Menyelami Jatuh Perjalanan Aska Rocket Rockers, Bob Anwar, dan Wanggi Hoed di Main Aroma Series #3
Aska Rocket Rockers, Bob Anwar, dan Wanggi Hoed tiga seniman beda genre. Membahas kaitan seni dengan kehidupan.
Penulis Nabila Eva Hilfani 17 September 2024
BandungBergerak.id – Tiga orang seniman berbicara soal hubungan musik dan kemanusiaan. Mereka adalah Aska Rocket Rockers dan Bob Anwar sebagai musisi, serta Wanggi Hoed sebagai seniman pantomime. Mereka hadir di acara Truck Expedition Main Aroma Episode 3: Music and Arts, Sabtu, 14 September 2024 di pelataran Uchi Parfume Gatot Subroto, Bandung.
Terungkap, seniman bukan hanya membicarakan soal keindahan karya. Namun juga turut andil dalam menyuarakan segala keresahan yang ada, seperti yang dialami Aska Rocket Rockers yang bersinggungan dengan teman tuli (difabel).
“Teman tuli ini tuh kadang-kadang gak dapet porsi mereka,” ucap Aska, vokalis Rocket Rockers, ketika menceritakan soal karya kolaborasi Rocket Rockers dengan teman-teman tuli pada tahun 2020.
Karya kolaborasi Rocket Rockers bersama teman tuli tercetus akibat keresahan akan semakin sempitnya teman-teman tuli memperoleh hiburan kala pandemi. Kecilnya penyediaan penerjemah di penayangan-penayangan televisi menjadi salah satunya. Bahkan lebih luas lagi, Rocket Rockers melihat penyediaan fasilitas publik di Indonesia yang belum juga ramah untuk teman-teman difabel.
Keterikatan dengan isu-isu kemanusian juga lekat dengan Wanggi Hoed, seniman pantomim yang juga hadir menceritakan perjalan berkeseniannya. Bagi Wanggi keterlibatannya dalam penyuaraan isu kemanusiaan penting untuk terus dilanjutkan, terlebih di tengah kondisi hari ini yang menurutnya begitu cepat dan kaos.
Selaras dengan sepenggal kalimat yang dikatakan Wanggi dalam sesi diskusi “Sejak awal, saya berprinsipkan pantomim saya tidak akan laku, tapi pantomim saya akan melaku.”
Keterikatannya dengan isu kemanusiaan tidak lepas dari sang panutan akan aksinya, Marcel Marceau. Marcel Marceau merupakan maestro pantomim Perancis yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, Wanggi pun menjadikan seni pantomimnya sebagai gerakan soal isu kemanusiaan.
Ibu dan Lagu ke-27
Membicarakan soal panutan, Aska menjadikan ibunya sebagai idola dalam perjalanan bermusiknya. Aska tidak pernah lepas dari tempaan dan asahan sang ibu yang juga seorang musisi. Penilaian sang ibu di setiap penampilannya pun menjadi sebuah tolok ukur kualitas penampilan.
Bukan sebuah hal yang tidak mungkin menjadikan ibunya sebagai idola. Aska mengatakan, ibunya telah lama menyelami dunia musik. Penyanyi profesional sejak 3 SD dan 16 kali sebagai pop singer.
Beda halnya dengan cerita Bob Anwar. Ia mengaku tidak ada idola secara spesifik dalam bermusik. Namun, segala jenis musik ia nikmati untuk akhirnya menginspirasi.
Bukan hanya musisi, Bob Anwar juga seorang guru dan penulis. Pengalamannya di dunia musik yang belum mencapai satu dekade bukan berarti tidak pernah melewati kerikil-kerikil tajam di sepanjang perjalanannya. Bahkan, titik terberatnya itu terabadikan dalam satu karya lagunya.
“Lagu 27. Lagu 27 itu bagi saya momen titik terendah. Jadi waktu itu pertama kali Covid. Sebelum Covid itu saya punya rencana untuk tour mini album. Nah, album beres, launching, seminggu kemudian Covid. Itu semua batal. Pekerjaan saya juga akhirnya hilang,” jelas Bob Anwar sembari tertawa kecil mengingat memori gelapnya itu ketika di usianya 27 tahun.
Berbeda dengan perjalanan musiknya. Bob Anwar justru menceritakan perjalanan mulusnya sebagai penulis. Pria lulusan sarjana sastra ini mengelilingi kota-kota di Indonesia, karena karya tulisnya. Bahkan, dirinya sempat berkesempatan untuk terbang ke Korea Selatan, meski harus batal, lagi-lagi karena pandemi.
Jatuh Bangun
Jatuh bangunnya Wanggi Hoed sebagai seniman pantomim turut diceritakan dalam acara yang digelar oleh Uchi Parfume. Wanggi bercerita, dirinya bahkan sempat diperlakukan tidak baik di beberapa momen perjalanannya sebagai seniman pantomim.
