BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Lain Dulu Lain Sekarang, Dulu Halimunan Sekarang Keringatan
Kenaikan suhu Kota Bandung yang semakin panas dirasakan oleh warga yang tinggal di empat penjuru mata angin. Kesejukan Kota Kembang tinggal kenangan.
Penulis Nabila Eva Hilfani 20 September 2024
BandungBergerak.id - Ida (59 tahun) masih ingat betul suhu adem Kota Bandung di masa ia masih sekolah dasar (SD). Masa itu usianya baru 8 tahun. Ia sering berjalan kaki saat berangkat maupun pulang sekolah. Pada pagi hari, Bandung terasa dingin. Saat pulang sekolah siang harinya, Bandung masih sejuk karena pepohonan tumbuh subur, warna hijau dedaunan terjadi sepanjang mata memandang.
“Bandung dulu tuh terlihat hijau. Kemudian cuaca juga adem. Kalau terik juga ga terlalu terik, tapi hawanya nyaman saja buat masyarakat Bandung. Beda dengan yang sekarang, hingar bingar, panas,” cerita Ida, kepada BandungBergerak, 22 Agustus 2024.
Perempuan yang berprofesi guru BK ini lahir di Garut. Tetapi sejak bayi ia sudah tinggal di Kota Bandung. Ida tinggal di Cibiru, kawasan timur Bandung. Kegiatan mengajar mengharuskan ia sering menempuh jalur Cicaheum – Kiaracondong menggunakan sepeda motor.
Ida menyimak sekali perubahan yang terjadi di Kota Bandung. Suhu kota yang selama ini dikenal sejuk tinggal kenangan. Semakin hari Bandung kian panas. Hal ini membuat Ida khawatir.
“Ngerasain sih (panas Kota Bandung). Apalagi dua hari yang lalu. Jadi kenaikan suhu yang sekarang itu memang menjadi isu yang mengkhawatirkan. Jadi beda dengan Bandung yang dulu dikenal dengan udaranya yang sejuk. Sekarang mengalami perubahan yang signifikan dalam hal suhu,” terang Ida.
Ida membandingkan suhu Kota Bandung hari ini dengan suhu di daerah lain yang sering ia kunjungi, yaitu Karawang dan Jakarta Timur. Suhu di Jakarta Timur menurutnya justru lumayan sejuk karena masih banyak pepohonan.
“Kadang sepintas tuh kayak di Karawang (Bandung sekarang) gitu. Tapi kan kalau Karawang mah panas terus, di Bandung masih ada angin-angin, masih ada cuaca dinginnya, nanti panas lagi,” terang Ida.
Panasnya Kota Bandung hari ini membuat kebiasaan Ida berubah. Berbeda dengan dahulu, saat ini Ida lebih sering menggunakan pakaian berbahan tipis atau pakaian tanpa lengan jika sedang berada di rumah. Hal itu dilakukannya untuk mengurangi rasa panas yang selama ini ia rasakan. Bahkan ia terbiasa membuka pintu utama rumahnya sampai pukul 10 malam agar udara dingin masuk menyebar ke dalam rumah.
Ida menyebutkan wilayah terpanas dan tersejuk di Kota Bandung versi dirinya. Bandung Selatan menjadi wilayah paling panas. Sementara, wilayah tersejuk menurutnya ada di wilayah Bandung Utara. Selain itu bagi Ida, pukul 10 hingga 1 siang menjadi waktu-waktu terpanas yang ia rasakan saat ini.
“Panasnya Bandung sekarang ini banyak sebabnya ya. Ada perubahan iklim global, karena rumah kaca juga, kemudian yang itu tadi ada kontribusi dari iklim global juga yang berpengaruh ke Bandung,” kata Ida, menganalisa.
Pertumbuhan penduduk, kendaraan bermotor, alih fungsi lahan, dan fenomena el nino juga disebutkan Ida sebagai penyebab kenaikan suhu di Kota Bandung. Tambahnya lagi, wilayah hijau di Kota Bandung menjadi satu faktor lainnya yang membuat suhu Kota Bandung saat ini lebih panas.
Tinggal Masa Lalu
Untuk saat ini, rasanya sulit menemukan momen-momen Bandung yang berkabut dan berembun. Fenomena Bandung halimunan mungkin hanya bisa temukan di buku-buku sejarah Bandung atau dari lisan ke lisan.
Mongga (26 tahun), salah seorang generasi muda Bandung yang masih mengalami kota ini berembun di pagi hari. Pengalaman ini terakhir kali ia alami antara 10-12 tahun yang lalu! Dalam kurun waktu ini ia masih duduk di sekolah menengah pertama (SMP). Embun pagi yang sempat turun hingga ke permukaan tanah menjadi hal paling diingat oleh Mongga, karena saat itu dirinya seringkali melakukan aktivitas olahraga di pagi hari.
Mongga merupakan perempuan asal Cijambe yang bekerja di perusahaan swasta di Kopo. Hampir setiap hari ia menempuh waktu 1,5 jam perjalanan dari rumah di utara menuju tempatnya bekerja di selatan Kopo yang terkenal karena kemacetannya. Kendaraan roda dua menjadi tunggangannya sehari-hari.
