BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Timur yang Gersang, Membutuhkan Banyak Pohon Peneduh
Bandung Timur lama dikenal sebagai kawasan gersang, berdebu, dan panas. Kurang tersentuh penataan.
Penulis Yopi Muharam23 September 2024
BandungBergerak.id - Cahaya matahari memantulkan sinarnya ke jalan aspal sekitar pedestrian depan kampus UIN SGD Bandung, Jalan AH Nasution (Cibiru), Kota Bandung, Rabu, 21 Agustus 2024. Muhamad Faizzal (23 tahun) mengerutkan keningnya menahan silau dan panas. Keringat merambat di antara raut wajahnya. Cuaca siang itu mencapai 32 derajat celcius. Puncak suhu terpanas di kota yang sudah lama kehilangan kesejukannya.
Faizzal merupakan mahasiswa tingkat akhir jurusan Sastra Inggris yang berdomisili di Manisi, Cibiru. Saat ini dia bekerja sampingan sebagai ojek online (ojol). Sesekali Faizzal mengeluhkan cuaca Kota Bandung yang makin panas. Faizzal menyebutnya cuaca yang anomali.
Sudah delapan bulan dia bekerja sebagai ojol. Perkuliahannya sudah habis. Dia tinggal menunggu jadwal sidang dan tanda tangan dari pembimbing yang sulit sekali dia temui. Sehari-hari ia biasa mangkal di depan kampus. Mahasiswa menjadi target utama dia.
“Makin panas. Beda sareng dulu mah. Dulu mah sateuacan covid masih sejuk-sejukna,” keluh Faizzal, yang tengah menyeruput minuman kemasan.
Sebagai ojol, Faizzal merasakan betul panasnya cuaca Kota Bandung. Meski kawasan rumahnya di Manisi berada di dataran tinggi Kota Bandung, tetapi dampak kenaikan suhu kota ini juga terasa. Tidak ada perbedaan menurut Faizzal antara rumahnya dan pusat kota yang dirindangi pepohonan.
“Terus, di pusat kota ge yang banyak pepohonan sudah kerasa panas,” lanjutnya.
Bandung Timur acap kali dicap sebagai kawasan gersang. Selain jauh dari pusat kota, kawasan ini sering menjadi jalur perlintasan warga baik pekerja maupun pelajar. Tidak adanya pepohonan rindang membuat kawasan Bandung Timur langsung tersorot paparan sinar matahari. Akibatnya banyak masyarakat Bandung Timur sering mengeluh kepanasan seperti Faizzal.
Tidak jauh dari tempat Faizzal mangkal, di antara deretan ruko terdapat penjual Thai Tea yang dikelola Dery Septian (34 tahun). Sudah lima tahun dia berjualan Thai Tea dan menetap di kawasan Cilengkrang. Sebelumnya, pada tahun 2014 Dery pindah ke Bandung dari domisili asalnya di Tasikmalaya. Awal merantau Dia menetap di Cijagra, Buah Batu. Alasan pernikahan, membuatnya pindah dan menetap di kawasan Bandung Timur.
“Panas pisan, a, aslina. Abi mulai (ngerantau) ke Bandung tuh dari tahun 2014. Masih keneh adem tuh. Pas pagi teh masih keneh aya embun di jalan teh. Kalau sekarang mah udah enggak ada,” keluh Dery, sembari menyiapkan dagangannya.
Namun, Dery merasa sudah terbiasa dengan hawa panas Cilengkrang. Hanya saja hal yang membuat risih dari panasnya Kota Bandung adalah tidak terawatnya selokan atau drainase. Selokan di depan ruko jualannya contohnya. Selain kering, solokan di kawasan Bandung Timur ini tidak terawat.
Dampak Cuaca Panas
Jam menunjukkan pukul 14.50 WIB. Sudah satu jam Faizzal beristirahat sembari menunggu orderan. Di tasnya ia selalu membawa tabung minum. Bukan tanpa alasan, menurunnya kondisi saat ini tubuh harus cukup nutrisi dan cairan.
Faizzal menarik penumpang mulai dari pagi hingga malam. Siang hari menjadi tantangan tersendiri bagi Faizzal dan pengemudi ojek online lainnya. Dampak dari cuaca ekstrem ini, menurut Faizzal bukan hanya menimbulkan kulit gosong, tetapi berdampak bagi kesehatan. Dia sering merasakan pusing ketika terjebak macet setelah narik seharian.
