• Narasi
  • Menelisik Cara Hidup Manusia pada Masa lalu di Asia Barat

Menelisik Cara Hidup Manusia pada Masa lalu di Asia Barat

Gigi akan mengalami keausan karena pemakaiannya untuk mengunyah makanan. Pola keausan gigi dapat menjadi petunjuk untuk rekonstruksi makanan suatu populasi.

Johan Arif

Peneliti Geoarkeologi & Lingkungan di ITB, Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Wilayah Fertile Cresent (FC). (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

22 September 2024


BandungBergerak.id – Cara yang lakukan oleh manusia untuk bertahan hidup adalah dalam hal asupan makanan. Makanan ini tentunya akan berdampak baik dan buruk bagi tubuh mereka. Tulisan ini mengenai cara hidup masyarakat dari zaman yang berbeda yaitu masyarakat pemburu-pemungut (hunter-gatherer) yang hidup pada zaman Epi-Paleolitik (Mesolitik) dan masyarakat yang berkembang pada zaman Neolitik pra-tembikar (PPN Awal) di Asia Barat.

Asia Barat disebut juga sebagai Near-East. Istilah "Asia Barat atau Near-East" sering digunakan oleh para arkeolog dan sejarawan ketika mereka menulis mengenai arkeologi prasejarah di kawasan Levant –yang dalam Sejarah Nabi dikenal sebagai Syam. Dalam wilayah Asia Barat ini ada kawasan yang di sebut Fertile Cresent (FC) yaitu dataran tinggi yang membentang mulai dari sebelah timur Irak menuju ke barat melewati Syria dan membelok ke arah Levant bagian selatan yang meliputi Lebanon, Israel, Palestina dan Yordania.

Wilayah Levant & Levant bagian selatan. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Wilayah Levant & Levant bagian selatan. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Fertile Cresent (FC) adalah suatu kawasan yang tanahnya subur di antara tanah-tanah yang gersang. Istilah Fertile Cresent (FC) ini dicetuskan pertama kali oleh arkeolog dari Universitas Chicago bernama James Henry Breasted, dalam bukunya Ancient Records of Egypt, yang diterbitkan tahun 1906. Nabi-nabi (& Rasul) keturunan nabi Adam as yang diceritakan dalam Al-Qur’an, banyak yang berasal dari kawasan Fertile Cresent (FC) ini, salah satunya adalah Nabi Isa as yang lahir di Betlehem, Palestina (lihat surat Al Mukminuun 23:50).

Fenomena perubahan iklim yang terjadi pada akhir zaman Plestosen Atas di belahan bumi utara. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Fenomena perubahan iklim yang terjadi pada akhir zaman Plestosen Atas di belahan bumi utara. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Manusia Natufian

Pada akhir zaman Plestosen Atas, budaya yang berkembang di Asia Barat, terutama di Levant bagian selatan dikenal sebagai budaya Epi-Paleolitik (Mesolitik). Para ilmuwan mengatakan budaya ini terdiri dari Epi-Paleolitik Bawah (EPB) dan Epi-Paleolitk Atas (EPA) yang juga disebut sebagai budaya Natufian, yang berkembang pada zaman Plestosen Atas-Holosen Bawah. Menurut Eshed, dkk. (2006), budaya Natufian terdiri dari tiga fase yaitu Natufian Awal (12,5-11,5 ribu tahun yang lalu), Natufian Tengah (11,5-10,7 ribu tahun yang lalu) dan Natufian. Akhir (10,7-10,3 ribu tahun yang lalu).

Aktivitas manusia Natufian adalah berburu dan bertani. Mereka berburu gazella (sejenis rusa) dan menanam tanaman berbiji. Oleh karena itu, budaya Natufian di kenal sebagai budaya peralihan dari cara hidup berburu-memungut (hunter-gatherer) ke budaya agrikultur di kawasan Levant. Budaya yang berkembang setelah budaya Natufian adalah budaya Neolitik pra-tembikar (pre-pottery) yang disingkat sebagai PPN Awal, terdiri dari PPNA (Pre-Pottery Neolitik A), PPNB (Pre-Pottery Neolitik B) dan PPNC (Pre-Pottery Neolitik C). PPNA dan PPNB berkembang pada masa akhir transisi Plestosen-Holosen dan PPNC berkembang setelah itu.

