• Narasi
  • Jejak Perpaduan Budaya Kuliner di Masa Hindia Belanda

Jejak Perpaduan Budaya Kuliner di Masa Hindia Belanda

Belanda membawa budaya kuliner mereka ke Hindia Belanda dan belajar tentang kuliner dari bumiputra. Pencampurannya melahirkan beragam hidangan yang kita kenal kini.

Alda Agustine Budiono

Pemerhati Sejarah dan Pengajar Bahasa Inggris

Gedung bekas toko Ellenbroek di Bandung. (Foto: Dokumentasi Alda Agustine Budiono)

14 Oktober 2023


BandungBergerak.id – Saya sering mendengar orang-orang berkata kalau belum makan nasi belum kenyang. Memang, nasi sudah menjadi makanan pokok rakyat Indonesia. Biasanya, nasi dihidangkan dengan berbagai lauk pauk seperti sayuran, ikan, atau daging, yang diolah menjadi bermacam-macam hidangan seperti semur, sup, atau tumisan. Ternyata cara penyajian seperti ini disebut rijsttafel (meja nasi), yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. 

Awalnya, orang-orang Belanda yang tinggal di Nusantara melihat penduduk lokal makan bersama menggunakan tangan, mengelilingi nasi dan lauk pauk. Karena mencium aroma masakan yang sedap itu, mereka ingin melakukan hal yang sama. Namun, mereka menyesuaikan cara makan ini dengan budaya Eropa, yaitu makanan dihidangkan di atas meja, bukan di lantai. Mereka juga makan sambil duduk di atas kursi, dan menggunakan alat-alat seperti sendok, garpu, dan pisau. 

Seiring berjalannya waktu, rijsttafel menjadi semakin eksklusif; menjadi pembeda antara orang Belanda dengan inlander.

Onghokham (1 Mei 1933-30 Agustus 2007), sejarawan Indonesia yang doyan makan, mengatakan bahwa bistik komplit dengan kentang dan sayuran, selalu disajikan. Hotel-hotel di Hindia Belanda pun mulai menyajikan hidangan rijsttafel, salah satunya Hotel Des Indes di Batavia. Di Negeri Kincir Angin sendiri ada restoran Bijenkorf, yang pada tahun 1931 memasang iklan sajian rijsttafel dengan menu kerupuk udang, nasi goreng, bami (bakmi), aneka sambal, kari Jawa, aneka minuman, juga manisan sebagai pencuci mulut (dessert). 

Menu nasi goreng dalam satu iklan restoran di Rotterdam Belanda. (Foto: Dokumentasi  Alda Agustine Budiono)
Menu nasi goreng dalam satu iklan restoran di Rotterdam Belanda. (Foto: Dokumentasi Alda Agustine Budiono)

Baca Juga: Kamp Interniran Jepang di Bandung, Bagian Sejarah yang Terlupakan
Jejak Berserak Nazi Jerman di Bandung
Prostitusi di Bandung Era Kolonial

Nasi Goreng

Salah satu hidangan yang paling populer saat ini, terutama di kalangan anak kos, adalah nasi goreng. Ternyata, hidangan ini sudah dikenal luas sejak masa Hindia Belanda. Banyak koekboek yang menuliskan berbagai variasi resep nasi goreng.

Di Indonesisch Kookboek: Selamat Makan terbitan Koninklijke Marine tahun  1999, ada resep-resep di antaranya nasi goreng slamatan (nasi anders dan anders), nasi goreng Balikpapan (gebakken rijst uit Balikpapan), dan nasi goreng ayam (gebakken rijst met kip). Bahkan hidangan ini ada dalam kenangan orang-orang Belanda di masa lalu. 

Wieteke van Dort, aktris kabaret yang bernama asli Louisa Johanna Theodora van Dort, mempunyai hubungan dengan Hindia Belanda karena lahir di Surabaya pada 16 Mei 1943, di masa penjajahan Jepang. Ketika berusia 13 tahun, dia dan keluarganya berlibur ke Negeri Belanda. Sayangnya, mereka tidak dapat kembali ke Indonesia setelah Proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945. Akhirnya keluarga van Dort menetap di Den Haag. Dia mengekspresikan kerinduannya pada masakan Indonesia dalam lagu Geef Mij Maar nasi goreng, di salah satu episode The Late late Lien Show. 

Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei (Beri saja aku nasi goreng dengan telur goreng)
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij (Dengan sambal dan kerupuk dan segelas bir).

