• Budaya
  • Fragmen Kehidupan Raden Saleh Magang Melukis di Priangan

Fragmen Kehidupan Raden Saleh Magang Melukis di Priangan

Raden Saleh semasa mudanya magang seni rupa di Priangan, tepatnya di Bogor dan Cianjur. Magang tersebut juga dilakukannya di Bandung.

Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro (1957) karya Raden Saleh, salah satu karya besar pelukis yang pernah magang di Cianjur. (Sumber Foto: Kemendikbud)*

Penulis Iman Herdiana24 Agustus 2022


BandungBergerak.id - Sejarah seni rupa di Jawa Barat membentang panjang sejak masa Raden Syarif Bustaman Saleh atau lebih dikenal Raden Saleh. Para seniman Eropa banyak yang berkiprah di Jawa Barat pada awal abad ke-19. Raden Saleh menjadi anak magangnya di Bogor dan Cianjur. Bahkan ada peneliti yang menyatakan Raden Saleh juga magang melukis di Bandung.

Desy Novita menuturkan Raden Saleh Sjarief Bustaman (lahir Torboyo sekitar Mei 1811-meninggal Bogor 23 April 1880) adalah bumiputra Jawa pertama yang mendapatkan privilese untuk belajar melukis di Eropa atas beasiswa pemerintah Belanda. Sejumlah penulis dan peneliti menyebut Raden Saleh sebagai ‘manusia modern’ Jawa pertama yang memiliki pola pikir ala Barat.

Raden Saleh menghabiskan 25 tahun masa hidupnya di Eropa (Belanda, Jerman, Prancis, Italia, Inggris) dalam pergaulan di kalangan elite aristrokat dan intelektual. Selain pelukis, Raden Saleh juga dikenal sebagai kolektor dokumen etnografi dan arkeologi, arsitek, paleontolog, perancang pertamanan, pendiri berbagai taman marga satwa, serta perancang busana.

Raden Saleh dilahirkan sekitar tahun 1811 di Terboyo, Semarang dalam lingkungan keluarga Jawa ningrat keturunan Arab. Karena ayahnya meninggal pada usia muda, Raden Saleh dididik pamannya yang ketika itu menjabat sebagai Bupati Semarang, Raden Adipati Suraadimanggala. Di rumah pamannya inilah minat Raden Saleh kepada kesenian tumbuh.

“Pada tahun 1819, Gubernur Jenderal van der Capellen mengajak Raden Saleh muda ke Bogor dan diantarkan kepada Professor Caspar Georg Carl Reinwardt untuk kemudian dititipkan pada pelukis Auguste Antoine Joseph Payen. Teknik melukisnya yang baik membuatnya kemudian tergabung bersama Payen dalam tugas penelitian Professor Reinwardt sepanjang 1819-1822,” tulis Desy Novita, dalam artikelnya di laman Kemendikbud, diakses Rabu (24/8/2022).

Akibat meletusnya Perang Jawa pada tahun 1825 di mana pamannya ditangkap pemerintah kolonial Belanda, Raden Saleh memutuskan tidak kembali ke Semarang namun tinggal di Cianjur setelah diterima pada dinas administrasi rendah pemerintah kolonial Belanda.

Raden Saleh, yang tumbuh mendambakan hidup di tengah peradaban Eropa, pada tahun 1829 berkesempatan mewujudkan mimpinya setelah menerima tawaran berangkat ke Belanda untuk bekerja pada Jean Baptiste de Linge, sekretaris keuangan pemerintahan kolonial Belanda. Setibanya di Antwerpen, Raja Belanda menyetujui beasiswa untuk Raden Saleh selama 2 tahun, yang kemudian beberapa kali diperpanjang.

Di Den Haag, Raden Saleh belajar pada Cornelius Kruseman (1797-1857), pelukis potret dan lukisan sejarah, serta Andreas Schelfhout (1787-1870), pelukis pemandangan alam. Ia kemudian berpindah dari kota ke kota di Eropa seperti Duesseldorf, Frankfurt, Berlin, Dresden, Coburg dan berakhir di Paris di mana ia meraih pencapaian tertingginya ketika lukisannya Berburu Rusa di Jawa diikutsertakan pada Pameran Salon tahun 1847 dan dibeli oleh Raja Louis Phillippe. Raden Saleh kembali ke Jawa pada tahun 1851 dan sempat kembali berkunjung ke Eropa pada tahun 1870.

Raden Saleh dalam sepanjang kariernya mengerjakan karya lukisan potret, pemandangan alam, dan tema-tema Romantik seperti perburuan binatang, badai di lautan, dan bencana alam. Karya-karyanya juga menyangkut kehidupan manusia dan binatang yang bergulat dalam tragedi.

