror, perbuatan mempermalukan di depan umum, pemerasan, dan perbuatan lainnya yang serupa.
Jessi Lea Febrian dan Novie Indrawati Sagita dari Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran (Unpad) dalam penelitiannya mendedahkan lebih rinci bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan di Kota Bandung dalam kurun 2020, 2021, 2022 berdasarkan Dokumen UPTD PPA Kota Bandung 2023.
Dari data tersebut, bentuk kekerasan psikis memang paling dominan, disusul kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Selain empat bentuk kekerasan tersebut, ada pula penelantaran, hak asuh anak, trafficking, dan lainnya.
“Hal ini menunjukan bahwa pemerintahan Kota Bandung memiliki pekerjaan rumah yang besar terkait penurunan kasus kekerasan terhadap perempuan hingga saat ini,” tulis Jessi Lea Febrian dan Novie Indrawati Sagita, diakses dari jurnal Journal of Governance Innovation, Kamis, 5 Januari 2024.
Data DP3A Kota Bandung juga menunjukkan bahwa mayoritas tempat terjadinya kekerasan adalah di tempat tinggal atau rumah tangga dan tempat kerja. Namun, angka tersebut tidak dapat menutup fakta bahwa banyak tempat lain yang menjadi tempat terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan.
Hal tersebut sejalan dengan data dari Gender Research Student Center (Great) UPI pada Agustus 2024 bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi di lembaga pendidikan. Data tersebut menunjukkan jumlah aduan kasus kekerasan seksual dengan rentang waktu antara tahun 2020-2023 di lingkungan kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Dari total jumlah pengaduan kekerasan seksual yang tercatat dalam data tersebut, mayoritas korban adalah perempuan. Hal ini menjadi satu bukti bahwa, kekerasan terhadap perempuan masih terjadi di mana saja, tak terkecuali di lembaga pendidikan yang seharusnya dapat menjadi ruang aman bagi siapa pun.
Bukan hanya tempat tinggal, tempat kerja, atau lembaga pendidikan. Ruang-ruang publik di Kota Bandung pun rentan menjadi lokasi terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan. Terutama, kekerasan seksual. Panggilan merendahkan, catcalling, terhadap perempuan di ruang-ruang publik Kota Bandung masih kerap terjadi
Baca Juga: KADO 214 TAHUN BANDUNG: Persoalan Parkir Lebih dari Getok Tarif, Ada Potensi Puluhan Miliar Rupiah yang Belum Bisa Terserap
KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Perkara Parah Kemacetan
Dari Budaya Patriarki hingga Ketidakcakapan Aparat Penegak Hukum
Akar penyebab kekerasan terhadap perempuan di Kota Bandung yaitu budaya patriarki, kultur yang menempatkan perempuan di kelas kedua. Melansir penjelasan dari artikel Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) pada 4 Februari 2020, ketika tatanan hidup masyarakat telah terpengaruh oleh budaya patriarki, maka perempuan sering dianggap makhluk lebih rendah dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu, akan terjadinya eksploitasi dan rentan terhadap perlakuan diskriminasi.
Jessi Lea Febrian dan Novie Indrawati Sagita juga sepakat dengan masih kentalnya kuasa laki-laki di Kota Bandung.
“Munculnya sterotipe bahwa perempuan sebagai manusia yang lemah, emosional, irasional, telah menggiring kaum perempuan menjadi pribadi yang terisolasi dari proses-proses sosial. Pandangan seperti itu pada akhirnya menempatkan perempuan sebagai kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan,” tulis Jessi Lea Febrian dan Novie Indrawati Sagita.
Sebab lain, soal implementasi hukum yang mengatur kekerasan terhadap perempuan di beberapa undang-undang masih belum optimal. Salah satunya karena ketidakcakapan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan; baik implementasi Undang-Undang Penghapusan KDRT maupun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dijelaskan dalam artikel Konsil LSM Indonesia, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT. Namun, selama 20 tahun implementasi undang-undang tersebut masih belum optimal. Salah satu sebabnya adalah terbatasnya pemahaman dan keterampilan aparat penegak hukum dalam menangani kasus (Konsil LSM Indonesia, 16 Juli 2024).
Begitupun dengan pengimplementasian Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Di Kota Bandung, hal itu terjadi oleh Maulinda, mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang juga pendamping korban. Ketidaksiapan aparat dalam menangani kasus kekerasan seksual menjadi hambatan Maulida dalam proses penegakan hukum bagi pelaku kekerasan seksual yang ditanganinya (BandungBergerak.id, 8 Desember 2022).
Hingga tahun 2023, implementasi UU TPKS belum juga optimal. Bahkan penyelesaian kasus kekerasan seksual di pengadilan jumlahnya masih minim (BandungBergerak.id, 23 Desember 2023).
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung Uum Sumiati mengatakan, angka kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es yang tak bisa dianggap sepele.
"Korban kekerasan itu fenomenanya seperti gunung es. Angka yang muncul ini hanya yang berani melapor kepada kami," ujar Uum, dalam Diskusi Panel di Auditorium Balai Kota Bandung, Senin, 27 November 2023.
Ia berharap peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan di Bandung tidak dipandang negatif. Munculnya angka laporan menurutnya efek dari keberhasilan edukasi kepada masyarakat.
"Peningkatan ini selalu dianggap negatif. Padahal ini juga merupakan suatu keberhasilan karena masyarakat sudah melek dan berani untuk melapor. Jika ada laporan yang tercatat, berarti trennya pasti akan naik," ucapnya.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Nabila Eva Hilfani, atau tulisan-tulisan menarik lain KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG