• Narasi
  • Jejak Napoleon Bonaparte di Hindia Belanda

Jejak Napoleon Bonaparte di Hindia Belanda

Napoleon Bonaparte menaklukkan Belanda dan mengangkat adiknya, Louis Bonaparte, sebagai penguasa. Herman Willem Daendels dikirim ke Hindia Belanda.

Alda Agustine Budiono

Pemerhati Sejarah dan Pengajar Bahasa Inggris

Louis (Lodewijk) Bonaparte (2 September 1778 – 25 July 1846) (Sumber: Wikimedia Commons)

6 Desember 2023


BandungBergerak.id – Selama di sekolah, kita selalu diajarkan bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Hal ini tidak seluruhnya benar. Ada periode di mana Indonesia berada dalam kekuasaan Perancis, yang pada abad ke-18 berada di bawah pemerintahan Napoleon Bonaparte. 

Menjelang akhir abad ke-18, persekutuan dagang Hindia Belanda, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) hampir bangkrut akibat korupsi yang dilakukan oleh para pejabatnya, Pada tahun 1796,  Heeren XVII (dewan 17, yang mengatur operasional VOC) dibubarkan, lalu digantikan oleh komite bari. Tak lama kemudian, 1 Januari 1800, VOC dibubarkan. Operasional VOC di Hindia Belanda kemudian diambil alih oleh pemerintah Belanda. 

Saat itu, Belanda belum menjadi negara merdeka. Pada awal abad ke-19, terjadi krisis politik dan militer akibat invasi Napoleon Bonaparte, kaisar Perancis (memerintah 17 Maret 1805 – 11 April 1814) yang berambisi menguasai seluruh Eropa dan dunia. Pada tahun 1806, Napoleon berhasil menaklukkan Belanda dan  mengangkat adiknya, Louis  Bonaparte, sebagai  penguasa di wilayah itu. 

Napoleon bermaksud menjadikan Belanda sebagai negara satelit Perancis, namun sang adik berpikiran lain. Louis berusaha menjadi penguasa yang bertanggung jawab dan mandiri. Dia belajar bahasa Belanda dan memanggil dirinya Lodewijk (nama Louis dalam bahasa Belanda), agar bisa diterima oleh rakyatnya. Ketika kosa katanya masih sangat minim, dia pernah menyebut dirinya Konijn van 'Olland ("Kelinci 'Olland"), bukan Koning van Holland ("Raja Belanda"), 

Supaya kekuasaan Belanda tetap langgeng di Hindia Belanda, Raja Lodewijk mengirim pasukan dan pejabat Belanda untuk menggantikan orang-orang Perancis suruhan Napoleon. Salah satunya adalah Herman Willem Daendels, yang patung kepalanya dipajang di dekat tugu 0 kilometer di Jalan Asia Afrika Kota Bandung. 

Mas Galak

Daendels adalah seorang politikus Belanda, orang kepercayaan Raja Lodewijk. Sejarawan Peter Carey, dalam bukunya Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), menulis bahwa sang gubernur jenderal adalah seorang ahli hukum, revolusioner, dan serdadu yang ditempa oleh Revolusi Perancis. Setelah sukses mempertahankan provinsi Friesland dan Groningen pada tahun 1806, atas saran Napoleon, ia ditugaskan sebagai gubernur Jenderal Hindia Belanda. 

Daendels tiba di Batavia pada 5 Januari 1808 setelah menempuh perjalanan panjang melalui Kepulauan Canaria (Canary Islands di Spanyol). Tugas utamanya adalah mempertahankan Jawa dari serangan Inggris, karena wilayah ini adalah satu-satunya koloni Belanda-Perancis yang masih bertahan, setelah jatuhnya Isle de France dan Mauritius pada 1807. Inggris telah menghancurkan galangan kapal Belanda di Pulau Onrust sampai tidak bisa digunakan lagi. 

Selain itu, tugas lain Daendels adalah memperkuat pertahanan dan memperbaiki administrasi pemerintahan, terutama di Jawa. Dia dikenal sebagai ‘Mas Galak’ (plesetan dari kata bahasa Belanda maarschalk, artinya marsekal) karena memerintah dengan tangan besi dan berbagai kebijakannya menyengsarakan rakyat Hindia Belanda.

Herman Willem Daendels dalam lukisan karya Raden Saleh. (KITLV 4635, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Herman Willem Daendels dalam lukisan karya Raden Saleh. (KITLV 4635, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Berbagai Kebijakan Daendels 

Di bidang pemerintahan, Mas Galak membatasi secara ketat kekuasaan raja-raja di wilayah Nusantara. Pulau Jawa dibagi menjadi 9 prefektur (wilayah yang memiliki otoritas). Setiap prefektur dipimpin oleh seorang prefek yang bertanggung jawab langsung kepada gubernur jenderal. Bupati, yang tadinya adalah penguasa feodal, dijadikan pegawai pemerintah yang digaji. Kerajaan Banten dan Cirebon dihapuskan, lalu keduanya dijadikan wilayah pemerintah kolonial. Dia juga mempengaruhi Mangkunegara II untuk membentuk sebuah pasukan bernama Legiun Mangkunegaran, terdiri dari 1,150 prajurit. Pasukan ini bertugas membantu pasukan Mas Galak bila terjadi perang. 

