Pilkada Labusel, Kita Mau Menagih Kebijakan Apa?
Pertarungan Pilkada Labusel menampilkan politik yang khas populisme. Pasangan calon akan bertarung melalui bahasa untuk merayu para pemilih agar nanti dipilih.
M Hakim
Pegiat Ruang Ekspresi (Klub Belajar Sosial-Politik) dapat dihubungi di Instagram @naufihakiim atau di X @Nlmuhammad
14 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Apa kalian mengenal Robespierre, Stalin, Hitler, Lenin, Mussolini? Mereka adalah representasi dari sekian banyaknya pemimpin yang dihasilkan dari pergulatan ide dan konflik. Proses mereka sebelum menjadi pemimpin sungguh mendebarkan. Istilah populernya adalah revolusi.
Dalam revolusi, keadaan sosial menjadi chaos. Rakyat terpecah bahkan konsekuensinya adalah banyak korban jiwa yang berjatuhan, perusakan bangunan, dan perampasan wilayah.
Tujuan dari revolusi adalah mengubah keadaan sosial dan menggantikan pemimpin yang sebelumnya telah menindas (korupsi, kemiskinan, kekerasan, dan sejenis lainnya).
Dengan demikian, sungguh mulia bukan tujuan dari revolusi itu. Kendati saat dilakukan ia menghasilkan paradoks. Tapi begitulah hukum sosiologi bekerja, bila keadaan sosial telah memburuk maka dengan sendirinya rakyat akan mengaktifkan kesadarannya.
Akan tetapi sialnya terkadang kesadaran rakyat justru hanya dijadikan ajang manfaat oleh para pemimpin yang sudah disebutkan di atas tadi untuk menjadi penindas yang baru.
Padahal rakyat sudah berkorban. Mulai dari mengeluarkan: uang, makanan, minuman, kematian, tenaga, waktu, untuk dipersembahkan kepada pemimpin revolusi tersebut. Tapi begitulah, sekali lagi, ketika revolusi dimenangkan alih-alih rakyat mau menagih perbaikan sosial ke para pimpinan revolusi, namun tidak jarang yang mereka dapatkan adalah kerusakan sosial bahkan lebih parah dari pemimpin sebelumnya. Ajaib bukan?
Baca Juga: Dilema Pencalonan Artis dalam Pilkada Bandung Barat
Unboxing Pilkada Jawa Barat, Partisipasi Gen Z dan Milenial Menentukan Arah Politik Daerah
Apakah Pilkada Kita Terjebak dalam Populisme dan Bagaimana Keluar dari Jebakan tersebut?
Apa yang Hendak Ditagih ke Mereka?
Sebagai konteks dalam memilih pemimpin, tadi sudah diberikan sedikit keterangannya. Bahwa pemimpin yang dihasilkan dari dukungan rakyat yang tulus (revolusi rakyat) itu masih rawan buat disalahgunakan ketika berkuasa. Apalagi calon pemimpin yang dari awalnya mungkin sudah menghalalkan segala cara untuk menang, seperti melakukan menyuap dukungan partai politik, menyuap pemilih dengan uang, dan menyuap peralatan demokrasi (KPU, Bawaslu, Polisi, Dinas Pemerintahan, Jaksa, dll.). Dengan demikian, kita mau menagih kebijakan apa bila mereka berkuasa? Sementara, sebelum mereka berkuasa sudah menunjukkan kecurangan. Apalagi jika berkuasa, mungkinkah mereka tak curang?
Karena itu, pada 27 November 2024, Kab. Labuhanbatu Selatan (Labusel) akan turut juga menggelar Pilkada Serentak di Indonesia. Dalam Pilkada Labusel, ada tiga calon bupati (Cabub) atau pemimpin yang akan bertarung. Fery Syahputra, Ari Wibowo, dan Gandhi. Ketiganya dapat dikatakan adalah calon bupati Labusel yang relatif baru, dalam artian formal bukan petahana (incumbent).
Selintas kontestasi itu tampak menarik di permukaan, karena petahana sudah memutuskan untuk menarik diri tak turut berkontestasi lagi. Dengan demikian, pertarungan Pilkada Labusel itu akan menampilkan politik yang khas populisme.
Populisme adalah suatu pendekatan politik yang punya klaim anti kemapanan. Artinya setiap calon pemimpin yang baru akan cenderung melakukan pendekatan hal yang demikian. Terlepas mereka sadar atau tidaknya, namun pendekatan itu memang sungguh tangguh dalam merayu suara pemilih. Namun risiko menggunakan pendekatan itu bisa menyebabkan rakyat muak dan benci, apabila sang calon gagal dalam memenuhi janji-janji kampanyenya. Seperti kasus-kasus pemimpin yang sebelumnya tadi sudah ditulis.