Sekarang, Bandung tak lagi berembun. Semua itu digantikan dengan penggunaan kipas angin, konsumsi minuman dingin, dan menghindari keluar rumah jika terpaksa.
“Kalau ga terpaksa keluar mah aku juga ga mau keluar, karena bener-bener seterik itu,” tutur Mongga, menceritakan kondisi cuaca yang terutama ia rasakan di saat jam makan siang. Benar-benar hareudang.
“Nah, dulu aku gak terlalu suka air dingin justru, karena kayak udah minum air dari teko aja itu tuh udah cukup buat aku. Kalau sekarang tuh gak cukup gitu, harus air dingin,” lanjut wanita kelahiran Bandung ini.
Perubahan suhu Kota Bandung yang semakin ‘mendidih’ terutama dirasakan Mongga sejak lima tahun kebelakang.
“Ngerasain banget (panasnya Kota Bandung). Kalau misal dibandingin sama 5 tahun lalu Bandung tuh beda banget sama sekarang. Kalau sekarang tuh, aku pergi kerja itu kan aku di jalan tuh dari jam 9 sampai jam 10, itu tuh udah ngerasa kaya panas banget, panas terik gitu loh. Kaya kalau dulu mah panasnya tuh di jam 1 sampai jam 2, tapi sekarang tuh kaya lebih cepet gitu,” jelas Mongga.
Panas yang menyengat, semakin mudah berkeringat, dan kulit yang lebih terasa mudah terbakar menjadi tiga gambaran Mongga dalam mendeskripsikan suhu Kota Bandung hari ini.
“Kalau dulu jam 9 (pagi) tuh ngerasa masih adem gitu loh. Aku kan suka merhatiin kan tuh berapa suhunya. Suhu sekarang tuh bisa di 25-26 derajat. Kalau misalkan dulu aku ngerasainnya masih di 21-22 lah,” ceritanya.
Di masa lalu, Mongga jarang merasakan panas dan berkeringat. Aktivitas mandi cukup dilakukan sekali dalam sehari. Berbanding terbalik dengan hari ini yang banjir keringat setiap hari. Mandi pun tidak cukup sekali.
Fungsi jaket pun sekarang berbeda. Jika dulu jaket dipakai untuk menahan udara dingin, kini jaket berfungsi melindungi kulit dari terik surya. Produk-produk perawatan kulit yang dipakai Mongga juga berbeda. Ia akan memilih perawatan yang memiliki kandungan tabir surya.
Sama dengan Ida, Mongga menilai Bandung semakin panas karena terus bertambahnya volume kendaraan, berkurangnya lahan terbuka hijau, berkurangnya pohon-pohon di pinggir jalan, dan dan alih fungsi lahan.
“Contohnya ya di deket kantor aku tuh (Kopo) minim banget ya si pohonnya tuh. Aku ngerasa itu gersang panas, terik, pokoknya bener-bener ga ada pelindungnya. Nah sedangkan aku lewat jalan Supratman, di situ kan banyak pohon besar-besar kan, di situ tuh ngerasa adem aja kalau lewat situ,” katanya.
Panas yang Menusuk
Kenaikan suhu Kota Bandung juga dikeluhkan Galih (27 tahun), laki-laki yang sehari-hari berprofesi sebagai ojek online. Sebagai pekerja yang banyak menghabiskan waktu di jalan, Galih merasakan langsung kenaikan suhu Kota Kembang.
Galih masih mengalami kesejukan Kota Bandung di masa lalu ketika ia masih kecil. Waktu itu antara pukul 7 atau 8 Bandung masih menggigil. Ketika ia SMA sekitar 2015, suhu Bandung mulai menghangat.
“Sekarang, udah kayak jam 9 tuh udah mulai kerasa agak-agak panas gitu lho. Jam 10 tuh matahari udah mulai nyengat tuh biasanya. Jam 12 nya juga udah beda banget, bener-bener panasnya tuh sampai ke kulit tuh sampai kaya, ‘lu tau ga sih panas yang nusuk-nusuk gitu?’ nah kaya gitu,” terang Galih, 20 Agustus 2024.
Galih pria kelahiran Bandung yang kini tinggal di daerah macet Jatinangor. Sehari-hari ia banyak beroperasi di jalur Cibeunying-Dago. Perubahan suhu Kota Bandung yang dirasakan Galih mengubah beberapa kebiasaan hidupnya. Dulu ketika semasa sekolah, Galih memilih untuk menggunakan jaket tebal, bahkan berlapis untuk melindungi badan dari udara dingin. Saat ini Galih memilih menggunakan satu jaket dengan tujuan yang berbeda, yaitu melindungi dari sengatan matahari.
Bukan hanya soal penggunaan pakaian, perubahaan suhu Kota Bandung juga merubah kebiasaan Galih yang lainnya. Berawal dari kebiasaan mandi satu hari satu kali di sore hari menjadi mandi sehari dua kali.