“Saya dari jalanan kemudian diludahi, diusir, di gebukin, dan macem-macemlah. Saya tidak akan melanjutkan perkelahian, karena itu malah merugikan, karena saya tidak bisa kembali ke tempat itu,” ucap Wanggi.
“Tapi dengan hal-hal tantangan tadi. Itu bisa jadi pembelajaran,” lanjutnya.
Meski banyak tantangan yang harus dihadapi, Wanggi tetap maju bertahan membawa seni pantomimnya. Apresiasi yang diberikan antarseniman maupun teman berbeda profesi yang menjadi bahan bakarnya selama ini. Orang-orang di sekelilingnya menjadi satu hal yang berarti bagi Wanggi.
Sama halnya dengan Aska yang selama 25 tahun bersama Rocket Rockers juga memiliki pendorong berkarya selama ini, yaitu penggemar. Bahkan, Aska mengakui, Rocket Rockers mempunyai kedekatan yang cukup erat dengan para penggemar.
Penggemar yang jumlahnya begitu banyak sejak terbentuknya Rocket Rockers, dirangkul lebih erat dengan Rocket Rockers dengan komunikasi intens melalui PO Box dan Friendster pada eranya. Bahkan pada tahun 2010, akun Friendster milik Rocket Rockers masuk sebagai 10 akun berdampak di Indonesia.
Baca Juga: Alternatif Ekstraksi Bunga Cengkih sebagai Bahan Baku Parfum
Mengeksplorasi Rasa dan Aroma Kopi, Teh, dan Rempah dalam Main Aroma Series #1
Seni dan Kehidupan
Dunia seni sering kali dianggap sebelah mata sebagai sumber mempertahankan hidup. Hal ini diakui Bob Anwar, Aska, maupun Wanggi. Bagi Bob Anwar, penggemar dan orang-orang dekat di sekelilingnya adalah bahan bakar yang mendorongnya terus berkarya.
Terlebih Bob Anwar yang mengucapkan sepenggal kalimat soal karya yang pasti menemukan pendengarnya. “Setiap karya yang kita keluarkan itu, kita bicaranya jujur, pasti akan menemukan pendengarnya.”
Sementara Aska yang tidak pernah mencicipi kerja kantoran, ia membuktikan bahwa dunia musik dapat menghidupinya selama 43 tahun. Begitupun Wanggi. Meski berbeda dengan yang lainnya, Wanggi memiliki sampai sekarang menekuni seni pantomim.
Experiment Experience antara Emosi dan Abstrak
Experiment experience kembali dihadirkan dalam Main Aroma Episode 3 ini. Membawa kembali empat kategori aroma dengan puluhan botol yang ditata rapi berjajar di atas meja persegi: woody, floral, oriental, dan fresh. Bedanya di episode 3 ini, Uchi Parfume menghadirkan produk-produk bertemakan emosional dan abstrak, diselaraskan dengan tema acara, music and arts.
Kedua tema tersebut diwakili dengan puluhan produk rekomendasi Uchi Parfume. Produk bertemakan emosi dipilih berdasarkan kekuatan parfume yang dapat membangkitkan segala emosi dan memori. Sementara produk bertemakan abstrak merupakan produk parfume yang lebih ditonjolkan dalam sisi seni perpaduan bahan ekstrak dalam satu produk parfume.
Seperti yang diterangkan oleh Arin (23 tahun), research and development Uchi Parfume bahwa parfume memiliki kekuatan untuk membangkitkan emosi dan memori dari aroma yang dikeluarkan.
“Parfume sendiri kan memang mempengaruhi emosi orang. Selain emosi, memori juga mempengaruhi. Sama bahkan ada beberapa parfume untuk terapi juga,” terang Arin.
Kehadiran experiment experience di Main Aroma Episode 3 ini masih menjadi bentuk aktivasi yang memberikan pengalaman baru bagi para pengunjung, sekalipun bagi seseorang yang telah cukup lama memiliki ketertarikan dengan parfume. Seperti Ari (26 tahun) yang baru pertama kali hadir di acara Main Aroma Series.
“Sebuah pengalaman yang menarik. Eksperimen memilih aroma satu ke aroma lainnya sampai nemu akhirnya aroma parfume yang unik dan menarik, tapi juga sesuai gitu sama apa yang kita mau,” jelasnya kala ditemui saat melakukan eksperimen.
Main Aroma Series yang digelar oleh Uchi Parfume ini masih akan hadir kembali pada tanggal 28 September 2024. Episode selanjutnya akan membawakan tema Back to Nature. Selain di Bandung, kegiatan serupa juga akan hadir di kota lainnya.
*Artikel ini merupakan bagian dari kerja sama BandungBergerak dengan Uchi Parfume