Back to Nature Uchi Parfume Menghadirkan Edukasi tentang Lingkungan Hidup
Diskusi tentang lingkungan yang digagas Uchi Parfume membahas perlakuan terhadap sampah yang sudah menjadi masalah dunia.
Penulis Muhammad Wijaya Nur Shiddiq 4 Oktober 2024
BandungBergerak.id - Upaya melestarikan alam dapat dimulai dengan langkah-langkah terkecil yang dimulai dari kemauan diri sendiri. Semangat peduli lingkungan tersebut berusaha dibangkitkan oleh Uchi Parfume dalam program ‘Truck Expedition’ bertajuk ‘Back to Nature.’ Tema ini mengaitkan eksperimen aroma melalui alam yang tentunya juga diiringi dengan edukasi tentang nilai-nilai ekologis.
Acara yang diselenggarakan 28 September 2024 di Uchi Parfume, Jalan Gatot Subroto, Bandung ini menghadirkan Regi dari lembaga komunitas Eco Camp, Fibio sebagai pendiri dari lembaga nonpemerintah Masihan, dan Siska Nirmala selaku aktivis lingkungan ‘Zero Waste Adventure’. Ketiga pembicara ini memiliki caranya masing-masing dalam menjaga kelestarian lingkungan serta meningkatkan kesadaran tentang alam.
“Zero waste ini sebenarnya sederhana, hanya kita saja yang membuat ribet,” ujar Siska ketika menjelaskan perannya mengedukasi masyarakat tentang pemilahan sampah.
Siska telah menerapkan gaya hidup nol sampah sejak tahun 2012. Sebagai pegiat lingkungan dengan hobi mendaki, Siska menjadikan kegemaran tersebut sebagai saluran baginya untuk mempraktikkan gaya hidupnya sekaligus memberikan contoh bagi sesama pendaki, pun lapisan masyarakat lainnya.
“Kalau komunikasi dengan teman-teman pendaki, aku berbicara soal teknis; bagaimana menghitung kalori makanan tanpa kemasan, tapi kalau ngobrol sama ibu-ibu, kita berbicara soal membuang minyak jelantah, popok sekali pakai; lalu dengan teman-teman komunitas kita diskusi soal bagaimana membuat event minim sampah,” papar Siska, menyebut pendekatan edukasinya sebagai ‘edukasi dari balik meja konsumsi’. Dalam mengkonsumsi makanan pun, ujarnya, memiliki banyak hal yang perlu dipikirkan agar sampah yang diproduksi minim.
Siska mengungkapkan cara komunikasi lainnya adalah melalui kolaborasi. Mengedukasi para pendaki gunung tidak dapat dilakukan sendiri. Beberapa tahun terakhir, Siska telah menjalankan kampanye nol sampahnya dengan merangkul berbagai komunitas dan lembaga. Dengan demikian, lapisan masyarakat yang dapat dijangkau menjadi lebih luas. Tidak hanya masyarakat luas sebagai target kampanye, Siska pun menyebutkan bahwa berbagai brand yang sempat berkolaborasi dengannya kemudian mengedukasi para karyawannya tentang zero waste.
“Meskipun teman-teman bergerak sebagai individu, kalo kalian konsisten, suara kalian itu bisa nyampe; bisa didengar oleh pemerintah atau pihak lain selama komitmennya kuat,” kata Siska.
Siska kemudian mengatakan bahwa konsep gaya hidup nol sampah sejatinya sama saja dan tidak hanya dapat diterapkan ketika mendaki gunung. Siska menyoroti edukasi soal ‘memperlakukan sampah’.
Menurutnya, selama ini pandangan kita terhadap sampah adalah sebagai sesuatu untuk dibuang; padahal tidak lagi ada tempat untuk sampah. Hal yang kemudian dapat kita lakukan adalah memilah sampah sesuai dengan jenisnya, lalu disimpan di tempat-tempat yang dapat mengolah limbah tersebut. Siska berujar bahwa kebanyakan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sekarang sudah melebihi kapasitas, sehingga tanggung jawab untuk memilah sampah terdapat di kita sendiri.
Komunitas Masihan
Kepedulian terhadap lingkungan yang dicontohkan oleh Siska pun ditunjukkan oleh komunitas Masihan yang didirikan oleh Fibio. Organisasi ini merupakan wadah para pemuda untuk bergerak memberikan manfaat bagi masyarakat melalui lima core values: pendidikan, sosial, lingkungan, kesehatan, dan inklusivitas. Masihan memiliki visi untuk menerapkan zero waste dalam seluruh programnya secara jangka panjang.
