• Liputan Khusus
  • BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Pengemudi Ojol Menembus Panas Jalanan, Malam Tak Perlu Lagi Selimut

BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Pengemudi Ojol Menembus Panas Jalanan, Malam Tak Perlu Lagi Selimut

Menghilangnya ruang terbuka hijau karena tergerus pembangunan dan meningkatnya jumlah kendaraan menjadi penyebab Kota Bandung semakin panas, hareudang.

Pemandangan Kota Bandung minim ruang terbuka hijau (RTH) dengan latar asap polusi, 3 September 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Ivan Yeremia18 September 2024


BandungBergerak.id - Kota Bandung semakin panas. Fenomena ini terutama dirasakan oleh para pekerja yang sehari-hari menggantungkan hidup di jalan. Kenaikan suhu udara ini diperparah dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kendaraan. Bawaan naiknya suhu cenderung mudah menyulut emosi penduduk Kota Kembang ini.

Dalam situasi tersebut, para pekerja yang sehari-hari menghabiskan waktu di jalan tak punya pilihan selain tetap bekerja. Situasi ini sudah biasa dialami Sandy Nur Samsika (36 tahun), seorang pengemudi ojek online. Ia menjadi saksi panas diningnya Kota Kembang selama hidup di jalan.

“Kalau untuk di pikiran saya yang namanya sejuk itu kondusif untuk ke rumah gitu (dapur rumah ngebul). Masalah rumah yang ketutup adalah cara adem bagi saya,” ungkap Sandy, ditemui BandungBergerak di Lapangan KPAD, Gegerkalong, 21 Agustus 2024.

Dari banyaknya pengalaman bekerja di lapangan, Sandy bercerita bahwa banyak perubahan yang ia rasakan mengenai suhu di Kota Bandung. Menurutnya suhu di Kota Bandung ini semakin panas, apalagi ia memang suka melihat informasi suhu dan cuaca Kota Bandung baik memalui papan informasi di jalan maupun melalui media sosial.

Walaupun terjadi kenaikan suhu yang semakin panas tetapi secara pribadi Sandy tidak merasakan hal tersebut ketika mengendarai sepeda motor. Ia merasa angin di jalan membantu untuk menyeimbangkan panasnya suhu. Sandy membedakan pekerjaan yang memang konstan diam di tempat terbuka dan yang membutuhkan mobilisasi. Ia merasa pekerjaan yang diam di suatu tempat terbuka pasti akan meraskan suhu yang lebih terik dibandingkan dengan para pekerja yang melakukan mobilisasi seperti ojek online.

“Tapi Bandung memang lebih adem dibanding Karawang, Semarang, Jakarta,” ungkap Sandy.

Sandy juga menyimak berita soal pemanasan global (global warming) yang menyebabkan suhu di Kota Bandung menjadi semakin panas. Namun, ia tidak mengetahui lebih dalam mengenai masalah iklim yang saat ini terjadi.

Sandy telah menjadi driver sejak tahun 2017 dan setia pada satu aplikasi yaitu Gojek. Sempat menjadi kenek truk dan pengantar galon air, kini Sandy fokus menjadikan pekerjaan ojek online sebagai sumber penghasilan utama.

Selama bekerja menjadi driver ojek online Sandy tidak pernah memiliki waktu kerja yang menentu. Ia memiliki kebebasan jam kerja, tergantung keinginannya kapan mau bekerja. Meskipun tidak memiliki waktu operasional yang tetap, Sandy bertekad untuk bekerja selama 12 jam.

“Misalkan kalau saya keluar pukul 9 pagi saya off jam 10 malam. Ya intinya saya komitmen untuk kerja 12 jam,” ungkap Sandy.

Sandy memilih memulai jam kerjanya sesuai jam kerja kantor pada umumnya, jam 8 pagi sampai jam 6 sore. “Kan ga akan kena cuaca malam, kedinginan. Pulangnya magrib,” ucapnya.

Baca Juga: BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Laris Manis Es Teh Gegerkalong Menandakan Bandung Semakin Panas
DATA SUHU KOTA BANDUNG 1979-2023: Tidak Lagi Dingin, Semakin Panas Setiap Tahunnya
Data Lengkap Perubahan Suhu Rata-rata Kota Bandung 1975-2020, Bertambah 3 Derajat Celcius dalam 46 Tahun!

