Tangan Sadis Westerling sang Penyanyi Opera
Sebuah yang ditandatangani Raymond Westerling tiba di meja Mohammad Hatta. Isinya ultimatum agar pemerintah RIS mengakui Negara Pasundan dan APRA sebagai tentaranya.
Alda Agustine Budiono
Pemerhati Sejarah dan Pengajar Bahasa Inggris
21 September 2024
BandungBergerak.id – “Booooooo!!” teriakan penonton menggema keras di dalam gedung Het Muziektheater, Amsterdam. Sepatu beterbangan dari segala penjuru; salah satunya mengenai penyanyi opera berkebangsaan Belanda berusia 30-an yang sedang memerankan tokoh Mario Cavaradossi, karakter korban penyiksaan dari opera Tosca karya Giacomo Puccini. Si penyanyi bersuara cempreng hanya bisa pasrah menerima pepes sepatu. Ya, dia memang masih hijau dalam dunia pertunjukan opera. Sayangnya kali ini dia tidak mungkin menembak penonton, seperti yang pernah dilakukannya di Indonesia pada tahun 1946.
Peristiwa itu masih tergambar jelas di benaknya. Saat itu dia dan beberapa anak buahnya sudah berada di tempat eksekusi, di antara desa Borong dan Batua, di Makassar, Sulawesi Selatan. Kedua desa itu telah dikepung; tidak ada penduduk yang bisa melarikan diri. Mortir meluncur dari berbagai penjuru, menghancurkan rumah-rumah penduduk.
Sambil memilin kumis dan duduk santai , dia menyaksikan anak buahnya mengumpulkan penduduk desa. Sebuah pistol Colt 38 terletak di meja di hadapannya. Sebuah mobil Jeep Willys era kolonial terparkir di belakangnya, juga berdiri pasukan bersenjata laras panjang dengan posisi siap tembak.
Tuan Belanda berusia 27 tahun itu melayangkan pandangan kepada barisan warga tak berdosa yang berdiri di depannya. Matanya tertumbuk pada seorang pria berambut gondrong acak-acakan yang berpakaian compang-camping.
“Apakah kamu Puang Side?” dia bertanya.
“Benar tuan, saya Puang Side,” jawab warga itu sambil berjalan maju sempoyongan.
“Dor!” peluru melayang dari pistol si Tuan Belanda menewaskan Puang Side. Penduduk yang menyaksikan eksekusi kilat itu langsung histeris.
“Kalau tidak mau mati, ikuti kata saya!” teriaknya kepada warga yang masih berbaris itu.
Sambil berkata begitu, dia tersenyum puas. Menebar teror memang misinya. Tujuannya adalah menakuti warga, supaya mereka mau buka mulut tentang lokasi markas para pejuang kemerdekaan. Pernah sekali dia suruh targetnya berlari, lalu ditembak dari belakang.
Baca Juga: Kisah Ratu Victoria dan Abdul
Theranos Going Downhill
Kisah Tim Kurcaci dari Hindia Belanda di Piala Dunia 1938
Raymond Westerling
Tidak puas dengan pembantaian di Sulawesi Selatan, Tuan Belanda bernama Raymond itu melanjutkan aksinya di Bandung. Alasannya adalah karena dia menolak bentuk negara Republik Indonesia Serikat. Dalam pandangannya, negara yang dipimpin Soekarno-Hatta itu terlalu berfokus di Jawa. Sebagai anggota pasukan kerajaan Belanda (KNIL), dia juga merasa dirugikan oleh hasil Konferensi Meja Bundar, yang membubarkan KNIL dan menarik seluruh pasukan dari Nusantara. Ia lalu mengumpulkan 8.000 orang personil dan menamai kesatuannya sebagai Angkatan Perang Ratu Adil. Nama ini dipilih untuk menarik simpati masyarakat, yang masih percaya pada ramalan Jayabaya akan datangnya Ratu Adil untuk membebaskan rakyat Jawa dari tirani.
Pada tanggal 5 Januari 1950, sebuah surat mendarat di meja Mohammad Hatta, perdana menteri Republik Indonesia Serikat (RIS). Isinya adalah sebuah ultimatum agar pemerintah RIS mengakui Negara Pasundan dan APRA sebagai tentaranya. Surat itu ditandatangani oleh Raymond Westerling.
“Enak saja!” pikir Hatta geram. “Tangkap orang ini!” perintahnya.
Mengetahui dirinya akan ditangkap, Raymond tidak menunda melancarkan kudetanya. Bandung menjadi salah satu kota sasaran, karena di sana terdapat markas Divisi Siliwangi, pasukan yang paling setia pada RIS. Sekitar 800 pasukan APRA bergerak dari Cimahi menuju Kota Kembang pada pagi hari 23 Januari 1950. Mengenakan seragam KNIL, bersenjata lengkap, dan mengendarai tank militer, , mereka tidak mendapat perlawanan yang berarti. Pasukan ini lalu tiba di Oude Hospitalweg (Jalan Lembong), lokasi markas pasukan Divisi Siliwangi. Tanpa ampun, mereka menembaki semua orang yang berada di jalan itu. Puluhan tentara tewas, termasuk Letkol Adolf Lembong, komandan Divisi Siliwangi.
Pemberontakan itu berhasil dipadamkan dalam waktu beberapa jam saja. Westerling sendiri berhasil lolos dari kepungan pasukan RIS. Dia kabur ke ke Singapura, dibantu seorang pilot Belanda bernama Van der Wal, lalu terbang ke Eropa menggunakan identitas palsu.
Kehidupan sang kapten berubah seratus delapan puluh derajat setelah itu. Di Belanda, dia hidup pas-pasan, terlilit hutang, sampai menawarkan diri menjadi tentara bayaran. Di usia 60 tahun, dia tinggal di Amsterdam bersama istri dan ketiga putrinya. Untuk membiayai hidup, dia menjual buku-buku baru dan bekas, serta membuka sebuah percetakan kecil.
Mungkin saat itu dia sudah sadar bahwa menjadi penyanyi opera bukanlah karir yang tepat untuknya.
*Kawan-kawan dapat membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Alda Agustine Budiono, atau artikel-artikel lain tentang sejarah