• Liputan Khusus
  • BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Laris Manis Es Teh Gegerkalong Menandakan Bandung Semakin Panas

BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Laris Manis Es Teh Gegerkalong Menandakan Bandung Semakin Panas

Warga Gegerkalong sudah jarang merasakan suhu dingin Bandung tempo dulu. Kemacetan, padat penduduk, panas, dan polusi menjadi santapan sehari-hari.

Ilustrasi. Pohon yang tumbuh di Kota Bandung tak kuasa menghadapi kemarau, 29 Agustus 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Reihan Adilfhi Tafta Aunillah 17 September 2024


BandungBergerak.idJam di gawai menunjukkan pukul 14.00 WIB. Cuaca di Gegerkalong, Kota Bandung siang itu tidak terlalu cerah, bahkan bisa dibilang berawan atau mendung. Namun, udara terasa lumayan pengap, kemacetan menyergap di mana-mana dan membaur dengan para pejalan kaki yang kegerahan. Maklum, suhu udara tertinggi di Gegerkalong, Rabu siang itu, 21 Agustus 2024 mencapai angka 30 derajat Celsius.

Gegerkalong hampir tak pernah sepi setiap harinya. Selalu saja ada kemacetan karena ramainya kendaraan dan pejalan kaki yang tak sebanding dengan luas jalan. Dimulainya perkuliahan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), kampus yang berdiri di sekitar Gegerkalong, menjadi kawasan Bandung utara ini lebih ramai dari minggu-minggu sebelumnya.

Suasana Gegerkalong semakin meriah dengan hadirnya para pedagang kaki lima yang berderet di pinggir-pinggir jalan. Salah satunya penjual es teh. Minuman dingin yang memang sangat cocok diminum di tengah udara gerah Gegerkalong.

Ruksya Suhana Ananta (20 tahun) atau yang akrab disapa Uca adalah salah seorang pembeli es teh pada siang itu. Es teh merupakan minuman favoritnya di tengah cuaca panas. 

Uca juga merupakan seorang mahasiswi UPI yang sudah memasuki semester 7 dan sudah tinggal di Gegerkalong hampir 4 tahun. Perempuan yang berasal dari Kota Padang tersebut merasakan bahwa suhu udara di Gegerkalong semakin panas akhir-akhir ini.

“Kemarin aku baru pulang dari Padang, di awal ke sini (Bandung) masih dingin banget. Tapi, sekarang cuacanya tuh hari ke hari makin panas menurut aku,” ujar Uca. 

Uca berpendapat di balik panasnya Gegerkalong sekarang bukan saja karena sedang musim kemarau melainkan disebabkan tingginya jumlah kendaraan yang dipakai warga sehari-harinya. Sebagai contoh, banyak mahasiswa di kampusnya yang berangkat kuliah menggunakan kendaraan pribadi. Arus lalu lintas Gegerkalong pun semakin padat, panas, dan pengap.

Bagi Uca, mungkin cuaca panas menjengkelkan. Beda halnya dengan penjual es teh yang merasa cuaca terik sebagai berkah. Pasalnya, pendapatan yang dihasilkan dari penjualan es teh saat cuaca sedang panas menjadi meningkat. 

“Perbedaan di musim dingin sama musim kemarau gak beda jauh grafik penjualannya. Tetapi memang pada saat sedang panas-panasnya jadi lebih laku,” ujar Halwa Nabila Munawar (20 tahun), selaku penjual es teh yang minumannya baru saja dibeli oleh Uca. 

Halwa juga mengungkapkan, minggu sebelumnya penjualan dari es tehnya menurun. Bukan karena banyak yang tidak menyukai es teh, tetapi karena waktu itu perkuliahan sedang libur. Pangsa pasar es teh yang dijual Halwa adalah mahasiswa UPI.

Selain Halwa, ada juga Saepudin (32 tahun) yang merupakan penjual es teh poci. Saepudin merupakan warga Cimahi, daerah yang berbatasan dengan Kota Bandung, yang sudah berjualan di Gergerkalong selama kurang lebih 6 bulan. Ia berjualan di depan SMA Kartika XIX-2, Gegerkalong, mulai dari pukul 9 pagi sampai pukul 5 sore.     

Usaha teh pocinya di Gegerkalong sebetulnya merupakan cabang keduanya karena ia juga membuka usaha teh poci di Cimahi yang sudah berjalan kurang lebih 2 tahun. Menurutnya, es teh poci memiliki banyak penggemar. Apalagi, pada saat musim panas penjualannya bisa habis lebih cepat dari target waktu yang diperkirakan. 

