• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Terbiasa Melanggar Aturan, Terbiasa Tidak Membaca Meski Sudah Dewasa

MAHASISWA BERSUARA: Terbiasa Melanggar Aturan, Terbiasa Tidak Membaca Meski Sudah Dewasa

Mengapa pendidikan tidak mampu memberikan pemahaman yang koheren terkait hak dan tanggung jawab seseorang sebagai warga negara?

Gabriel Aditiya Eka Wibowo

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung. Peserta P3M Unpar 2024

Sebuah mobil parkir di bahu jalan di Bandung. (Foto: Gabriel Marcelinus Natanael)

20 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Sebuah pemandangan menarik akan ditemui oleh kita sebagai warga Bandung jika kita berjalan kaki di sekitar daerah Polrestabes Bandung dan sekitarnya. Pengalaman menarik yang akan dijumpai adalah banyaknya kendaraan yang terparkir di bahu jalan, termasuk mobil aparat keamanan. Saya bukanlah orang yang sudah lama tinggal di Bandung. Tahun ini adalah tahun ke-5 saya di Bandung. Rasa-rasanya, hati ini selalu tertegun melihat pemandangan yang tidak elok itu. Mengapa? Sebab, pelanggaran itu terjadi di tempat di mana keamanan dan norma yang seharusnya dijunjung tinggi.

Sudah sewajarnya, kita terlatih untuk membaca segala sesuatu yang berhubungan dengan diri sendiri sejak usia dini. Salah satunya tujuannya adalah supaya kita mengetahui hal yang boleh dilakukan dan hal yang tidak boleh dilakukan. Pengetahuan pun memiliki dampak besar dalam proses pengambilan suatu keputusan. Sehingga, kedua hal ini –membaca dan pengetahuan– memiliki korelasi satu sama lain dalam pengambilan suatu keputusan. Ketiadaan salah satu dari kedua hal ini hanya akan menciptakan kondisi buruk bagi orang lain.

Lalu, apa hubungan dari parkir liar dan kerugian bagi orang lain? Jawaban itu dapat ditemukan lewat alur berpikir seperti ini. Mari kita melihat alur berpikir yang saya maksudkan. Sebagai warga negara yang baik, kita mengetahui bahwa setiap hal yang ada di sekitar kita memiliki fungsi. Apabila fungsi itu terganggu, maka ada dampak lanjutannya. Dalam hal ini, kita mengetahui bahwa jalan untuk kendaraan berlalu-lalang itu memiliki fungsi sebagai tempat lajunya kendaraan dan bukan tempat parkir. Selain jalan, ada pedestrian yang dibuat bagi para pejalan kaki supaya mereka bisa merasa aman dan terlindungi dari bahaya kendaraan yang berlalu-lalang tadi. Ini adalah poin pertama.

Bagian kedua adalah mengenai kekeliruan yang terjadi saat seseorang mengambil hak orang lain. Dengan landasan HAM, kita semua memiliki hak dan tanggung jawab. Hak dan tanggung jawab ini dilindungi oleh hukum yang aktif dan mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Kasus pengalihan fungsi bahu jalan sebagai lahan parkir adalah salah satu bentuk korupsi –mengambil hak orang lain– yang telah dibiasakan oleh orang-orang sejak usia dini. Yang membingungkan adalah mengapa hal itu menjadi biasa?

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Indonesia Negara Keluarga?
MAHASISWA BERSUARA: Peraturan yang Menginjak Rasa Aman, Kritik untuk Perda Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021
MAHASISWA BERSUARA: Mewaspadai Manipulasi Politik dalam Organisasi Mahasiswa Daerah

Pembiasaan Terhadap Pelanggaran

Rendahnya minat membaca meski usia sudah dewasa menjadi poin ketiga yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Jika kita melalui SMPN 5 Bandung yang berhadapan dengan gedung Bank BTN, maka kita akan menjumpai kembali fenomena menarik, yaitu mobil yang terparkir di bahu jalan. Bukankah kasusnya sama dengan kasus di atas? Tidak, kasus ini berbeda. Mereka yang memarkirkan mobil di bahu jalan itu secara sadar melihat penanda dilarang parkir. Ya, mereka tahu bahwa ada tulisan di penanda yang menyebutkan “dilarang parkir”. Akan tetapi, aturan itu ternyata sia-sia. Polisi dan dinas terkait yang bertugas menertibkan jalan pun tidak terlihat batang hidungnya. Pertanyaannya sungguh mendasar, apa yang menyebabkan mereka bertindak demikian?