Kendaraan bermotor melintas di Jalan Asia Afrika, Bandung, 3 September 2024. Menurut iqair.com, indeks kualitas udara Kota Bandung pada sore hari tergolong tidak sehat dengan skala132 AQI US, polusi udara PM2.5 atau 9,6 kali di atas ambang batas panduan kualitas udara WHO. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Kendaraan bermotor melintas di Jalan Asia Afrika, Bandung, 3 September 2024. Menurut iqair.com, indeks kualitas udara Kota Bandung pada sore hari tergolong tidak sehat dengan skala132 AQI US, polusi udara PM2.5 atau 9,6 kali di atas ambang batas panduan kualitas udara WHO. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Pulang ke Bandung

Di tempat yang tak jauh dari Sandy, ada seorang penjual sushi yang baru berjualan selama 3 minggu. Yudhi Adriansyah (36 tahun) mengaku baru berjualan setelah keluar dari tempat kerjanya yang lama. Ia meniggalkan pekerjaan lamanya yang telah ditekuni lebih dari 7 tahun di salah satu yayasan konservasi di Jambi karena ingin lebih dekat dengan keluarga.

Setelah hidup 7 tahun di Jambi, Yudhi merasakan ada perbedaan antara Bandung dulu dan masa kini. Bandung semakin ramai dan semakin padat. Jika dulu ia keluar rumah jam 7 pagi jalanan masih cenderung sepi, maka kini jam setengah tujuh saja sudah ramai kendaraan.

Selain itu penjual Sushi yang berjualan karena ingin mengubah citra sushi yang mahal ini mengaku ada perubahan suhu dari Bandung yang dulu terkenal sebagai kota sejuk.

“Dulu mah jam 10 jam 11 masih adem. Sekarang mah aduh malas keluar jam segitu apalagi dengan kepadatan lalu lintas. Kalau lagi di bawah stopan dan lama bawaannya jadi emosi,” ungkap Yudhi.

Yudhi mengenang masa mudanya di bangku SMP ketika berlibur ke Lembang dan Ciwidey yang menurutnya menjadi kenangan indah saat Bandung masih sangat sejuk. Bahkan kini dataran tinggi seperti Lembang hanya akan terasa sejuk di pagi dan malam hari.

Di rumahnya Yudhi, kawasan Gegerkalong, ia sudah tidak lagi menggunakan selimut di malam hari. Hal yang sangat bertolak belakang dari apa yang dirasakannya di masa lalu saat ia sering menggunakan selimut.

“Sekarang mah aduh, hareudang-lah kalau orang Sunda bilang. Malam juga suka hareudang. Kadang malah buka jendela biar angin masuk,” ungkap Yudhi.

Menurut Yudhi, kepadatan kendaraan dan ruang terbuka yang semakin sedikit akibat pembangunan menjadi alasan perubahan cuaca dan kenaikan suhu yang terjadi di Kota Bandung. Ia menyebut, dalam satu rumah sekarang ada yang memiliki 3-4 motor.

Dengan demikian, meskipun Bandung daerah dataran tinggi tetap saja akan terasa panas penggunaan kendaraan terus melonjak. Mengenai pembangunan di sekitar tempat tinggalnya, Yudhi bercerita semakin sedikit menjumpai ruang terbuka. Zaman ia SD atau SMP, setiap RT atau RW akan memiliki lapangan untuk anak-anak bermain. Hal itu berbanding jauh dengan apa yang ada sekarang.

“Sekarang kan anak-anak mau main bola aja harus bayar lapangan futsal,” ugkap penjual sushi dengan harga murah tersebut.

Meski demikian, kenaikan suhu yang terjadi di Kota Bandung tidak berpengaruh kepada pekerjaannya sebagai penjual sushi. Namun, Yudhi merasa bahwa ada perbedaan kenyamanan yang dirasakannya. Selain itu, kenaikan suhu berpengaruh kepada aktivitas liburannya bersama keluarga.

“Sabtu kan saya libur. Nah kalau istri ngajak jalan tuh, kalau di atas jam 10 saya ga mau pergi. Pilihannya mau pagi atau sore sekalian,” ujarnya.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain dari Ivan Yeremia, atau artikel-artikel lain tentang Suhu Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//