Dilema Pencalonan Artis dalam Pilkada Bandung Barat
Mencalonkan artis untuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) dapat dibaca sebagai upaya pragmatis partai politik untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan.
Iqbal Yanuar Ramadhan
Warga Bandung Barat yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Program Sstudi Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)
1 Agustus 2024
BandungBergerak.id – Seiring gelaran Pilkada Serentak yang semakin mendekat, warga Bandung Barat disodori beberapa figur yang diproyeksikan akan maju sebagai calon Bupati Bandung Barat. Uniknya, dari sekian banyak nama besar yang akan berkontestasi, setidaknya ada tiga nama yang memiliki latar belakang artis. Hengky Kurniawan dari PDIP, Jeje Ritchie Ismail dari PAN, dan Gilang Dirga dari Partai Demokrat. Tercatat Hengky Kurniawan masih belum mendapat rekomendasi resmi dari partai, ia masih harus bersaing dengan Pamriadi untuk mendapatkan rekomendasi tersebut. Sementara itu, Jeje dan Gilang telah mendapat rekomendasi dari masing-masing partai pengusungnya. Terbaru, Gilang Dirga bahkan kabarnya sudah akan dideklarasikan untuk mendampingi Didik Agus Triwiyono dari PKS.
Kehadiran dari para artis di bursa calon kepala daerah bukanlah hal yang keliru secara hukum. Faktanya, hak memilih dan hak untuk dipilih adalah hak konstitusional yang dilindungi oleh hukum. Siapa pun berhak untuk diajukan dan dipilih kelak dalam Pilkada Bandung Barat. Sepanjang ia telah memenuhi syarat yang ditentukan. Artinya, para artis yang digadang-gadang mencalonkan diri, selama ia memenuhi syarat, maka pencalonan dirinya adalah sah dan tak dapat diganggu gugat. Meskipun begitu, perlu disadari bahwa pencalonan para artis untuk maju dalam Pilkada dapat menjadi hal yang tidak ideal manakala calon ini tidak memiliki kesiapan untuk memimpin suatu daerah.
Penulis percaya bahwa untuk mengukur kesiapan seseorang untuk memimpin suatu daerah sekurang-kurangnya bisa dilihat dari jejak rekam pengabdiannya kepada masyarakat. Permasalahannya, tiga artis yang penulis sebut, dirasa kurang meyakinkan jika ditinjau dari sepak terjangnya.
Jeje dan Gilang misalnya, diketahui baru mulai merintis karier politiknya dua tahun belakangan ini. Jeje resmi menjadi kader PAN pada tahun 2023 dan mencalonkan diri menjadi calon anggota DPR RI di Daerah Pemilihan 2 Jawa Barat. Sementara Gilang mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR RI dari partai PPP di Dapil 1 Jakarta. Keduanya diketahui sama-sama belum terpilih. Sementara itu, Hengky Kurniawan memang memiliki modal berupa pengalaman sebagai wakil bupati dan bupati Bandung Barat. Meskipun begitu, capaian yang ditorehkannya selama memimpin di Bandung Barat tidaklah mencolok. Misalnya saja, dalam masa kepemimpinannya angka kemiskinan di Bandung Barat justru meningkat. Pada tahun 2018 angka kemiskinan di Bandung Barat adalah sebesar 159,03 ribu jiwa dan pada tahun 2023 angka kemiskinan justru melonjak di angka 179,43 ribu Jiwa (BPS Bandung Barat, 2024).
Baca Juga: Hitung-hitungan Biaya Pilkada Jabar, KPU Diingatkan Hati-hati dalam Penggunaan Dana
PILGUB JABAR 2024: KPU Merilis Tahapan dan Jadwal Pilkada, Ribuan Anggota PPK dan PPS Dilantik
Tahapan Pilkada Serentak 2024 Jawa Barat, KPU Sedang Memutakhiran Data Pemilih
Pragmatisme Partai Politik
Melihat jejak rekam yang demikian maka rasa-rasanya tidaklah berlebihan apabila kita perlu khawatir atas kondisi ini. Kekhawatiran ini terutama ditujukan kepada partai politik kita hari ini. Pasalnya fenomena ini penulis lihat sebagai simtom dari penyakit yang diderita oleh partai politik.
