• Narasi
  • Kisah Ratu Victoria dan Abdul

Kisah Ratu Victoria dan Abdul

Mungkinkah seorang ratu Inggris berteman dengan pelayannya?

Alda Agustine Budiono

Pemerhati Sejarah dan Pengajar Bahasa Inggris

Lukisan Ratu Victoria dari Kerajaan Inggris karya Franz Xaver Winterhalter. (Sumber: Wikimedia Commons)

8 Mei 2024


BandungBergerak.id – Situs insider.co.uk melaporkan bahwa keluarga kerajaan Inggris mempekerjakan lebih dari 1000 staf untuk mengurus berbagai keperluan mereka. Sebagian besar bekerja di Istana Buckingham, tempat raja dan ratu tinggal, namun ada juga yang melayani di Istana Windsor dan Istana Kensington. Tugas mereka bermacam-macam; mulai dari merawat perabot istana, penanggung jawab musik ratu, pengelola keuangan pribadi, sampai penanggung jawab linen yang bertugas menata meja untuk jamuan makan kerajaan. Di masa Ratu Victoria (28 Juni 1838 - 22 Januari 1901), ada dua pelayan yang didatangkan dari India. Salah satunya menjadi pelayan yang sangat istimewa.

Shrabani Basu, seorang penulis dan jurnalis asal India, mendengar pertama kali tentang Abdul Karim ketika sedang melakukan riset tentang sejarah kari di akhir tahun 1990. Setahun kemudian, ketika sedang berlibur bersama keluarganya, dia secara tidak sengaja menemukan lukisan potret diri Karim di Osborne House, bekas kediaman pribadi Ratu Victoria dan Pangeran Albert di Isle of Wright. Di foto itu Abdul Karim mengenakan baju merah dengan strip emas, sorban putih, dan jaket putih, seperti pelayan tingkat tinggi.  Basu berasumsi bahwa Karim pasti sangat istimewa di mata ratu.

Di tahun 2006 Basu berkomitmen untuk melakukan riset tentang hubungan Ratu Victoria dan Abdul Karim. Hasilnya adalah sebuah buku berjudul Victoria and Abdul: The True Story if the Queen’s Closest Confidant. Buku ini kemudian diadaptasi menjadi film Victoria and Abdul yang sedang tayang di Netflix.

Baca Juga: Laut, Ombak, dan Susi Pudjiastuti
Bintang-bintang Vincent van Gogh
Raden Ajeng Kartini, di Balik Dinding Pingitan

Pelayan Ratu

Abdul Karim awalnya adalah seorang pria Muslim miskin yang tinggal di Agra, kota terpadat keempat di negara bagian Uttar Pradesh, India. Dia bekerja di pusat tahanan (seperti penjara) sebagai juru tulis bahasa pribumi (mungkin bahasa Urdu). Para penghuni di tempat itu dipekerjakan sebagai pembuat karpet sebagai bagian dari rehabilitasi agar nantinya mereka bisa kembali ke masyarakat. Pada tahun 1886, 34 narapidana dikirim ke London untuk mendemonstrasikan cara membuat karpet di sebuah pameran Colonial and Indian Exhibition di Kensington Selatan. Walaupun tidak ikut pergi, Karim, bersama kepala penjara John Tyler,  membantu memilih karpet mana saja yang akan dipamerkan. Tyler kemudian mempersembahkan sepasang gelang emas, yang juga pilihan Karim, kepada Ratu Victoria. Sang ratu, yang sudah lama tertarik pada budaya India, meminta Tyler memilih dua orang dari India untuk melayaninya di acara Golden Jubilee; perayaan 50 tahun naik takhta. Singkat cerita, Abdul Karim dan temannya, Mohammed Buksh, lolos seleksi lalu berangkat ke Inggris.

Abdul Karim pertama kali bertemu Ratu Victoria ketika sedang sarapan di hari ketiga perayaan Golden Jubilee, Juni 1887. Saat itu ratu sedang terlihat sangat lelah. Melihat itu, pelayan India berusia 23 tahun ini berinisiatif menegur sri baginda; sesuatu yang tabu bagi staf istana kerajaan. Ratu, 68 tahun, sangat kaget ketika Karim berlutut lalu mencium kakinya sebagai tanda hormat. Ketika itu ratu memakai pakaian hitam karena masih berduka atas kematian John Brown, pelayan sekaligus temannya asal Skotlandia. Kelembutan dan kesopanan Karim seketika memikat hatinya. Setelah itu, selama 13 tahun, ratu sering menghabiskan waktu bersama pelayannya yang datang dari negeri jauh. Bahkan Abdul Karim diberi kedudukan lebih tinggi dari pelayan istana lainnya. Ratu memanggil Abdul Karim “munshi” atau guru, karena selain melayani, dia juga mengajarkan bahasa Urdu dan budaya India, termasuk kari. Hidangan ini segera menjadi favorit ratu, dan sering dimasak di dapur istana.

Kepopuleran Abdul Karim membuat keluarga kerajaan dan staf istana panas. Mereka cemburu karena Ratu lebih memilih Abdul dan memperlakukannya dengan begitu istimewa; bepergian keliling Eropa bersama, memberinya berbagai gelar dan hadiah, bahkan mengusahakan agar ayah Karim mendapat uang pensiun. Sekretaris pribadi Ratu, Fritz Ponsonby, bahkan sampai mengirim surat protes. Dia menulis,” Menurut Ratu, tindakan kami adalah diskriminasi rasial dan kami cemburu pada si Munshi.”

Persahabatan platonik ini berlangsung hingga kematian Ratu Victoria  pada 22 Januari 1901. Setelah itu nasib Abdul Karim berbalik 180 derajat. Ratusan surat korespondensi yang ditulis dalam bahasa Urdu, selama 13 tahun persahabatan mereka, dibakar. Surat-surat itu diakhiri dengan “your dearest friend” dan “your dearest mother”. Ini dilakukan hanya beberapa jam setelah pemakaman. Abdul dan keluarganya juga diusir delapan tahun kemudian dari  tempat tinggal mereka di kompleks Istana Windsor, lalu dideportasi ke negara asal mereka.

Di Agra, tanah leluhurnya, Abdul Karim hidup sangat sederhana, dan tidak bahagia. Setelah mengabdi bertahun-tahun kepada Ratu Victoria, kini dia diperlakukan sebagai kriminal. Dia meninggal pada 20 April 1909, pada usia 46 tahun. Orang yang pernah menjadi sahabat terdekat Ratu Victoria itu kini terbaring damai di sebuah tempat pemakaman tak dikenal.

Jadi mungkin saja seorang ratu bisa bersahabat dengan pelayannya, yang berasal dari bangsa lain. Yang tidak boleh adalah diskriminasi rasial seperti sikap para staf dan pelayan istana kerajaan. Dengan saling menghargai antar bangsa, akan tercipta dunia yang damai.

*Kawan-kawan dapat membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Alda Agustine Budiono, atau artikel-artikel lain tentang sejarah

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//