• Berita
  • PILKADA JABAR 2024: Pilihlah Pemimpin yang Menghormati Kelompok-kelompok Rentan dan Minoritas

PILKADA JABAR 2024: Pilihlah Pemimpin yang Menghormati Kelompok-kelompok Rentan dan Minoritas

Kelompok-kelompok rentan dan minoritas di Jawa Barat diharapkan menggunakan hak pilihnya untuk memilih pemimpin yang berpihak pada demokrasi dan keberagaman.

Jaringan Antarumat Beragama (Jakartarub) berkolaborasi dengan KPU Kota Bandung menyelenggarakan sosialisasi dan pendidikan pemilih di aula Sinode GKP, Jalan Raden Dewi Sartika, Kota Bandung, Selasa, 29 Oktober 2024. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam30 Oktober 2024


BandungBergerak.id - Rakyat Indonesia akan menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) Gubernur, Wali Kota, dan Bupati secara serentak 27 November 2024. Namun, ada sejumlah tantangan bagi rakyat Indonesia untuk memilih pemimpin populis yang memihak kepada masyarakat minoritas, seperti penganut kepercayaan, teman difabel, dan perempuan. Setiap pemimpin terpilih akan melahirkan kebijakan yang berpengaruh kepada kelompok-kelompok rentan.

Menanggapi hal tersebut, Jaringan Antar Umat Beragama (Jakartarub) berkolaborasi dengan KPU Kota Bandung menyelenggarakan sosialisasi dan pendidikan pemilih di aula Sinode GKP, Jalan Raden Dewi Sartika, Kota Bandung, Selasa, 29 Oktober 2024. Sosialisasi ini menghadirkan dua narasumber, Wawan Gunawan, direktur Jakartarub tahun 2008, dan Bayu Mochamad dari Bawaslu Kota Bandung.

Di acara yang dihadiri berbagai organisasi masyarakat dari lintas agama, Wawan Gunawan menerangkan terkait pentingnya memilih pemimpin daerah. Seluruh audiens diharapkan menggunakan hak pilih sebaik-baiknya. Sebab pemilihan pemimpin ini akan menentukan kebijakan bagi seluruh masyarakat di daerah baik di provinsi, kota, maupun kabupaten selama lima tahun ke depan.

Bukan tanpa alasan Wawan menyerukan agar masyarakat menggunakan hak pilihnya. Ia melihat fenomena yang kerap dijumpai oleh masyarakat minoritas ialah sulitnya mendirikan rumah ibadah. Untuk itu, masyarakat minoritas harus memilih pemimpin yang berani mengambil keputusan terkait pendirian rumah peribadatan.

“Misalnya dalam kehidupan ibadah, keputusan dan keberanian (untuk mengizinkan mendirikan rumah peribadatan) itu ada di pimpinan daerah,” tutur Wawan. “Nah, jangan sampe kita malah marah saat ada  kebijakan politik yang tidak sesuai dengan kita, tapi kita tidak terlibat dalam proses politik (pemilu),” lanjutnya.

Lebih dari itu, dia menyarankan agar memilih pemimpin yang menghormati kemajemukan. Sebab, semua masyarakat mempunyai hak untuk memilih kepercayaan yang dianutnya. Pemimpin daerah harus bisa menaungi mereka yang selama ini termarjinalkan.

Terkait kampanye, Wawan juga mewanti-wanti agar tidak terjerumus kepada politik sara atau politik identitas. Ada hal yang paling penting daripada politik, yaitu saling menjaga persatuan. “Kita harus berpikir soal persatuan. Kita memilih cuma lima menit, tapi persatuan kita selamanya,” tegasnya. Wawan tidak ingin adanya perpecahan seperti di pemilu tahun 2019, di mana isu agama sangat kental.

