• Nusantara
  • Rumah Sakit Jiwa Pertama di Hindia Belanda Didirikan di Bogor

Rumah Sakit Jiwa Pertama di Hindia Belanda Didirikan di Bogor

Zaman Hindia Belanda sebelum ada rumah sakit jiwa, orang-orang yang dianggap mengalami gangguan mental ditangani oleh tentara.

Cikal bakal Rumah Sakit Jiwa dr. H. Marzoeki Mahdi di Bogor, Jawa Barat, zaman kolonial. (Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Penulis Iman Herdiana31 Maret 2023


BandungBergerak.idPenyakit gangguan jiwa terbilang masih asing pada zaman kolonial Hindia Belanda. Infrastruktur gangguan kesehatan mental ini jauh ketinggalan dibandingkan pelayanan kesehatan fisik. Seiring bermunculannya berbagai kasus gangguan jiwa, maka pemerintah kolonial pun mulai menaruh perhatian.

Mengutip artikel Juniawan Dahlan pada laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, Jumat (31/3/2023), fenomena gangguan jiwa mulai menarik perhatian pemerintah Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19. Saat itu, sebagian besar orang-orang yang dianggap mengalami gangguan mental memiliki kebiasaan sering menenggak arak, mengalami perilaku maniak, dan depresi berat.

“Bahkan orang yang cenderung menunjukkan sifat agresif dan sering menyakiti diri sendiri juga dikategorikan sebagai orang yang memiliki gangguan mental,” tulis Juniawan Dahlan.

Untuk mengatasi keterbatasan daya tampung, pemerintah kemudian merujuk pasien ke rumah sakit tentara. Namun tidak seperti di panti, penanganan pasien di dalam rumah sakit tentara terbilang sangat keras. Mereka ditempatkan dalam kamar yang mirip penjara. Jeruji besi terpasang di setiap kamar, pintunya sangat kokoh, dan dijaga ketat oleh penjaga. Bagi mereka, pasien gangguan mental dianggap berbahaya sehingga perlu penanganan lebih serius.

Jumlah pasien gangguan mental yang semakin bertambah ini membuat pihak militer ikut mengambilalih penanganannya. Keadaan tersebut berlangsung hingga pertengahan abad ke-19. Sampai kemudian muncul desakan untuk memperbaiki penanganan penderita gangguan mental sesuai dengan perkembangan ilmu kesehatan mental. Mereka pun mendesak pemerintah untuk membangun rumah sakit khusus penyakit jiwa.

Terdapat dua alasan penting mengapa pemerintah Hindia Belanda ingin mendirikan rumah sakit jiwa, yaitu: oertama, hasil sensus yang dilakukan pada tahun 1862 telah memperlihatkan kesimpulan tentang banyaknya pasien gangguan jiwa yang berkeliaran bebas di masyarakat. Sensus ini dilakukan oleh dr. G. Wassink, seorang kepala medis pemerintah Hindia Belanda.

Hasil sensus tersebut menyatakan bahwa 586 penduduk di Pulau Jawa termasuk ke dalam kategori “gila dan berbahaya” dengan 252 orang di antaranya ditampung di berbagai panti yang tersebar di kota-kota besar. Sementara itu alasan yang kedua adalah keyakinan bahwa penyakit jiwa dapat disembuhkan jika diberi perhatian dan perawatan yang layak.

Kemudian berdasarkan Besluit No. 100 tanggal 20 Desember 1865, Belanda menyetujui untuk mendirikan dua rumah sakit jiwa di Hindia Belanda dengan syarat rumah sakit yang kedua baru dapat didirikan setelah pembangunan rumah sakit yang pertama selesai. Untuk keperluan tersebut, ditunjuklah dua orang dokter Belanda yaitu dr. F. H. Bauer, seorang  psikiater dan dr. W. M. Smit seorang dokter Angkatan Laut Belanda untuk meneliti beberapa kemungkinan lokasi untuk pendirian dua rumah sakit jiwa tersebut.

Rumah Sakit Jiwa Buitenzorg

Buitenzorg (Bogor) kemudian dipilih sebagai lokasi pembangunan rumah sakit jiwa yang pertama zaman kolonial. Alasannya, hawa Bogor sejuk dan hijau. Selain itu letaknya pun sangat strategis karena dekat dengan jalan raya pos dan jalur kereta api. Jarak tempuh dari pusat ibu kota pemerintahan Hindia Belanda di Weltevreeden pun tidak terlalu jauh, ketimbang kota lain seperti Surabaya dan Semarang yang sempat ditinjau sebagai pembanding.

Sebelum memulai pembangunan rumah sakit jiwa di Buitenzorg, pada tahun 1868 dr. Bauer dan dr. Smit mempublikasikan hasil penelitiannya selama berada di Eropa. Mereka mulai memperkenalkan terapi modern untuk pasien ketebelakangan mental seperti terapi moral dan okupansi yang sesuai dengan standar internasional pada waktu itu. Namun, tidak semua orang menanggapi positif publikasi mereka.

