• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Mengapa Kelas Menengah Penting Bagi Demokrasi?

MAHASISWA BERSUARA: Mengapa Kelas Menengah Penting Bagi Demokrasi?

Kelas menengah merupakan kekuatan pendorong (driving force) bagi demokratisasi. Namun, kelas menengah juga memiliki kekuatan untuk membalikkan demokratisasi.

Eka Farras Kurnia Firmansyah

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)

Massa prodemokrasi di Bandung menggugat negara, 22 Agustus 2024. Mereka menolak revisi UU Pilkada. (Foto: Muhammad Wijaya Nur Shiddiq/BandungBergerak)

5 November 2024


BandungBergerak.id – Salah satu hal yang cukup jarang disinggung saat membicarakan demokrasi adalah mengenai peran kelas menengah dalam eskalasi demokrasi. Dalam kategorisasi Robinson & Hadiz (2013), kelas menengah terdiri dari kalangan teknokrat, intelektual, manajer profesional, pengacara, aktivis partai politik, aktivis mahasiswa, dan perusahaan kelas menengah ke bawah. Dalam kacamata sosio-ekonomi, kelas menengah didefinisikan sebagai sebuah golongan dalam stratifikasi sosial dengan status sosial, pendapatan, tingkat pendidikan, dan selera (taste) yang berada di garis rata-rata. Secara hierarkis, mereka berada di bawah masyarakat kelas atas dan di atas masyarakat kelas bawah (Tarkhnishvili & Tarkhnishvili, 2013).

Asia Development Bank (dalam Yuswohady & Gani, 2015) mendefinisikan kelas menengah secara ekonomi dengan relevansi  untuk masyarakat negara-negara Asia, yakni masyarakat yang memiliki pengeluaran per kapita sebesar US$2-20. Rentang tersebut dikategorisasikan lagi menjadi tiga bagian: Kelas menengah bawah (pengeluaran per kapita per hari: US$2-4), kelas menengah tengah (pengeluaran per kapita per hari: US$4-10), dan kelas menengah atas (pengeluaran per kapita per hari US$10-20).

Ditilik dari pengeluarannya, masyarakat kelas menengah di Indonesia dapat dikatakan mampu memenuhi pemenuhan hidup yang lebih luas dibanding golongan miskin; mereka biasanya mampu membeli kendaraan pribadi, mengenyam pendidikan hingga tingkat universitas, dan membayar kebutuhan rekreasi. Namun, bukan berarti mereka terlepas dari tekanan-tekanan finansial, bahkan masih jauh dari cita-cita kemerdekaan finansial (financial freedom).

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Kampus Mencari Eksistensi, Mahasiswa Kehilangan Kualitas Diri
MAHASISWA BERSUARA: Menakar Tren Bahasa Gen Z dalam Komunikasi Sehari-hari
MAHASISWA BERSUARA: Demokrasi di Negeri Tirani

Nasib Kelas Menengah Kita

Salah satu ancaman yang menghantui kelompok kelas menengah Indonesia dewasa ini adalah kurangnya proteksi pemerintah terhadap kelas menengah. Agnes Theodora dalam Analisis Kebijakan Ekonomi Kompas (2024), menyebutkan bahwa berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah belum sepenuhnya menjamin kehidupan kelas menengah. Kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah sebagian besar masih berfokus pada golongan miskin dan miskin ekstrem, belum ada jaring pengaman yang menyeluruh bagi kelas menengah.

Pada kolom opini Kompas yang ditulis oleh M. Chatib Basri (2024), disebut terdapat defisit antara jumlah pendapatan dan jumlah pengeluaran konsumsi pada kelas menengah, sehingga siasat yang biasa dilakukan oleh para kelas menengah ini adalah menggunakan dana dalam tabungan yang peruntukkannya untuk kebutuhan-kebutuhan darurat dan mendesak. Namun, harga bahan pokok yang terus naik otomatis juga menyebabkan pengeluaran terus bertambah, sehingga pendapatan yang diterima dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pokok, yang menyebabkan tidak tersisanya ruang untuk menabung.Dampak kelas menengah yang kian tertekan dapat memberi pengaruh yang cukup signifikan bagi demokrasi. Secara konsisten, kelas menengah merupakan kekuatan pendorong (driving force) bagi demokratisasi. Mengapa demikian?

Masyarakat kelas bawah mungkin merupakan kekuatan utama bagi demokratisasi (democratic force), namun kelas bawah tidak dapat mendorong kekuatan tersebut, karena mereka kekurangan sumber material dan organisasional yang dimiliki kelas menengah (Lu, 2005). Teori tersebut tergambar pula pada tulisan Huntington (1991) yang menyebutkan bahwa gerakan-gerakan demokratisasi pada era 70-an (demokratisasi gelombang ketiga) tidak lagi dipimpin oleh para tuan tanah, petani, ataupun buruh industri, melainkan oleh kelas menengah perkotaan. Sebab, kadar konsistensi sebagai pendorong demokratisasi oleh kelas pekerja juga terbilang rendah, karena tuntutan kebanyakan kelas pekerja berfokus pada kepentingan ekonomi yang bersifat langsung (immediate) alih-alih kepentingan politik jangka panjang (long-term) (Lu, 2005).