“Walaupun berada dalam bingkai Romantisisme, namun tema-tema karya lukisannya bervariasi, dramatis, dan mempunyai elan vital yang tinggi,” kata Desy Novita.

Meskipun demikian, lanjut Desy Novita, Raden Saleh belum sadar (sepenuhnya) berjuang menciptakan seni lukis Indonesia, tetapi dorongan hidup yang diungkapkan tema-temanya sangat inspiratif bagi seluruh lapisan masyarakat, lebih-lebih bagi kaum terpelajar pribumi yang sedang bangkit nasionalismenya.

Magang di Cianjur

Keterangan bahwa Raden Saleh magang di Cianjur juga disinggung penulis budaya dan sejarah, Atep Kurnia, dalam seri tulisannya tentang Andries de Wilde. Atep Kurnia menggambarkan keadaan Cianjur pada abad ketika Raden Saleh berkiprah, berdasarkan catatan guru magang Raden Saleh, Auguste Antoine Joseph Payen (1792-1853). Payen menggambarkan Cianjur sebagai daerah yang penuh dengan pepohonan indah dan pemandangan air pada tempat terakhir layak dibuat gambar. Ia juga menyinggung bahwa Cianjur dekat dengan Sungai Citarum yang sangat besar dan mulai dapat dilalui perahu. Kotanya sebagian ada di tepi sungai yang satu dan ada di tepi lainnya.

“Di bagian Cianjur disebut Bayabang Cikalong dan sisi lainnya Bayabang Bandung, distrik batasnya. Sungai Citarum bersumber pada rangkaian Gunung Papandayan yang kawahnya mengeluarkan demikian banyak belerang. Muaranya di Karawang,” demikian catatan Payen yang dikutip Atep Kurnia.

Catatan tersebut ditulis Payen saat melewati Cianjur, Bayabang, Cikalong, Gunung Simpang, hingga Bandung pada 26 Oktober 1818. Setelah melanjutkan perjalanan, ia sempat berhenti di pos lalu turun hujan. Pukul 13.00, Payen tiba di puncak Simpang dan hujan masih mengucur deras. Katanya, “Profesor berujar ada lumbung yang bisa dijadikan tempat makan siang yang dibawanya ke sana;  pelipur bagi orang lapar”.

Menurut Atep, profesor yang dimaksud Payen saja merujuk kepada pelukis raja Belanda di Hindia dan nantinya menjadi guru menggambar Raden Saleh, yaitu C.G.C. Reinwardt (1773-1854). Reinwardt yang sejak 9 Juli 1810 sebagai guru besar kimia, farmasi, dan ilmu alam di Athenaeum Illustre, diangkat menjadi Direktur Pertanian, Ilmu Pengetahuan dan Seni Hindia Belanda pada 23 Oktober 1816.

Atep menjelaskan, pengangkatan Reinwardt bermula dari niat Raja Belanda Willem I untuk memperkenalkan peradaban barat ke Hindia Belanda. Oleh karena itu, sejak 1814, Willem melalui Menteri Dalam Negeri A.R. Falck menawari Reinwardt untuk pergi ke Hindia.

Tugas resmi Reinwardt, lanjut Atep, berkaitan dengan perdagangan, pertanian, geologi dan mineralogi, pendidikan, kesehatan, etnografi, dan teknologi baru turun pada 15 Januari 1815. Demi keperluan itu, Reinwardt membentuk tim yang terdiri atas A.J. Bik (ilustrator), Willem Kent (ahli kebun raya Harderwijk), dan nantinya ditambah J.Th. Bik (adik A.J. Bik) dan Payen. Rombongan Reinwardt berangkat dari Belanda pada 29 Oktober 1815 dan tiba di Batavia pada 23 Oktober 1816.

“Payen datang belakangan bertemu dengan tim Reinwardt setelah 7 September 1817. Mula-mula ia memenuhi undangan Gubernur Jenderal Baron van der Capellen dan sementara menetap di Istana Bogor, seraya berkoordinasi dengan Reinwardt sebagai pimpinan program muhibah telaah raja Belanda di Hindia,” tulis Atep.

Terpengaruh Perang Jawa

Cerita Raden Saleh magang di wilayah Jawa Barat sedikit diulas Peter Carey dalam “Raden Saleh Syarif Bustaman (sekitar 1811-1880) dan Perang Jawa(1825-1830): Sejarah Sebuah Keluarga Pembangkang”.

Peter Carey mengatakan, Raden Saleh ada di Cianjur ketika usianya masih 9 tahun (1820). Keberadaannya di Cianjur tidak lepas dari dampak Perang Jawa yang menimbulkan transisi politik yang brutal.