Penyakit pertama adalah pragmatisme politik. Pragmatisme politik menurut Yuliwati (2019) merupakan suatu upaya untuk mencapai keinginan dalam berpolitik dengan menempuh cara atau jalur yang bersifat jangka pendek dan menguntungkan. Dalam konteks Pilkada, proses kandidasi dan partai, maka pragmatisme politik ini dapat diterjemahkan ke dalam upaya untuk memilih calon yang populer dalam rangka mencapai kemenangan. Penulis menyadari bahwa mengambil langkah pragmatis dalam politik adalah hal yang sah. Bagaimanapun politik bicara tentang upaya untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Mencalonkan artis untuk Pilkada dapat dibaca sebagai upaya pragmatis untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Pasalnya, mereka sudah memiliki modal berupa tingkat popularitas yang cukup tinggi. Menimbang statusnya sebagai artis memberikan eksposur yang cukup tinggi. Meskipun begitu, jangan pula dilupakan bahwa politik memiliki dimensi untuk mencapai kebaikan bersama. Untuk itu, memilih calon pemimpin tidak sekedar bicara mengenai popularitas saja. Lebih jauh daripada itu, memilih orang yang dirasa paling mampu untuk menghadirkan kebaikan bersama tersebut.
Penyakit kedua adalah kegagalan kaderisasi partai. Dalam hemat penulis, kebutuhan pragmatis untuk mengajukan calon yang berlatarbelakang artis merupakan ekses dari kegagalan kaderisasi di tubuh partai. Dalam hal ini, jika partai memang serius untuk memproyeksikan kadernya menjadi calon pemimpin, maka seharusnya sudah sejak jauh hari mereka mempersiapkan kadernya untuk kepentingan tersebut. Mereka perlu menempa kader partainya dan memberikan panggung sedemikian rupa agar kader dapat menjadi figur yang populer dan berkualitas. Pada akhirnya, karena partai tidak mampu melakukan hal tersebut, partai mengambil jalan pintas untuk mengambil figur populer dari luar partai untuk berlaga di kontestasi Pilkada. Suatu langkah yang pada akhirnya semakin memperburuk kaderisasi partai. Pasalnya, kader-kader yang telah berproses lama di partai tidak mendapat kesempatan untuk mencalonkan dirinya.
Menjadi Pemilih Berkualitas
Dinamika dalam proses kandidasi memang jauh dari kata usai. Nama-nama yang keluar hari ini masih belum pasti akan diusung oleh Partai. Proses tawar menawar dalam koalisi nantinya yang akan menentukan siapa yang akan berkontestasi dalam gelaran Pilkada nanti. Di sela-sela proses itu, kita sebagai pemilih perlu untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi gelaran Pilkada ini.
Kita harus menjadi pemilih yang berkualitas. Menjadi pemilih yang berkualitas artinya tahu betul apa aspirasi kita sebagai warga Bandung Barat. Dengan mengetahui kebutuhan tersebut, maka kita dapat mengidentifikasi calon pemimpin yang dirasa memiliki visi misi yang sesuai.
Menjadi pemilih berkualitas juga artinya memilih dengan pertimbangan yang matang. Memilih dengan kesadaran penuh bahwa calon yang akan dititipkan amanat oleh kita adalah orang yang terbaik. Melalui kesadaran penuh itu, kita dapat membentengi diri dari berbagai praktik politik lacur yang hanya menghadirkan rasa suka dan puas sesaat. Hal ini penting untuk dilakukan, mengingat mengurus kabupaten Bandung Barat dan memilih pemimpin tidaklah sebercanda itu. Ada 1,89 juta jiwa warga Bandung Barat yang menggantungkan nasibnya untuk lima tahun ke depan dari proses ini.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang pemilu, atau tulisan-tulisan lain tentang politik