Dalam beberapa kesempatan, saya selalu mempermasalahkan pendidikan yang tidak memadai yang menjadi penyebab terjadinya suatu kekeliruan. Namun, dalam hal ini, rasa-rasanya, orang-orang yang memiliki mobil dapat dikategorikan sebagai orang yang memiliki pendidikan yang memadai. Sebab, secara finansial, mereka adalah orang-orang mampu. Dengan ekonomi yang memimpin, mereka setidaknya mengenyam pendidikan. Hanya saja, mengapa pendidikan itu tidak mampu memberikan pemahaman yang koheren terkait hak dan tanggung jawab seseorang sebagai warga negara?

Saya percaya bahwa pendidikan itu telah berguna sebagaimana mestinya. Hanya saja, kebiasaan untuk tidak membaca menutupi daya intelektual orang-orang ini. Dalam perkembangannya, orang-orang ini menjadi pribadi yang individualis. Mereka merasa bahwa saya telah membayar tukang parkir –kita tidak tahu apakah itu legal atau ilegal. Padahal, tidak ada lahan parkir di tempat itu. Walakin, persoalan lahan parkir ini tidak boleh sepenuhnya dilimpahkan kepada orang-orang yang membawa mobil.

Pertama-tama, kita harus berfokus pada tempat-tempat di sekitar sana yang dikunjungi. Jujur, lahan parkir tempat-tempat di daerah sana begitu kecil dan sangat minim. Polrestabes Bandung tidak memiliki lahan parkir untuk kendaraan roda dua yang memadai sehingga mereka menggunakan bahu jalan sebagai lahan parkir. Bank BTN tidak mempunyai lahan parkir yang memadai sehingga banyak kendaraan roda empat yang terparkir di bahu jalan. Mengapa mereka tidak belajar dari tempat parkir khusus yang dibangun di sekitar daerah BEC? Bukankah itu dapat menjadi solusi atas polemik yang telah dinormalisasi ini? Alih-alih menindak pelanggar aturan, mereka justru menciptakan pembiasaan (normalisasi) terhadap sebuah pelanggaran.

Jangka panjang atas pembiaran polemik ini adalah kebiasaan untuk menormalisasi hal-hal yang tidak wajar. Apabila orang-orang yang telah terbiasa melanggar ini memiliki kekuasaan, kita tidak mungkin memungkiri bahwa perilaku pelanggaran ini akan menjadi semakin parah. Apa contohnya? Korupsi adalah contoh nyata atas pembiaran ini - selama tidak diketahui, maka pelanggaran itu dibiarkan saja. Apa gunanya menimbun bangkai di lahan terbuka? Apabila penindakan atas pelanggaran semakin cepat dilakukan, semakin baik pula moral dan intelektual orang-orang di sekitarnya dalam pengambilan dan pembuatan keputusan. Bisa jadi, segala keburukan yang sedang kita saksikan hari ini adalah kalkulasi atas pelanggaran yang telah dinormalisasi.

Semoga tulisan ini mampu menyadarkan kita semua untuk tidak menormalisasi pelanggaran-pelanggaran kecil. Kita tidak sedang menciptakan komunitas yang senang ikut campur urusan orang lain. Sebaliknya, kita sedang menciptakan masyarakat yang sadar akan tanggung jawabnya dalam menjaga dan memperjuangkan hak-haknya sendiri serta orang-orang di sekitarnya. Tanpa kesadaran ini, kita hanya membiarkan generasi-generasi muda untuk terus menyaksikan pembiaran kekeliruan. Alhasil, kondisi yang lebih buruk dapat terjadi dan hanya menimbulkan penyesalan di akhir nanti. Ya, jangan pernah menyalahkan orang lain sebab bisa jadi, kita menjadi salah seorang yang membiarkan benih buruk itu tumbuh dengan subur. Salve!

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//