“Gua dulu waktu SD, itu karena gua bangunnnya emang kebluk ya, gua tuh sering ke sekolah tuh gak mandi, karena emang sedingin itu Bandung pada saat itu. Belum lagi karena gua ngerasa udah bangun telat, kalau mandi kelamaan lagi. Biasanya gua mandinya malem,” ceritanya.
Salah satu pengalaman masa kecil yang amat membekas di benak Galih ketika ia masih menduduki kelas sekolah dasar di kawasan Regol. Waktu itu ia sering dibelikan kembang tahu, makanan cair yang rasanya mirip bandrek, oleh ayahnya.
“Dulu tuh zaman gua kecil tuh, pas udah nyampe sekolah, papah dulu sering beliin kembang tahu, karena waktu itu memang Bandung tuh sedingin itu. Kalau sekarang tuh kayak Dago kalau pagi,” cerita Galih.
Ayahnya sengaja membelikan kembang tahu agar Galih tidak kedinginan di sekolah. Apalagi saat berangkat sekolah, ia biasa duduk di jok motor depan.
“Jadi ada langganan bokap gua, tukang kembang tahu gitu, karena buat ngangetin badan gua. Karena gua selalu menggigil setiap sampe seolah,” jelas Galih.
Lain dulu lain sekarang. Tahun 2023 sampai 2024 menjadi tahun paling panas yang pernah Galih rasakan selama hidup di Kota Bandung. Bagi Galih Bandung Selatan menjadi wilayah terpanas dan Bandung Utara masih menjadi wilayah yang tersejuk yang ia rasakan.
Pembangunan yang semakin masif, berkurangnya jumlah pohon, pengalihan fungsi lahan, dan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang semakin tinggi diyakini Galih sebagai penyebab suhu Kota Bandung semakin meningkat.
Jumlah air yang diminum Galih pun semakin bertambah. Semula ia selalu membawa air minum sebanyak 600 ml, saat ini Galih membawa minum dengan jumlah 1 liter lebih. Galih mudah sekali merasakan haus. Air minum merupakan satu hal wajib yang harus tersedia ketika bekerja.
Baca Juga: BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Hareudang Menjalar antara Gang Kecil di Ciumbuleuit dan Punclut
BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Pengemudi Ojol Menembus Panas Jalanan, Malam Tak Perlu Lagi Selimut
BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Laris Manis Es Teh Gegerkalong Menandakan Bandung Semakin Panas
Menjamurnya Es Teh
Ngomong-ngomong soal air, meningkatnya suhu udara Kota Bandung bikin penjual minuman dingin menjamur, antara lain penjual es teh. Ya, es teh tidak hanya laku keras di kawasan Pantura yang panas. Di Bandung yang pernah selalu berkabut di pagi atau sore hari, penjualan es teh laku keras.
Suhu Kota Bandung yang semakin tinggi membuat penjualan es teh Akmal Abdurofi (22 tahun) meningkat pesat. Bahkan di saat musim dingin pun es teh Akmal tetap laku.
“Cuma kalau dagang gini kan ga bisa ditentuin kadang cuaca panas ya yang beli dikit. Kadang kebalik, cuaca lagi dingin yang beli banyak,” kata Akmal, yang berjualan di Balong Gede, 21 Agustus 2024.
Laki-laki yang tumbuh besar di Bandung ini menggambarkan bahwa suhu Bandung memang panas. Hawa terik sudah mulai ia rasakan sejak pukul 10. Sebagai penjual minuman dingin, Akmal juga gemar minum yang dingin-dingin. Padahal dulu ia jarang minum air es.
“Dulu jarang banget kalau minum air dinginan gitu. Kalau sekarang mah hampir setiap menit lah. Ya cuman sedikit-sedikit. Biar ga terlalu haus sama gerah aja sih, cuma itu doang,” tutur Akmal.
Akmal tinggal di daerah Pagarsih, kawasan di tengah Kota Bandung yang terkenal padat penduduk. Menurutnya, Kopo merupakan daerah paling panas di Kota Bandung. Sebab, di selatan Bandung tersebut minim sekali pohon dan tingginya tingkat polusi udara.
Akmal yakin, berkurangnya jumlah pepohonan di Bandung menjadi penyebab suhu kota ini meningkat. Jumlah pohon di Kota Bandung memang jauh berkurang. Menurut data DPKP3 Kota Bandung yang diakses Selasa (5/4/2023), kondisi hutan Kota Bandung benar-benar kritis. Saat ini jumlah pohon pelindung di Kota Bandung sebanyak 229.649 pohon. Idealnya jumlah pohon yang ada di Kota Bandung sebanyak 40 persen dari jumlah penduduk.
Penduduk Kota Bandung pada 2022 berjumlah 2.452.943 jiwa (BPS Kota Bandung 2022). Jadi jumlah pohon yang dibutuhkan sebanyak 981.177,2 pohon atau hampir 1 juta pohon. Secara teoritis jumlah ini akan cukup untuk meneduhkan Kota Bandung khususnya dalam menetralkan udara panas matahari.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Nabila Eva Hilfani, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT