• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Kampus Mencari Eksistensi, Mahasiswa Kehilangan Kualitas Diri

MAHASISWA BERSUARA: Kampus Mencari Eksistensi, Mahasiswa Kehilangan Kualitas Diri

Kampus terlalu membuat mahasiswa menyibukkan dirinya untuk kepentingan kampus, sehingga abai bahwasanya mahasiswa juga memerlukan aktualisasi diri.

Muhamad Fikry Abrar Yoga Wardhana

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta

Ilustrasi kuliah. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano Irakaswar/BandungBergerak/Mahasiswa di Institut Teknologi Sumatera)

25 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Dewasa ini, kampus bukan lagi menjadi wadah untuk mengembangkan pola pikir serta meningkatkan kualitas mahasiswa. Alih-alih melatih daya kritis serta meningkatkan kualitas mahasiswa, kampus malah menyibukkan mahasiswanya untuk berlomba-lomba meraih prestasi demi nama baik, serta eksistensi kampus itu sendiri.

Data Indonesia Development Forum 2019 (IDF 2019) menunjukkan kemampuan lulusan sarjana di Indonesia setara lulusan SMA di Denmark. Ini merupakan suatu hal yang memalukan dari sistem pendidikan di perguruan tinggi. Bayangkan saja orang yang mengenyam pendidikan selama kurang lebih 16 tahun disetarakan dengan orang yang mengenyam pendidikan selama 12 tahun.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mewaspadai Manipulasi Politik dalam Organisasi Mahasiswa Daerah
MAHASISWA BERSUARA: Terbiasa Melanggar Aturan, Terbiasa Tidak Membaca Meski Sudah Dewasa
MAHASISWA BERSUARA: Kampus yang Semakin Mengekang, Prakondisi Neo Orba dan Kenaikan Biaya Kuliah?

Hilangnya Tujuan Mulia Perguruan Tinggi

Secara fundamental kampus didirikan untuk mencetak generasi yang berkualitas demi terciptanya kehidupan di dalam masyarakat yang jauh lebih baik. Namun dewasa ini tujuan tersebut sudah melenceng sangat jauh. Saat ini kampus dijadikan sebagai ladang bisnis para kapitalis untuk mencetak para tenaga kerja ke perusahaan.

Kampus terlalu sibuk mengejar prestasi dan memperbaiki sarana serta prasarana, dan malah menyampingkan kualitas mahasiswanya sendiri. Di sini kampus lebih berfokus mencari eksistensi dengan memperbanyak prestasi, tujuannya tidak lain untuk keuntungan kampus itu sendiri. Karena ketika kampus memiliki banyak prestasi dan sarana prasarana yang menunjang, maka biaya di kampus tersebut akan melambung tinggi. Secara tidak langsung kampus telah menerapkan sistem bisnis di dalam lingkup kampus itu sendiri, mereka menganggap bahwa mahasiswa dan calon mahasiswa adalah sapi perah yang bisa terus digali uangnya hanya untuk kepentingan belaka. Kampus menjual nama besar serta infrastrukturnya sehingga banyak calon mahasiswa yang ingin membelinya, ketika banyak calon mahasiswa yang ingin membelinya, maka kampus akan seenak jidat menaikkan biaya pendidikannya.

Kampus terlalu membuat mahasiswa menyibukkan dirinya untuk kepentingan kampus, sehingga abai bahwasanya mahasiswa juga memerlukan aktualisasi diri. Hal ini juga berpengaruh terhadap kekritisan mahasiswa yang tiap tahun semakin menurun. Selain itu, hasil dari kesibukan mahasiswa tersebut akan menciptakan mahasiswa yang bersifat individualistik dan terkesan apatis terhadap lingkungan sosialnya. Hal ini tentunya menghilangkan peran mahasiswa sebagai social control. Tanpa disadari kampus telah menanam nilai-nilai borjuis kepada mahasiswa seperti, jiwa kompetitif, sifat individualisme, dan orientasi terhadap hasil.

Mahasiswa Lupa Jati Diri

Para mahasiswa terlalu larut dalam euphoria nilai tinggi yang diberikan oleh dosen. Mereka beranggapan bahwa nilai yang tinggi sebanding dengan kualitas serta intelektualitas, padahal kenyataannya tidak. Karena masih banyak instrumen lain yang bisa menjadi tolak ukur apakah mahasiswa itu berkualitas atau tidak. Mahasiswa seharusnya sadar masih ada hal lain yang lebih penting dibanding nilai, yaitu aktualisasi diri, yang diharapkan mahasiswa memiliki kualitas dan dari kualitas itu nantinya bisa memberikan manfaat bagi lingkungan atau masyarakat di sekitarnya.

Selain itu mereka juga beranggapan bahwasanya semakin bagus perguruan tinggi, maka semakin cerah juga masa depannya, sehingga mereka bisa berleha-leha tanpa perlu bekerja keras untuk meningkatkan kualitasnya. Padahal kenyataannya tidak, faktor utama yang menentukan masa depan individu ialah kualitas dirinya sendiri, bukan kualitas kampus, kampus hanya menjadi wadah untuk pengembangan diri.

Mahasiswa sebagai agent of change memiliki peran penting dalam banyak aspek di negara ini. Mahasiswa yang memiliki kualitas yang baik akan membawa perubahan terhadap bangsa ini ke arah yang lebih baik juga, namun jika kualitas mahasiswa kita saat ini kacau, lantas perubahan apa yang bisa kita harapkan?

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//