• Narasi
  • Raden Ajeng Kartini, di Balik Dinding Pingitan

Raden Ajeng Kartini, di Balik Dinding Pingitan

Semangat Kartini harus tetap menyala. Biar badan terkurung, pikiran tetap terbuka, tetap aktif melakukan apa yang bisa dikerjakan.

Alda Agustine Budiono

Pemerhati Sejarah dan Pengajar Bahasa Inggris

Kartini (kiri), Kardinah dan Roekmini. Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April 2021. (Sumber: KITLV 15467)

21 April 2024


BandungBergerak.id – Sakit, ringan maupun berat, adalah pengalaman yang tidak enak. Keadaan ini membuat seseorang terkurung di rumah atau di rumah sakit selama berhari-hari atau bahkan mungkin berbulan-bulan.  Akibatnya, penderita menjadi sedih atau bahkan depresi. Saya melihatnya persis seperti dipingit, yang dialami pahlawan nasional, Raden Ajeng Kartini.

Sebuah ruangan yang berada sekompleks dengan pendopo kabupaten Jepara, Jawa Tengah, menjadi saksi bisu masa-masa pingitan itu. Untuk sampai di kamar Kartini, pengunjung harus melewati ruang kediaman khusus adipati. Kamar ini berada di belakang pendopo. Dinding bagian luarnya dilapisi kertas tembok bercorak. Potret Raden Ajeng Kartini tergantung di salah satu sisi tembok. Sebuah lampu kuno tergantung di langit-langit ruangan berukuran 65 meter ini. Di sebelah kiri terdapat sebuah ranjang kayu antik tanpa kasur. Di atasnya ada canting untuk membatik, botol jamu, dan beberapa lukisan. Di sebelah kanan terdapat meja belajar, sebuah lemari, dan beberapa lukisan besar di dinding.

Di kamar inilah Kartini mencurahkan segala kesedihan dan kekesalannya kepada Stella Zeehandelaar, sahabat penanya di Belanda. Kamar yang bagi orang lain biasa-biasa saja, bagi Kartini adalah penjara. Konon, dia sering membenturkan badannya ke pintu karena merasa sangat frustrasi. Di 1892, usia yang masih 12 tahun, dia harus berhenti sekolah dari HBS (Hogere Burger School - sekolah menengah). Ruang geraknya dibatasi; hanya lima kali dia keluar dari Kabupaten Jepara.

Baca Juga: Jejak Napoleon Bonaparte di Hindia Belanda
Laut, Ombak, dan Susi Pudjiastuti
Bintang-bintang Vincent van Gogh

Surat-surat Kartini

“Jalan kehidupan gadis Jawa itu sudah dibatasi dan diatur menurut pola tertentu. Kami tidak boleh mempunyai cita-cita. Satu-satunya impian yang boleh kami kandung ialah, hari ini atau besok dijadikan istri yang kesekian dari seorang pria. Saya tantang siapa yang dapat membantah ini. Dalam masyarakat Jawa persetujuan pihak wanita tidak perlu. Ia juga tidak perlu hadir pada upacara akad nikah. Ayahku misalnya bisa saja hari ini memberitahu padaku: Kau sudah kawin dengan si anu. Lalu aku harus ikut saja dengan suamiku. Atau aku juga bisa menolak, tetapi itu malahan memberi hak kepada suamiku untuk mengikat aku seumur hidup tanpa sesuatu kewajiban lagi terhadap aku. Aku akan tetap istrinya, juga jika aku tidak mau ikut. Jika ia tidak mau menceraikan aku, aku terikat kepadanya seumur hidup. Sedang ia sendiri bebas untuk berbuat apa saja terhadap aku. Ia boleh mengambil beberapa istri lagi jika ia mau tanpa menanyakan pendapatku. Dapatkah keadaan seperti ini dipertahankan, Stella?” (Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 6 November 1899)

“Berlalu sudah! Masa muda yang indah sudah berlalu!” tulis Kartini kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri, istri Jacques Henrij Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. Dunia Kartini pun semakin sempit. Hari-hari semakin membosankan setelah Letsy Detmar, teman sekolah yang suka mengunjunginya, pulang ke Belanda. Hampir setiap pagi dia menahan tangis melihat kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah, pergi sekolah.

Setelah kakaknya, Raden Ajeng Soelastri, menikah dengan Raden Ngabehi Tjokrodisostro, Kartini lalu pindah ke kamar sang kakak yang lebih luas. Karena itu ia bisa mengajak kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah, untuk tinggal bersama. Tiga bersaudara ini melakukan berbagai kegiatan bersama; dari bermain piano, melukis, sampai membuat kerajinan tangan. Mereka juga membaca surat kabar De Locomotief, sehingga bisa mengetahui perkembangan yang terjadi di Hindia Belanda hingga Eropa. Pada suatu hari di tahun 1896, mereka diajak sang ayah ikut serta dalam perjalanan dinas ke Kedungpenjalin. Kegembiraan bisa keluar rumah diceritakan kartini kepada Stella, “ Alhamdulillah, alhamdulillah! Saya boleh meninggalkan penjara saya sebagai orang bebas!”

Keberuntungan mulai berpihak pada Kartini ketika ia sekeluarga diajak mengunjungi Tuan Ovink-Soer, asisten residen Jepara. Marie Ovink-Soer, istri asisten residen, sudah lama tertarik dengan esai-esai Kartini. Beliau kemudian menjadi pendukung setia dan moedertje (ibu sayang) bagi gadis itu. Ketika Kartini dihalangi oleh kakaknya, Raden Mas Sosroningrat, untuk mengirimkan tulisan, Nyonya Ovink-soer membantu supaya surat-surat itu bisa sampai ke penerimanya. Bersama kedua adiknya, Kartini kemudian diundang ke acara ulang tahun residen Semarang, Stijhoff. Dari situ, tulisan karya Het Klaverblad (tiga saudara-sebutan bagi Kartini dan kedua adiknya) bisa dipamerkan di Den Haag, negeri Belanda.

Selain berkirim surat, Kartini dan kedua adiknya juga mendirikan sekolah bagi anak-anak di lingkungan sekitar mereka.

Kadang hidup menempatkan kita dalam pingitan. Di era modern, pingitan bisa berarti tidak bisa keluar rumah karena sakit. Memang membosankan. Seperti Kartini, siapa pun bisa frustrasi. Asal jangan sampai benjol membenturkan kepala ke pintu. Semangat Kartini harus tetap menyala. Biar badan terkurung, pikiran tetap terbuka, tetap aktif melakukan apa yang bisa dikerjakan. Sikap positif dan semangat pantang menyerah adalah dua hal yang membuat proses penyembuhan jadi lebih menyenangkan.

*Kawan-kawan dapat membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Alda Agustine Budiono, atau artikel-artikel lain tentang sejarah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//