“Biasanya pas lagi musim selain panas, jualan sampai sore. Sekarang pas musim panas alhamdulillah jam 2 siang udah habis,” ujar Saepudin yang dari hasil penjualan es teh poci bisa menghidupi dan mencukupi kebutuhan anak dan keluarganya di Cimahi.

Menurutnya, di musim panas para pembeli mudah berdatangan. Tak seperti pada saat musim hujan di mana ia harus menunggu berjam-jam sampai pembeli pertama datang. Hasil penjualan di musim hujan jauh lebih menurun dibandingkan ketika musim panas.

“Pas musim hujan menurun drastis, sampai 50 persenlah. Kalau air dingin kan emang enaknya cuaca panas,” ujar Saepudin.

Walaupun berjualan di depan sekolah, Saepudin tak menargetkan penjualannya pada anak sekolah saja. Ia memilih menargetkan pada siapa pun yang lewat di depan jualannya, yang suka dengan teh poci ataupun yang sedang kehausan.

Baca Juga: DATA SUHU KOTA BANDUNG 1979-2023: Tidak Lagi Dingin, Semakin Panas Setiap Tahunnya
Penyebab Suhu di Bandung terasa lebih Dingin pada Malam dan Pagi Hari
Mengantisipasi Dampak Suhu Panas Ekstrem pada Kesehatan

Gegerkalong Dulu dan Kini

Kota Bandung saat ini dihuni sekitar 2,5 juta penduduk. Gegerkalong merupakan satu dari ratusan kelurahan yang ada di Kota Kembang. Daerah ini masuk wilayah Kecamatan Sukasari, satu dari 30 kecamatan di Kota Bandung. Sukasari memiliki empat kelurahan, salah satunya Gegerkalong. Total penduduk Kecamatan Sukasari pada 2023 sebanyak 78.277 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk Gegerkalong sebanyak 23.461 jiwa (BPS Kota Bandung).

Kenaikkan suhu rata-rata di Kota Bandung, khususnya Gegerkalong, tak hanya dirasakan dampaknya oleh pembeli maupun penjual es teh. Dampak tersebut juga dirasakan oleh penduduk asli Gegerkalong. Salah satunya ialah Aulia Nur Afifah (20 tahun).

Perempuan muda yang akrab disapa Aul tersebut lahir dan besar di Gegerkalong. Selama 10 tahun ke belakang ia sendiri merasakan suhu di Bandung semakin hari semakin panas.

“Kayak misalkan siang tuh panas, sore ke malam juga kadang sekarang ikut panas,” ujar Aul.

Pada saat ia masih menempuh pendidikan di Sekolah Dasar (SD), ia merasa bahwa setiap pagi udara di daerah rumahnya terasa dingin. Pada siang hari, cuaca terasa panas tetapi tidak sepanas sekarang, dan pada sore sampai malam hari merupakan waktu yang ia tunggu-tunggu untuk bersantai karena udaranya yang sejuk. 

Aul berbicara bahwa pada bulan-bulan tertentu ia bisa kembali merasakan sejuknya Kota Bandung atau Gegerkalong. Karena suhu pada bulan-bulan tertentu terasa seperti Bandung yang dulu ia rasakan ketika masih SD, ketika Bandung yang terkenal sebagai kota yang sejuk bukan hanya omong kosong belaka.

“Pas Juli biasanya, aku kayak ngerasa wah ini nih yang namanya Bandung gitu, dingin anginnya, kayak kerasa Bandungnya gitu. Cuma sekarang angin yang sejuk kadang jadi panas. Gak jelas pokoknya rasanya,” keluh Aul.

Aul berpendapat, pemanasan global menjadi penyebab utama naiknya suhu di daerah tempat ia dilahirkan. Hal ini diperparah dengan padatnya kendaraan yang masuk ke sekitar Gegerkalong.

Sejak ia kecil, Gegerkalong memang sudah ramai dengan penduduk. Alasan utamanya karena banyaknya mahasiswa UPI dari luar Bandung yang menetap di Gegerkalong. Masing-masing membawa kendaraan sendiri. Suasana ini semakin ramai karena ditambah menjamurnya para penjual kuliner pinggir jalan. Bahkan Aul sudah biasa melihat kemacetan terjadi di gang-gang sekitar Gegerkalong.

“Jangankan di tengah kota, di gang-gang kecil juga sekarang udah pada macet, banyak polusi. Terus kayak pepohonan-pepohonan juga banyak yang udah di tebang. Sekarang kita cuman bisa ngandelin Tahura (Taman Hutan Raya),” keluh Aul, mengacu pada hutan kota di kawasan Dago.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Reihan Adilfhi Tafta Aunillah atau artikel-artikel lain tentang Suhu Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//