Di bidang sosial ekonomi, para penguasa wilayah Surakarta dan Yogyakarta dipaksa untuk menyetujui berbagai perjanjian, yang intinya adalah penggabungan beberapa wilayah ke dalam kekuasaan pemerintah kolonial. Selain itu ada juga pemungutan pajak untuk memastikan dana tetap mengalir ke kas pemerintah. Rakyat dipaksa menanam berbagai tanaman yang laku di perdagangan internasional, juga menyerahkan hasil panen mereka ke pemerintah kolonial. Dana yang diperoleh kemudian digunakan untuk persiapan perang. 

Di bidang militer dan pertahanan, benteng-benteng baru dibangun di sekitar pesisir pulau Jawa. Pelabuhan Anyer dan Ujung Kulon dijadikan pangkalan Angkatan Laut. Selain benteng, dibangun juga pabrik senjata di Surabaya. Untuk memudahkan pergerakan prajurit dan logistik perang, dibangun Jalan Raya Pos dari Anyer ke Panarukan. Penduduk lokal pun dijadikan tentara kolonial. 

Akibat berbagai kebijakan ini, rakyat Hindia Belanda menjadi miskin karena diharuskan membayar pajak yang tinggi. Karena dipaksa melakukan kerja rodi, banyak rakyat yang menderita sakit, bahkan meninggal. 

Tjadas Pangeran di Jalan Raya Pos di Sumedang sekitar tahun 1900. (KITLV 106287, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Tjadas Pangeran di Jalan Raya Pos di Sumedang sekitar tahun 1900. (KITLV 106287, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

De Grote Postweg

Salah satu karya Daendels yang masih ada saat ini adalah Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) yang membentang sepanjang 1000 km dari Anyer di Provinsi Banten sampai Panarukan, sebuah kecamatan di Situbondo, Jawa Timur. Pembangunan jalan ini terinspirasi oleh cursus publicus, sistem jalan di era Romawi kuno yang menghubungkan Roma dengan kota-kota yang ditaklukannya. Jalan Raya Pos menghubungkan Batavia dengan daerah-daerah lain di Jawa. Dinamakan demikian karena sepanjang jalan, antara Batavia dan Surabaya, terdapat 50 kantor pos, yang digunakan untuk memperlancar komunikasi dengan bawahan. 

Pembangunan jalan ini berawal dari Buitenzorg (kini Bogor) ke Karangsembung (kini Kecamatan Tomo di Sumedang). Jalur ini direncanakan akan melewati Cisarua, Cianjur, Rajamandala, Bandung, Parakan Muncang, dan Sumedang. Pemerintah mengucurkan dana sebanyak 30,000 ringgit perak untuk pembangunan jalur ini. Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, Nicolaus Engelhard, menyediakan 1,100 orang pekerja. 

Cadas Pangeran di Sumedang termasuk salah satu bagian dari Jalan Raya Pos. Jalur ini didominasi tebing dan jurang, medan yang sulit ditaklukkan. Warga Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Subang, dan Indramayu dikerahkan untuk mengerjakan proyek ini. Pramoedya Ananta Toer, dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, menulis bahwa 5,000 orang menjadi korban selama pembangunan jalan berlangsung. 

Berita kekejaman Daendels kemudian sampai ke telinga Pangeran Kusumadinata IX, Bupati Sumedang (memerintah 1791-1828). Geram melihat rakyatnya menderita, Pangeran Kornel, begitu beliau dikenal, bergegas menemui sang gubernur jenderal. Ketika  berjabat tangan, Daendels mengulurkan tangan kanan, tapi Pangeran Kornel malah memberikan tangan kirinya, sementara tangan kanannya bersiap menghunus keris. Sang pangeran juga menantang gubernur jenderal untuk bertarung satu lawan satu. Peristiwa heroik ini dikenang melalui sebuah patung di pertengahan jalur Bandung-Sumedang. Patung ini secara tidak langsung menjadi bukti bahwa kaisar Perancis, Napoleon Bonaparte, melalui Herman Willem Daendels, pernah menancapkan kukunya di Hindia Belanda. 

Namun pemerintahan Daendels bukan tanpa cela. Dia melakukan blunder selama memerintah, dengan menjual tanah kepada pihak swasta, lalu hasilnya digunakan untuk memperkaya diri,  juga korupsi dalam pembangunan Jalan Raya Pos. Program-program yang dijalankannya, disebut merugikan negara. Karena itu pada tahun 1811, Louis Bonaparte memanggilnya pulang. Jabatannya digantikan oleh Jan Willem Janssens. 

*Kawan-kawan bisa membaca reportase-reportase lain dari Alda Agustine Budiono, atau tulisan-tulisan lain tentang sejarah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//