Diperkirakan, ada tiga fenomena perubahan iklim yang terjadi pada akhir zaman Plestosen Atas di belahan bumi utara yaitu LGM (Last Glacial Maximum), BA (Bølling-Allerød) dan YD (Younger Dryas). Bølling-Allerød yang berlangsung sekitar 14,7 hingga 12,5 ribu tahun lalu menyaksikan pemanasan global yang dramatis, penyusutan lapisan es yang sangat besar, kenaikan permukaan laut, dan suhu yang jauh lebih tinggi. Periode ini menandai berakhirnya glasiasi Würm. Bumi di belahan utara ketika YD berlangsung sekitar 12,5-11,5 ribu tahun lalu, mengalami penurunan suhu yang dramatis. Gelombang dingin yang berlangsung sekitar 1.000 tahun ini berakhir dengan dimulainya kembali kondisi yang lebih hangat. 

Keausan gigi. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Keausan gigi. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Jejak Penyakit pada Gigi

Dalam dunia paleo-antropologi untuk melihat bagaimana perubahan cara hidup (subsistence) dari suatu masyarakat kuno bisa dipelajari melalui kajian terhadap gigi yang meliputi antaralain keausan dan beberapa penyakit pada gigi. Penyakit pada gigi yang terkait dengan makanan digunakan oleh para antropolog di seluruh dunia, untuk menilai teknik dan persiapan makanan. Beberapa penyakit pada gigi tersebut adalah karies, calculus (karang gigi), periapical lession (abses) dan penyakit pada periodontium

Karies & calculus (karang gigi). (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Karies & calculus (karang gigi). (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Anderson (1965) mengatakan pola keausan gigi dapat menjadi petunjuk untuk rekonstruksi makanan suatu populasi. Gigi akan mengalami keausan karena pemakaiannya untuk mengunyah makanan. Karies adalah penyakit pada gigi yang disebabkan oleh bakteri. Calculus (karang gigi) adalah lapisan inorganik (mineral) yang menempel pada gigi. Pada orang yang masih hidup lapisan inorganik tersebut diselimuti oleh lapisan organik (bakteri), dan lapisan organik ini bisa menyebabkan penyakit pada gigi antaralain karies. Pada gigi orang yang sudah mati kumpulan lapisan inorganik ini akan terawetkan berupa suatu lapisan yang keras yang dinamakan calculus (karang gigi). Periapical lession (abses) adalah kerusakan di sekitar akar gigi. Jaringan yang memperkuat kedudukan gigi pada rahang atas dan bawah disebut periodontium. Penyakit pada periodontium ini disebabkan oleh bakteri yang berupa peradangan jaringan di sekitar gigi dan menyebabkan resesi tulang alveolar.

Penyakit pada periodentium. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Penyakit pada periodentium. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Dari hasil studi ini diperlihatkan bahwa: 1) Masyarakat Natufian menunjukkan tingkat keausan gigi dan penyakit periodontal yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat Neolitik para-tembikar. Tetapi, pola keausan gigi geraham (molar) pada masyarakat Neolitik pra-tembikar berbeda dengan pola keausan gigi geraham (molar) pada masyarakat Natufian. Pola unik keausan gigi pada masyarakat Natufian dapat disebabkan oleh konsumsi banyaknya makanan yang berserat, penggunaan alu dan lumpang dan penggunaan gigi sebagai "tangan ketiga"; 2) Baik masyarakat Natufian maupun masyarakat Neolitik pra-tembikar menunjukkan tingkat karies dan calculus (karang gigi) yang rendah. Tingkat keausan, calculus dan penyakit periodontal yang rendah merupakan ciri khas masyarakat yang bergantung pada perburuan.

Penggunaan gigi digunakan sebagai alat seperti saat membuat keranjang atau jaring ikan. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Penggunaan gigi digunakan sebagai alat seperti saat membuat keranjang atau jaring ikan. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Jadi, transisi dari masyarakat pemburu-pemungut (hunter-gatherer) ke masyarakat agrikultur di Levant tidak mendorong perubahan dalam kesehatan gigi. Secara umum menunjukkan bahwa masyarakat Natufian dan Neolitik pra-tembikar Levant mungkin berbeda dalam pengelolaan ekosistem mereka saja (misalnya, mengumpulkan versus menanam biji-bijian) dan perubahan dalam teknik penyiapan makanan dan penggunaan gigi untuk hal lain. Hal ini dapat menjelaskan banyak variasi kondisi gigi pada populasi sebelum dan sesudah revolusi pertanian.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel Johan Arif, atau tulisan-tulisan lain tentang Situs Geologi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//