Dalam pemaparannya, Fibio menunjukkan bahwa permasalahan sampah merupakan isu yang lekat dengan pencemaran udara. Upaya untuk bergerak meningkatkan kemawasan terhadap masyarakat menjadi penting. Pemahaman mengenai pemilahan sampah, menurutnya, adalah privilese yang tidak semua orang miliki.
Di Indonesia sendiri, sedari awal, pemilahan sampahnya tidak dikelola dengan baik. Merujuk pada buku How to Avoid a Climate Disaster, Fibio mengatakan bahwa sampah organik, apabila tidak dikelola, berkontribusi pada hampir 70 persen gas emisi yang mencemari udara.
Hal yang perlu ditekankan bersama, menurut Fibio, adalah pengelolaan sampah bersumber dari isu efisiensi. Sampah bukan untuk ditumpas, namun untuk dikurangi penggunaannya. Menurutnya, andil orang muda di level akar rumput kemudian menjadi penggerak utama dalam mengubah gaya hidup minim sampah.
Senada dengan pendapat Fibio, Siska Nirmala juga mengungkapkan bahwa Indonesia perlu ‘melompat generasi’ agar pengolahan sampahnya bisa sejajar dengan negara-negara maju. Tidak dapat dipungkiri lagi, pengolahan sampah adalah isu global yang semakin menyorot perhatian. Kemajuan negara-negara dunia pertama dalam mengelola limbahnya pun tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang terberi. Siska mengatakan, banyak dari negara tersebut mengekspor sampah-sampahnya kepada negara-negara berkembang.
Namun di tengah permasalahan tersebut, Siska melihat bahwa pendekatan bottom-up yang diadopsi oleh banyak komunitas di Indonesia melalui bank-bank sampahnya merupakan upaya yang lebih ‘maju’ dan perlu ditingkatkan. Manajemen sampah sejatinya memiliki tiga pemangku kepentingan yang berperan penting, yaitu pemerintah, ilmuwan, dan komunitas. Melalui komunitas, celah pemerintah dalam isu lingkungan dapat diisi oleh peran komunitas. Satu hal yang perlu ditingkatkan, menurutnya, adalah edukasi manajemen sampah di level akar rumput.
Baca Juga: Mengeksplorasi Rasa dan Aroma Kopi, Teh, dan Rempah dalam Main Aroma Series #1
Menyelami Jatuh Perjalanan Aska Rocket Rockers, Bob Anwar, dan Wanggi Hoed di Main Aroma Series #3
Eco Camp
Edukasi di level akar rumput ini juga menjadi hal yang digerakkan oleh Eco Camp. Regi mengungkapkan terdapat tiga koridor pengolahan sampah yang diterapkan komunitasnya. Pertama, adalah upaya minimalisasi sampah dan kemasan sekali pakai. Kedua, adalah memperpanjang ‘waktu hidup’ sampah dengan memakai barang-barang yang masih bisa diperbaiki. Ketiga, yaitu pengolahan kembali sampah menjadi produk yang berguna.
Permasalahan sampah hingga saat ini menjadi permasalahan pelik yang tidak dapat terselesaikan selama belum ada insentif nyata dari pemerintah maupun kesadaran masyarakat. Dalam wawancara yang dilakukan terhadap Siska, ia berpendapat bahwa pengelolaan TPA umumnya inefisien dan mahal, sehingga manajemen sampah sebaiknya dilakukan secara desentralisasi di level akar rumput.
Ujung permasalahan tersebut kembali berada di individu. Di sisi lain, produsen pun memiliki tanggung jawab untuk merubah kemasan agar minim sampah. Siska pun mengungkapkan usaha pribadinya, yaitu Toko Nol Sampah, berangkat dari kegelisahan pribadi yang bermula dari perjalanan zero waste-nya. Dengan memberi contoh kepada masyarakat luas, orang-orang kemudian menjadi tertarik, dan hingga saat ini, ia menjadikan kegiatan kepetualangan sebagai sarana edukasi manajemen sampah.
*Artikel ini merupakan bagian dari kerja sama BandungBergerak dengan Uchi Parfume