Jaringan Antarumat Beragama (Jakartarub) berkolaborasi dengan KPU Kota Bandung menyelenggarakan sosialisasi dan pendidikan pemilih di aula Sinode GKP, Jalan Raden Dewi Sartika, Kota Bandung, Selasa, 29 Oktober 2024. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Jaringan Antarumat Beragama (Jakartarub) berkolaborasi dengan KPU Kota Bandung menyelenggarakan sosialisasi dan pendidikan pemilih di aula Sinode GKP, Jalan Raden Dewi Sartika, Kota Bandung, Selasa, 29 Oktober 2024. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Demokrasi yang Ideal

Dalam menjunjung tinggi nilai demokrasi, kemajemukan antarumat menjadi hal yang paling dasar untuk dihormati. Pemimpin yang mempunyai wewenang, harus pula tegas dalam mengambil keputusan yang adil. Tidak memandang sebuah ras, suku, bahkan agama.

Menurut Wawawan, ada tiga syarat untuk menuju demokrasi berkualitas. Pertama, harus berdiri di atas kemajemukan antarumat. Pemerintah harus mampu membuat kebijakan yang merata untuk bisa dirasakan oleh semua masyarakat. Apa pun agama atau sukunya, rakyat tetaplah rakyat.

“Tapi katanya Kristen juga rakyat? Tapi mau bikin gereja susah,” tuturnya. “Nah jadi semua rakyat seharusnya bisa hidup di negara ini dengan aman,” lanjutnya. Maka dari itu, dia menekankan berulang kali untuk memilih pemimpin yang menghormati kemajemukan. Nilai demokrasi berkualitas sendiri berkaitan dengan penghormatan terhadap perbedaan.

Syarat kedua, kata Wawan, adanya semangat menghormati kaum minoritas. Selama ini kaum minoritas sering kali dimarjinalkan, diabaikan, dan dilupakan, bahkan nasibnya dipersulit. Wawan mengutip perkataan Gusdur, Presiden RI ke-4, bahwa syarat demokrasi adalah adanya afirmasi terhadap minoritas.

“Jadi kalau kelompok minoritas sudah terlindungi berarti kualitas demokrasi kita udah bagus,” ujarnya.

Wawan menyebut selama ini kelompok minoritas sering tertinggal, tidak diperhatikan, bahkan sering jadi korban. Makanya kelompok minoritas disebut kelompok rentan.

Bahkan, kelompok rentan ini sering dijadikan indeks keberhasilan negara dalam mencapai demokrasi berkualitas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). “Karena kelompok adat (rentan) sering ditinggalkan. Kaya di Australia begitu, di Amerika sering kaya gitu, bahkan di Indonesia juga sering gitu,” lanjutnya.

Syarat terakhir ialah adanya penegakan hukum yang baik. Wawan menegaskan bahwa masyarakat tidak bisa dibebaskan begitu saja. Karena jika dibebaskan, tidak akan saling menghormati. Setiap orang punya ego sendiri-sendiri.

“Jadi harus dibikin aturan. Aturan adalah kesepakatan. Jadi demokrasi itu harus berdiri di atas aturan yang sehat. Jadi pilihlah pemimpin yang mengadopsi peraturan-peraturan yang baik,” lanjutnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Annisa Nurlatifah, anggota Himpunan Mahasiswi (Himi) Persis yang mengatakan bahwa pemimpin daerah harus berbasis kesetaraan. “Menurutku pemimpin yang ideal itu yang berbasis kesetaraan gender atau disabilitas dan orang-orang minoritas,” ujarnya.

Baca Juga: PILKADA JABAR 2024: Pemilih Pemula di Bandung Menghadapi Para Kandidat tak Dikenal
PILKADA JABAR 2024: Nomor Urut Para Kontestan Pilgub Jabar 2024, Pilwalkot Bandung 2024, Pilbup Bandung 2024, Pilbup Bandung Barat 2024
PILGUB JABAR 2024: Para Kandidat Belum Serius Menggarap Sektor Energi Bersih Berkeadilan

Tantangan Melawan Oligarki

Pilkada adalah buah dari demokrasi yang harus dirawat. Wawan menceritakan sistem pemerintahan dari zaman kerajaan atau monarki, di mana masyarakat tidak bisa memilih secara bebas untuk menentukan pemimpin. Kebijakan hanya ditentukan oleh raja yang diklaim sebagai perpanjangan tangan dari dewa. Rakyat dilarang membantah titah dewa.