Sebagai contoh, kelompok kelas menengah di Korea Selatan pada dekade 80-an merupakan kekuatan pendorong yang signifikan bagi perkembangan politik di sana. Kelompok kelas menengah yang bersifat progresif menyatakan ketidakpuasan terhadap sistem otoriter, termasuk distribusi keuntungan ekonominya. Hal ini ditunjukkan dengan dukungan dan keterlibatan kelas menengah terhadap gerakan buruh, demonstrasi mahasiswa, dan gerakan petani yang menuntut kebijakan-kebijakan demokratis (Koo, 1991). Huntington juga menyatakan bahwa salah satu variabel yang berkontribusi kepada demokrasi dan demokratisasi adalah kelas menengah yang kuat (a strong middle class) yang merupakan golongan masyarakat dengan tingkat literasi dan pendidikan yang tinggi, karena ia akan berperan sebagai kelompok penekan dengan kapasitas yang bisa terbilang lebih mumpuni (akses, modal, dan pendidikan).

Apa yang dapat dilakukan?

Meski belum efektif sebagai kelompok penekan yang menyeluruh (Mudhoffir, 2021), tetapi peran kelas menengah sebagai kelompok penekan pemerintah tidak bisa sepenuhnya ditafikan. Kritik untuk pergerakan yang dilakukan di Indonesia –termasuk untuk kelas menengah itu sendiri– adalah kurangnya isu kelas untuk dinaikkan ke permukaan dan dijadikan landasan dalam bergerak, sehingga pihak yang ditekan (pemerintah) kurang merasa terancam untuk menghadirkan keputusan yang berpihak kepada masyarakat. Selain itu, gerakan dan penyuaraan terhadap demokratisasi yang masih bersifat sporadis juga perlu dibenahi. Serikat pekerja yang juga menjadi tanggung jawab dari kelas menengah dapat menjadi salah satu penopang utama untuk menuntut jaring pengaman yang adil kepada pemerintah dengan satu catatan: pergerakannya harus persisten dan resilien.

Kelas menengah yang ada di perguruan tinggi juga harus mulai memikirkan metode pergerakan yang baru. Mereka tidak dapat terus menerus terjebak dalam romantisisme dari Reformasi 1998 dan beranggapan bahwa gerakan mahasiswa merupakan gerakan moral. Isu kelas harus kembali diangkat ke permukaan dan menjadi narasi besar dalam pergerakan mahasiswa. Gerakan yang sangat politis harus mulai kembali diucapkan secara gamblang, dengan demikian kepentingan yang dibawa akan lebih terasa secara lebih inklusif, karena sesungguhnya ia menyangkut hajat rakyat secara luas.

Mencegah Kelas Menengah Berbalik Arah

Terakhir, seberapa jauh kemudian tekanan ekonomi terhadap kelas menengah dapat mengancam demokrasi? Kurlantzick (2013) menjawab pertanyaan tersebut dengan apa yang ia sebut sebagai “pemberontakan kelas menengah” (the middle class revolts). Teorinya mengatakan apabila kelas menengah dalam sebuah wilayah demokrasi tidak mendapatkan kepuasan ekonomi, mereka akan cenderung beralih dari demokrasi. Kurlantzick mencontohkan bagaimana Presiden Joseph Estrada di Filipina berhasil dijatuhkan pada tahun 2001. Dorongan protes tersebut dilakukan oleh masyarakat menengah perkotaan bersama mahasiswa dari berbagai universitas. Masyarakat menganggap Joseph Estrada sebagai presiden yang korup dan inkompeten. Masyarakat kelas menengah khawatir bahwa Estrada akan mengancam supremasi hukum, hak politik, sosial, dan ekonomi yang bersinggungan dengan masyarakat kelas menengah. Yang menjadi menarik adalah masyarakat Filipina pada saat itu menaruh harapan pada militer untuk menyelesaikan masalah, padahal sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Filipina satu setengah dekade sebelumnya justru bersatu untuk menumbangkan rezim yang menggunakan militer sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasaan.

Hanya butuh lima belas tahun bagi masyarakat kelas menengah Filipina untuk mengambil sikap, yang awalnya memperjuangkan demokrasi menjadi berbalik arah menentangnya. Fenomena demikian memberi sinyal bahwa sebagai kekuatan yang mendorong demokratisasi (democratic force), kelas menengah juga memiliki kekuatan untuk membalikkan demokratisasi.

Bagi Indonesia –yang juga merupakan negara demokrasi– keberadaan kelas menengah yang kuat secara ekonomi tidak hanya penting untuk ekonomi itu sendiri melainkan juga pada keberlangsungan demokrasi. Sebab, golongan kelas menengah merupakan kekuatan penggerak yang vital untuk menekan pemerintah. Mereka memiliki modal yang mumpuni untuk menjalani peran tersebut, berbeda dengan kelas bawah yang secara modal tidak begitu kuat. Fenomena kelas menengah di Indonesia yang kian melemah merupakan tanda peringatan yang cukup jelas bagi kelangsungan demokrasi di negara ini.

Kita harus segera berbenah dan belajar dari sejarah. Sehingga, satu hal yang dipastikan: perlu ada upaya proteksi bagi kelompok menengah ini, baik secara ekonomi maupun sosial. Dengan demikian, penguatan kelas menengah bisa tercapai. Sesuai gagasan Huntington, perlu kelas menengah yang kuat untuk dapat menjamin keberlangsungan demokrasi.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//