Hari ini kita sudah disuguhkan dengan pendekatan yang populisme. Lihatlah Fery Syahputra, ia menggunakan bahasa “Bangun” dalam promosinya. Lalu Ari Wibowo dengan “Arah Baru” dan Ghandi Siregar dengan “Ceria.” Melalui bahasa itu, tentu ke semua calon ingin bertujuan untuk merayu para pemilih agar nanti dipilih dalam TPS.
Artinya, jika bahasa para Cabub itu dibaca secara kontras maka selama ini keadaan Labusel itu dapat dikatakan “Tertidur”, “Terbelakang”, dan “Menyedihkan.” Tentu konteksnya itu berorientasi ke Bupati Labusel saat ini, yakni Edimin (2021).
Miris sekali bukan? Tapi begitulah. Yang namanya politik pertama-tama ia akan bertarung melalui bahasa. Seperti ungkapan dari Hannah Arendt (1906-1975), politik adalah bahasa dan bahasa adalah politik. Inti dari politik adalah tindakan (action). Persoalannya, tindakan politik apa yang mau ditagih ke para Cabub itu?
Oleh karenanya, dalam kesempatan kontestasi pemilihan bupati Labusel ini, entah mengapa saya mencermatinya belum sungguh radikal. Kenapa? Pertama, para calon yang ada belum memberikan tanda-tanda yang kuat untuk menggugat derasnya gelombang “money politics” yang sedang menghampiri alam pikir politik Indonesia hari-hari ini.
Kedua, saya belum melihat lontaran evaluasi sosial yang ditampilkan oleh para Cabub tersebut selama 16 tahun Labusel berdiri sebagai kabupaten (2009). Padahal rakyat menunggu evaluasi itu buat ditampilkan ke ruang publik, supaya terjadi refleksi sosial dan menimbulkan kritik. Bagaimanapun, politik adalah kritik dari politik sebelumnya. Dan kritik itu dihasilkan dari penyelaman ilmu pengetahuan, bukan karena benci dan iri.
Maka dari itu, mungkinkah kita dapat menyaksikan keadaan Labusel akan semakin tumbuh progresif, bila proses pertandingannya saja sudah penuh dengan keganjilan karena tanpa adanya laporan keuangan yang dipampangkan secara transparan dari Cabub yang ada.
Apalagi dapat dikatakan, rakyat hari ini sedang mengalami political fatigue (kelelahan politik). Alih-alih mayoritas rakyat mau bersolidaritas memberikan dukungan ke para Cabub dalam bentuk uang, waktu, gagasan, minuman, makanan secara sukarela, bila hari ini mereka dapat sesuatu (saya tak sebut amplop dan sembako) dari setiap perkumpulan bersama para Cabub, ternyata dapat bisa membuat rakyat sedikit berenergi. Karena energi mereka sudah terkikis habis diakibatkan oleh sistem politik dan kebijakan pemerintah yang tidak inklusif.
Jadi, sekali lagi, kita mau menagih kebijakan apa ke mereka? Mungkinkah ada terobosan yang dapat mereka lakukan di sela-sela merebaknya praktik politik uang?
Mungkinkah?
Mungkinkah kita bisa menagih pendidikan yang berkualitas ke mereka? Mungkinkah kita bisa menagih kesehatan yang berkualitas ke mereka?
Mungkinkah mereka mengatasi persoalan konflik agraria? Mungkinkah mereka mengatasi persoalan hak asasi manusia? Mungkinkah mereka mengatasi persoalan kemiskinan? Mungkinkah mereka mengatasi persoalan kekerasan seksual? Mungkinkah mereka mengatasi persoalan lingkungan? Mungkinkah mereka mengatasi persoalan hukum? Dan silakan Anda tambahkan tagihan kebijakan lainnya...
Mungkinkah? Kalau mungkin, apa konsep besar di belakang mereka? Sosialis atau kapitalis? Supaya kelihatan determinasi pikirannya, bukan hanya sekadar mengumbar retorika, apalagi beretorika tanpa dasar logika yang kuat.
Bagaimanapun, seorang pemimpin Labusel harus punya wawasan dan bacaan yang luas. Supaya ia mengenali pikiran dasar tentang semua hal yang mendasar. Bahkan, ia harus paham global politics untuk menentukan posisi apabila terjadi situasi genting, meskipun hanya menjadi pemimpin daerah (bupati).
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang pilkada