Toko roti Tan Keng Chu, Cianjur. (Foto: Dokumentasi  Alda Agustine Budiono)
Toko roti Tan Keng Chu, Cianjur. (Foto: Dokumentasi Alda Agustine Budiono)

Roti

Tidak hanya nasi goreng, orang-orang Belanda di tanah jajahan pada waktu itu juga banyak makan roti. Selain disajikan dalam jamuan rijsttafel, roti juga menjadi menu sehari-hari di keluarga-keluarga Belanda. Majalah Pedoman Isteri edisi November 1934 menulis bahwa saat itu roti sudah menjadi bagian dari kuliner Indonesia, walaupun cara mengonsumsinya beda dengan orang Eropa. Roti menjadi menu sarapan atau dijadikan bahan pembuat puding.

Tentara-tentara Belanda yang bertugas di Hindia Belanda tidak makan nasi. Mereka makan roti yang disuplai oleh toko roti Tan Keng Chu, yang sudah berdiri sejak tahun 1926. Toko ini adalah pemasok roti tawar untuk tentara Belanda di seluruh wilayah Jawa Barat. Mulyana, generasi keempat pewaris toko roti ini, mengatakan bahwa pada waktu itu, tokonya bisa mengirimkan sampai 50 karung roti sehari. 

Di Bandung, dulu ada toko roti Ellenbroek, yang terkenal di era 1930an. Toko ini juga menjadi pemasok roti bagi tentara Belanda. Selain roti, toko ini juga menjual pastel goreng, kue tart, dan ontbijtkoek.

Pastel goreng isi udang (harnalenbrood) buatan toko ini istimewa karena lebih gurih dan renyah, serta lebih enak dimakan saat masih panas.Pastel goreng sudah bisa dibeli mulai sekitar jam 8.30 pagi. Sementara itu, roti sudah siap lebih awal, jam 6.00 pagi. Aroma roti, yang dipanggang dua kali, bisa tercium di sekitar Grote Postweg (Jalan Raya Timur, sekarang Jalan Ahmad Yani), dan Manggalaan (Jalan Mangga). Di awal tahun 1950an, toko roti ini dijual, karena si pemilik pulang ke Belanda. Lalu di tahun 1960an, pemilik baru ini membeli toko Hazes di Jalan Tamblong, yang sekarang dikenal dengan Rasa Bakery & Cafe. 

 Cover buku masak Hindia Belanda. (Foto: Dokumentasi  Alda Agustine Budiono)
Cover buku masak Hindia Belanda. (Foto: Dokumentasi Alda Agustine Budiono)

Sambal

Kalau roti memang menjadi salah satu makanan pokok orang Eropa, lain halnya dengan sambal. Fadli Rahman menulis dalam Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, bahwa saus pedas ini begitu populer pada akhir abad ke-19 di kalangan orang Eropa yang berkunjung ke Batavia. Mungkin ini sebabnya pembantu (baboe) yang ahli membuat sambal harganya lebih mahal.

Nyonya Cateneus van der Meijden, salah satu ahli kuliner di masa kolonial, dikenal dengan keahliannya memasak sambal. Resepnya yang paling terkenal adalah sambal oeloek dan sambal telur. Di dalam bukunya, “Makanlah Nasi!”, Mevrouw van der Meijden menulis resep gefarceerde lombok (frikadel cabe). Buku resep Indonesisch Koekboek juga memberi resep berbagai sambal, contohnya sambal trassi, sambal petis (sambal met garnalenpasta), sambal bawang (sambal met ui), dan sambal ketjap terlaloeh pedis (sambal ketjap erg heet). 

Tidak bisa disangkal bahwa makanan bisa menyatukan penjajah dengan yang dijajah. Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya Belanda membawa budaya kuliner mereka ke Hindia Belanda, juga belajar tentang kuliner dari orang bumiputra. Percampuran keduanya melahirkan berbagai hidangan yang kita kenal saat ini. 

Berikut adalah contoh resep Rolade Sapi (Rollad Sampi) seperti yang dimuat di majalah Doenia Istri, Agustus 1928. Sengaja ditulis dalam ejaan lama, supaya lebih otentik. 

Ambil dangingnja sampi moeda dipotong tipis dan sedikit lebar; banjaknja 10 lembar, beschuit dengan ketemoen atawa krai jang dipotong-potong aloes, datarion boemboe; lada aloes 2 sendok besar; pala aloes 1 sendok besar; tjengkeh aloes 1 sendok ketjil; mentega jang soeda dienjerken 2 sendok besar; ager-ager banjaknja boleh kira-kira. Ini semoea diboengkoes dengen daging tadijang lantas didjait rapet dan digoreng sama minjak slada delf sampe mateng, lalu ditoewangin anggur merah 2 glas besar, mentega 2 sendok besar, tjengke woengkoel 12 bidji, djikaloe itoe boemboe soeda meresap betoel lantas angkat. 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//