“Di Jawa Barat (Cianjur), yang jauh dari hiruk pikuk politik Jawa Tengah bagian selatan,Raden Saleh yang berumur sembilan tahun (1820) dan mulai magang sebagai pelukis dibawah arahan seniman kawakan Belgia, Antoine Auguste Joseph Payen (1792–1853), pastiterkena dampak transisi brutal yang melanda negerinya,” tulis Peter Carey.

Disebutkan bahwa kehidupan pribadi dan kiprah artistik Raden Saleh mempunyai persentuhan yang menarik dengan kiprah sang pemimpin Perang Jawa (Pangeran Diponegoro) walaupun mereka tidak sempat bertatap muka (Kraus, 2005:278– 288).

Peter Carey juga mengulas analisa pakar sejarah seni lukis modern Indonesia dari Prancis, Marie-Odette Scalliet yang pernah menulis secara jeli tentang tahun-tahun awal Raden Saleh sebagai pelukis magang di Bogor, Bandung, dan Priangan di Jawa Barat antara September 1820 dan Februari 1824 di bawah pengarahan Payen (Scalliet, 2005:152–162).

Disinggung juga mengenai kedekatan Payen dengan Raden Saleh. Bahwa bagi keluarga Raden Saleh, Perang Jawa adalah tsunami politik terutama ketika sepupu Raden Saleh, Raden Mas Sukur, bergabung dengan pasukan Diponegoro di Demak.

Peter menyebutkan bahwa Payen sempat menulis catatan di saat menjelang akhir pengepungan Yogyakarta (Agustus–September 1825) pada awal Perang Jawa. Saat Payen, yang dikepung oleh pasukan Diponegoro selama hampir sembilan minggu di ibukota kesultanan, diberi tahu bahwa Sukur telah “membelot” kepada “pemberontak” pada awal September, ia menulis dalam buku hariannya (16 September 1825).

Konon, pada waktu Perang Jawa meletus (20 Juli 1825), sang maestro (Raden Saleh) sedang tinggaldengan keluarga ayah angkatnya, Kiai Adipati Suroadimenggolo, di Torboyo, dan Payensampai mewanti-wanti saat Raden Saleh berkunjung ke sana sejak Juni 1824.

Saat itu, Payen akan berangkat dengan Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip van der Capellen (menjabat 1816–1826) untuk melakukan misi pelayaran keliling ke perairan Sulawesi dan Maluku selama setengah tahun (Juli-Oktober 1824).

Baru pada akhir September 1825, setelah pengepungan Yogyakarta diakhiri pasukan Belanda, Payen bisa pulang ke Bandung melalui Semarang dan bergabung lagi dengan muridnya—apakahPayen berjumpa Saleh di rumah keluarganya di Torboyo untuk di antar pulang ke Jawa Barat waktu dia bermalam disana pada 29/30 September tidak seluruhnya jelas.

Baca Juga: Spirit Andi Sopiandi dalam 15 Lukisan
Pameran Lukisan Mengenang Ropih
Lukisan Gaya China Tak Pudar Dihantam Pandemi COVID

Raden Saleh Sjarief Bustaman atau Raden Saleh (lahir Torboyo sekitar Mei 1811-meninggal Bogor 23 April 1880). (Sumber Foto: Kemendikbud)
Raden Saleh Sjarief Bustaman atau Raden Saleh (lahir Torboyo sekitar Mei 1811-meninggal Bogor 23 April 1880). (Sumber Foto: Kemendikbud)

Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro

Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro  (1957) disebut-sebut sebagai satu-satunya lukisan historis yang diciptakan sekaligus merupakan karya utama dari Raden Saleh. Kemendikbud mencatat, petunjuk sejarah pertama mengenai lukisan karya Raden Saleh ini tertulis dalam surat Raden Saleh yang ditujukan kepada Adipati Ernst II dari Sachsen-Coburg dan Gotha pada tanggal 12 Maret 1857.

Dalam surat tersebut tertulis, antara lain telah menyelesaikan sebuah lukisan historis, yang menggambarkan tentang penangkapan Kepala Suku Jawa, Dipanegara, yang saya lukiskan untuk Paduka Yang Mulia Belanda. Surat ini mengungkapkan keberanian Raden Saleh menawarkan lukisan kepada Raja Belanda yang menjajah tanah Jawa.

Pada awalnya Raden Saleh mendapat ilham komposisi lukisan historis Penangkapan Pangeran Diponegoro dari lukisan Pengunduran Diri Charles V karya Gallait yang menggambarkan bangkitnya kekuatan nasional yang sangat mendesak diperlukan banyak orang selama bertahun-tahun setelah invasi pasukan Jerman. Hal paling utama yang sejalan dengan komposisi lukisan Gallait adalah semangat kebangkitan nasional yang digambarkan oleh Raden Saleh sebagai bentuk kemarahan terhadap pengkhianatan Belanda (Krauss, 2012:78).