Namun sistem kerajaan sudah tidak relevan di zaman sekarang. Rakyat sudah sadar bahwa tanah negara adalah milik rakyat. Bukan milik kerajaan. Makanya, terciptalah sistem demokrasi hasil pemikiran para filsuf untuk diterapkan oleh negara. Wawan menegakkan, demokrasi merupakan konsep yang ideal bagi kehidupan bernegara.

Demokrasi tidak lepas dari tiga lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga lembaga berwenang menciptakan aturan hingga mengelola anggaran. Namun, Wawan mewanti-wanti bahwa siasat kerajaan yang ingin menguasai seisi negara masih menghantui demokrasi. Siasat ini disebut oligarki.

“Tapi ada juga kekuatan masa lalu yang takut jika negara berada di tangan rakyat,” ucapnya. Mereka, lanjut Wawan, menentukan orang yang berada di DPR, yudikatif, dan eksekutif yang masih memiliki golongan kekeluargaan. 

Elite politik yang membangun politik dinasti disebut oligarki. Oligarki, menurut Wawan adalah godaan bagi demokrasi. Para oligarki dapat menjadi tantangan bagi negara yang menganut sistem demokrasi. “Kekuatan keluarga kecil yang ingin mendominasi pilar-pilar demokrasi,” Wawan menyebutnya.

Menyoal Kampanye

Di sisi lain, perwakilan dari Bawaslu Kota Bandung, Bayu menerangkan terkait peraturan dan regulasi pilkada 2024. Bahkan dia juga menjelaskan tentang alat peraga kampanye (APK) berbentuk baliho dan bendera yang sering dijumpai di jalan-jalan Kota Bandung sampai mejadi polusi mata, bahkan merusak estetika kota.

Menurutnya hal tersebut sudah diatur di Keputusan Komisi Pemilihan Umum  Kota Bandung Nomor 260 tahun 2023 tentang penetapan lokasi pemasangan alat peraga kampanye. APK yang dipasang di trotoar, taman, gelanggang olah raga, hingga jembatan layang adalah legal.

Bahkan dia juga menjelaskan bahwa ada APK yang dilarang dipasang di jalan-jalan tertentu, seperti: Jalan Asia Afrika, Jalan Tamansari, Jalan Siliwangi, Jalan R.A.A Wiranatakusuma, Jalan Pajajaran, Jalan Wastukencana, Jalan Aceh, Jalan Pahlawan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Supratman, dan Jalan Diponegoro.

“Jika sahabat-sahabat (panggilan kepada audiens) melihat ada APK yang ada di jalan-jalan tersebut jangan segan-segan untuk melaporkan kepada kami,” terangnya. Ia akan menindak setiap pelanggaran kampanye.

Bayu juga menjelaskan bahwa APK seperti merchandise sudah diatur batas harganya maksimal 100 ribu rupiah. Jika lebih, menurutnya bakal ada tindakan tegas dari Bawaslu berupa peringatan administrasi, bahkan pidana.

“Karena ini termasuk pelanggaran administrasi bahkan bisa berujung pidana karena dianggap money politic. Yang dipidana ini bisa berlaku bagi si pemberi dan si penerima,” jelasnya.

Terkait pembagian sembako pun sama dan bisa termasuk ke ranah politik uang. Dalam kampanye seharusnya tidak ada pemberian dalam bentuk uang. Tidak hanya itu, selama proses kampanyenya pun para pendukung pasangan calon dilarang arak-arakan atau konvoi di jalan raya. “Di pilkada dalam pelaksanaanya tidak boleh ada pawai di jalan,” tuturnya.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharamatau artikel-artikel lain tentang Pilgub Jabar 2024 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//