“Terus kan selain bikin gosong ke kulit jadi kerasanya teh makin pusing weh ke kepala,” ujarnya. “Kalalu pusing, amit-amitnya sampai pingsan di jalan kan bahaya juga. Itu teh berawal karena panas.”
Maka, untuk mengurangi dampak kepanasan ia sering bolak-balik ke rumah untuk mengisi tabung minum. Sehari dia bisa menghabiskan lima tabung minum. Artinya dalam sehari dia bisa lima kali bolak-balik ke rumahnya.
Menurutnya banyak ojol yang rentan mengalami dehidrasi hingga kelaparan. Lupa waktu untuk narik orderan hingga kurangnya cairan dalam tubuh dan telat makan menjadi salah satu faktor terpenting dalam menjaga kondisi tubuh. Hal itulah yang menjadi alasan Faizzal rela bolak-balik ke rumah untuk mengisi tabung minum.
“Sehari seliter mah ada. Jadi kalau misalkan bekal dari rumah, terus abis, ya tinggal balik dulu ke rumah buat isi air,” tuturnya.
Terkait pendapatan, Faizzal merasa tidak terpengaruh cuaca. Pendapatan Faizzal ditentukan dengan momen mahasiswa dan pelajar. Ketika masa libur kadang pendapatannya menurun. Tetapi di samping itu, faktor cuaca malah berpengaruh ke pribadinya sendiri. Banyak ojol lebih memilih untuk meneduh di siang hari ketika terik matahari sangat menyengat.
Baca Juga: BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Hareudang Menjalar antara Gang Kecil di Ciumbuleuit dan Punclut
BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Laris Manis Es Teh Gegerkalong Menandakan Bandung Semakin Panas
BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Lain Dulu Lain Sekarang, Dulu Halimunan Sekarang Keringatan
Alasan Bandung Panas
Suara klakson sesekali berbunyi di tempat Faizzal mangkal. Saat itu arus lalu lintas cukup padat, tapi belum puncaknya. Kemacetan parah biasa terjadi ketika jam pulang kerja dan sekolah. Kepadatan tersebut sudah biasa Faizzal rasakan. Namun baginya tetap saja ini adalah hal yang membuatnya resah. Bandung makin macet.
Faizzal menganalisis kepadatan populasi membuat Kota Bandung jadi panas. Kepadatan populasi artinya menambah kemacetan yang menyebabkan polusi ujar Faizzal. Dia bercerita, lima tahun ke belakang, Bandung masih berada di titik’ aman dari kemacetan. Saat ini jalanan sudah semerawut. Itulah yang sering dikeluhkannya.
“Dari lima tahun terakhir kendaraan teh asa makin banyak. Makin ke sini asa makin macet. Jadi kendaraan juga jadi penyebab salah satu kenapa Bandung teh makin kerasa panas, selain dari cuaca,” tutur Faizzal.
Begitupun yang dirasakan Dery, mereka sepakat bertambahnya populasi menjadi faktor penyebab panasnya Kota Bandung. Bahkan, di samping padatnya populasi, terdapat penyempitan ruang terbuka hijau dan berkurangnya pepohonan. Dery mengungkapkan pembangunan salah satu faktornya.
“Mungkin bertambahnya populasi atau pembangunan yang masif juga bisa jadi. Terus macet juga karena kan menghasilkan polusi,” terang Dery. “Dampakna mah kan pasti kerasa ke kita pasti terkena penyakit karena polusi.”
Berdasarkan hasil riset yang ditulis oleh Rizal Septiyani Ashari dalam skripsi berjudul Strategi Dinas Perhubungan dalam Menertibkan Parkir Liar Kendaraan Roda Empat di Kota Bandung (2021) terdapat 1.551.769 unit kendaraan bermotor di Kota Bandung. Artinya, melebihi setengah populasi penduduk Kota Bandung sebanyak 2.527.854 (BPS Jabar, 2022).
Faizzal berharap Pemerintah Kota Bandung lebih memperhatikan kawasannya. Selain berharap untuk mengatasi solusi kemacetan, dia berharap kawasan Bandung Timur bisa ditanami pepohonan peneduh.
“Penginnya mah Bandung teh dibikin sejuk lagi. Kaya dibikin atau ditanem pepohonan. Terus solusinya terkait kemacetan apalagi di kawasan bandung timur kalau sore itu kemacetan udah enggak terkendali,” harapnya.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yopi Muharam atau artikel-artikel lain tentang Bandung Tidak Lagi Berkabut