Di balik itu semua, pembangunan rumah sakit jiwa tersebut dianggap sebagai pemborosan. Terlebih pula, di Belanda pasien rumah sakit jiwa yang berhasil sembuh hanya sekitar 30 persen saja. Sebagian besar dokter di Belanda bahkan menyebut bahwa pasien dengan keterbelakangan mental cukup dititipkan di rumah sakit umum atau tentara.

“Meski begitu, tekad dr. Bauer dan dr. Smit sudah bulat. Mereka tetap dengan pendiriannya untuk membangun sebuah rumah sakit jiwa terbesar di Hindia Belanda,” tulis Juniawan Dahlan.

Pada 1 Juli 1882 kemudian rumah sakit jiwa ini diresmikan dengan nama asli Krankzinnigengestich te Buitenzorg dan diresmikan oleh Direktur Department Onderwijs Van Eeredienst En Nijverheid. Saat itu jumlah pekerjanya 35 orang Eropa dan 95 pegawai bumiputra dan keturunan Cina. Rumah sakit ini berkapasitas 400 tempat tidur. Tidak seperti kebanyakan rumah sakit Belanda saat itu, rumah sakit jiwa ini tidak tidak membedakan latar belakang pasiennya. Terapi yang dilakukan terhadap tiap-tiap pasien sama.

Krankzinnigengestich te Buitenzorg merupakan rumah sakit jiwa pertama yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda dan merupakan rumah sakit jiwa terbesar kedua setelah Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, Jawa Timur. Pada masa pendudukan Jepang Rumah Sakit Jiwa Bogor digunakan sebagai penampungan tentara Jepang dan sebagian lain untuk tempat karantina penyakit menular.

Kini, bangunan rumah sakit jiwa pertama di Hindia Belanda tersebut masih kokoh berdiri. Fungsinya masih sama seperti waktu pertama kali didirikan. Hanya saja, saat ini rumah sakit ini tidak hanya melayani pasien dengan penyakit jiwa saja, namun pasien umum pun bisa berobat disini.

Rumah sakit tersebut saat ini bernama Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi. Marzoeki Mahdi merupakan dokter pejuang yang pernah menjadi direktur rumah sakit ini.

Baca Juga: Keluhan Warga Bogor dan Garut, Jalan Provinsi Jabar Rusak dan Berlubang
Ketimpangan Pembangunan di Jabar Selatan
Fragmen Kehidupan Raden Saleh Magang Melukis di Priangan

Dokter Pejuang Ahli Penyakit Jiwa

Juniawan Dahlan juga mengulas profil Marzoeki Mahdi yang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit, menggantikan nama Krankzinnigengestich te Buitenzorg yang kini berlokasi di Jalan Dr Semeru No 114 Kota Bogor.

Marzoeki Mahdi putra minang yang lahir di Kota Gadang, pada 14 Mei 1890. Ia masuk sekolah kedokteran STOVIA pada 9 November 1908 dan lulus pada 23 Mei 1918. Marzoeki Mahdi dikenal sebagai pelopor Gerakan Kesehatan Jiwa di Indonesia. Tak heran jika namanya tercatat pernah memimpin Rumah Sakit Jiwa Bogor. Sebanyak dua kali ia bekerja di RSJ Bogor, yakni 1924 dan 1932. Pada 1942, ia menjadi direktur RSJ Bogor dan pada 1945 menjadi inspektur kesehatan RSJ Bogor.

Selain aktif di bidang kesehatan, Marzoeki Mahdi juga tercatat sebagai tokoh pergerakan nasional Indonesia. Pada 1926 ia pernah dipercaya sebagai ketua Boedi Oetomo cabang Semarang. Setelah menjadi ketua Boedi Oetomo cabang Semarang, ia selanjutnya aktif menjadi tokoh pergerakan nasional di Bogor. Hal ini terjadi setelah ia bermukim di Bogor dan bekerja di Rumah Sakit Jiwa Bogor. Terlebih pula karena ia merupakan dokter lulusan STOVIA yang pelajarnya sudah terkenal kritis dan aktif dalam politik masa pergerakan nasional.

Marzoeki Mahdi juga akrab dengan salah satu tokoh Betawi yakni M.H. Thamrin. Pada saat M.H. Thamrin meninggal, Marzoeki datang untuk melayat.

Tidak hanya pada masa pergerakan nasional saja, Marzoeki Mahdi juga aktif pada masa perjuangan kemerdekaan. Pada surat kabar Gelora Rakjat terbitan 29 Desember 1945 diceritakan tentang peristiwa pertempuran di Bantenweg yaitu sekitar rel kereta api Stasiun Bogor yang melukai Kapten Tubagus Muslihat, seorang pejuang lokal. Tubagus Muslihat yang saat itu terluka parah diselamatkan oleh dr. Marzoeki Mahdi, meski pada akhirnya nyawanya tidak tertolong karena kehabisan banyak darah. Tubagus Muslihat pun meninggal disaksikan langsung oleh dr. Marzoeki Mahdi.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//