Karya lukisan yang berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro merujuk pada peristiwa nyata yang memang terjadi masa lalu. Lukisan ini merupakan respons dari lukisan Nicolaas Pieneman (1809-1860) yang ditugaskan untuk mendokumentasikan momen penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Pemerintah Belanda.

Ketika peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro (28 Maret 1830), Raden Saleh tengah berada di Eropa. Diduga Raden Saleh melihat lukisan Pieneman tersebut saat ia tinggal di Eropa. Perbedaan lukisan antara Raden Saleh dengan Pieneman ini dipandang sebagai rasa nasionalisme pada diri Raden Saleh.

Beberapa perbedaan penting antara lukisan Raden Saleh dan Pieneman:

  1. Pieneman menggambarkan Diponegoro dengan wajah lesu dan pasrah, Raden Saleh menggambarkan Diponegoro dengan raut tegas dan menahan amarah.
  2. Pieneman memberi judul lukisannya Penyerahan Diri Diponegoro, Raden Saleh memberi judul Penangkapan Diponegoro.
  3. Lukisan bendera Belanda yang dibuat oleh Pieneman tidak ditampilkan dalam lukisan karya Raden Saleh.

Raden Saleh mulai membuat sketsa lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro pada tahun 1856 dan menyelesaikan lukisan cat minyaknya setahun kemudian. Dia mengabarkan lukisan tersebut kepada temannya di Jerman, Duke Ernst II dari Sachsen-Coburg dan Gotha, dengan judul “Ein historisches Tableau, die Gefangennahme des javanischen Häuptings Diepo Negoro” (lukisan bersejarah tentang penangkapan seorang pemimpin Jawa Diponegoro).

Raden Saleh kemudian memberikan lukisan tersebut kepada Raja Belanda, Willem III, untuk menggambarkan pandangan Raden Saleh atas penangkapan Pangeran Diponegoro yang berbeda dengan pandangan Pieneman.

Pada tahun 1975 lukisan tersebut diserahkan kepada Indonesia oleh pihak Kerajaan Belanda bersamaan dengan realisasi perjanjian kebudayaan antara Indonesia-Belanda pada 1969.

Pada tahun 2013, lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro direstorasi pernisnya oleh Susanne Erhards, ahli restorasi dari Jerman, dengan dukungan Yayasan Arsari Djojohadikusumo dan Goethe Institute Indonesia. Pada tanggal 27 September 2013 dilakukan serah terima hasil restorasi lukisan Raden Saleh oleh Yayasan Arsari Djojohadikusumo kepada Sekretariat Negara. Pada Desember 2014 Lukisan ini dipindahkan dari Istana Merdeka ke Istana Kepresidenan Yogyakarta dan menjadi salah satu koleksi Museum Istana Kepresidenan Yogyakarta.

Lukisan karya Raden Saleh lainnya yang sering disinggung dalam literatur adalah Banjir di Jawa (1862) yang terinspirasi dari Rakit Medusa (1818) karya Theodore Gericault.

Karya-karya Raden Saleh dikoleksi oleh kolektor dan museum terpandang di Eropa hingga Amerika seperti Museum Louvre di Perancis, Rijksmuseum di Belanda, dan Smithsonian American Art Museum di Amerika Serikat. Galeri Nasional Indonesia juga memiliki koleksi beberapa karya Raden Saleh, salah satunya adalah Kapal Karam Dilanda Badai (c. 1840).

Selain melukis, Raden Saleh juga memiliki beberapa murid, di antaranya adalah Raden Salikin (putra dari saudara sepupu lelakinya), Raden Koesomadibrata dan Raden Mangkoe Mihardjo (keduanya adalah anak muda Sunda keturunan bangsawan).

Karya lukisan cat minyak Raden Koesoemadibrata dikoleksi oleh Tropenmuseum Amsterdam berupa potret Raden Wangsajuda, patih dari Bandung dan potret Raden Adipati Aria Kusumadiningrat, Bupati Galuh.

Sedangkan 21 lembar karya litografi Raden Mangkoe Mihardjo pernah dipamerkan pada Internationale Koloniale en Uitvoerhandel Tentoonstelling tahun 1883 di Amsterdam. Belakangan, Raden Soma dan Lie Kim Hok juga untuk beberapa waktu sempat menjadi murid Raden Saleh. Raden Saleh wafat di Bogor pada 23 April 1880.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//