• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Peraturan yang Menginjak Rasa Aman, Kritik untuk Perda Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021

MAHASISWA BERSUARA: Peraturan yang Menginjak Rasa Aman, Kritik untuk Perda Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021

Kelompok LGBT sebagai sasaran Perda Kota Bogor Nomor 10 tahun 2021 merupakan kelompok minoritas yang rentan atas perlakuan diskriminasi.

Herlambang

Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Ilustrasi. Kelompok LGBT merupakan fakta dalam kehidupan sosial. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak)

15 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Pada 21 Desember 2021, DPRD Kota Bogor dan wali kota Bogor menetapkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S). Pengesahan Perda ini memicu kontroversi, terutama dari kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di Kota Bogor. Pasal 6 dari Perda ini mengategorikan homoseksual, lesbian, dan waria sebagai bentuk perilaku penyimpangan seksual, yang di mana pasal tersebut berpotensi meningkatkan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas tersebut.

Menurut pakar hukum tata negara seperti Bivitri Susanti, perilaku LGBT tidak dapat disamakan dengan kejahatan seperti pencurian atau pelecehan seksual, karena hukum seharusnya hanya mengatur tindakan, bukan orientasi seksual atau identitas gender. Sejalan dengan itu, respons pemda tidak seharusnya berupa larangan atau hukuman, melainkan program yang mendukung kebebasan individu dan hak asasi manusia.

Atas dasar pijakan tersebut, permasalahan yang diangkat dalam esai ini adalah apakah Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 sudah mempertimbangkan prinsip-prinsip HAM, terutama hak atas rasa aman?

Saya ingin menyinggung sebuah teori yang saya rasa relevan untuk disinggung dalam esai ini. Teori tersebut adalah teori hak kodrati (natural rights theory), yang dikembangkan oleh John Locke dan para pemikir lainnya. Teori ini berpendapat bahwa setiap manusia memiliki hak-hak dasar, termasuk hak atas hidup, kebebasan, dan rasa aman. Hak-hak ini bersifat universal dan tidak dapat dicabut oleh negara. Oleh karena itu, negara sebagai pemegang kewajiban pemenuhan dan perlindungan HAM perlu menjamin sepenuhnya, baik itu dalam tataran konstitusi hingga peraturan yang ada di bawahnya, dalam konteks ini ialah Perda Kota.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Pendidikan untuk Siapa?
MAHASISWA BERSUARA: Strategi agar Terhindar dari Kejahatan Seksual di Kampus
MAHASISWA BERSUARA: Indonesia Negara Keluarga?

Implementasi Prinsip Hak Asasi Manusia dalam Peraturan Daerah

Hak asasi manusia bersifat universal dan diakui oleh Pancasila serta Konstitusi Indonesia. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak bebas dari diskriminasi. Selain itu, UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM mengatur bahwa hak asasi harus dihormati dan dilindungi oleh negara.

Selain itu, kelompok LGBT sebagai kelompok minoritas yang menjadi target Perda Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 ini sebenarnya telah mendapat perlindungan secara internasional, terkhusus dalam Pasal 27 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang disebutkan bahwa hak kelompok minoritas perlu mendapatkan perlindungan khusus. Negara Indonesia sebagai satu dari berbagai negara yang meratifikasi ICCPR tentunya perlu memperhatikan kelompok-kelompok minoritas yang ada, termasuk dalam hal ini adalah kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) yang rentan mendapatkan diskriminasi.

Dalam Pasal 4 Perda Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 ini mengatakan bahwa salah satu tujuan ditetapkannya peraturan Anti LGBT ini adalah untuk mencegah dan mengurangi timbulnya berbagai bentuk perbuatan perilaku penyimpangan seksual dan dampak ikutannya serta menghilangkan stigma dan diskriminasi. Ketentuan pasal tersebut seolah mengatakan bahwa kelompok LGBT ialah kelompok “superior” yang selalu melakukan diskriminasi terhadap kelompok lain. Padahal, kelompok LGBT sebagai sasaran Perda tersebut merupakan kelompok minoritas yang rentan atas perlakuan diskriminasi dari masyarakat yang berpotensi melanggar hak atas rasa aman sebagai hak asasi manusia yang melekat pada kelompok minoritas LGBT tersebut.

Selain itu, upaya rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 9, 12, 15, dan 18 berpotensi memperburuk situasi diskriminasi dengan mendorong pemaksaan perubahan orientasi seksual, yang dapat dianggap sebagai bentuk penyiksaan. Lalu dalam Pasal 14 ayat (1) Perda ini menyebutkan bahwa upaya penanggulangan perilaku penyimpangan seksual diselenggarakan oleh masyarakat, Pemerintah Daerah Kota serta pihak yang terkait lainnya berdasarkan kemitraan. Lanjut dalam Pasal 24 ayat (1) disebutkan bahwa dalam rangka pencegahan dan penanggulangan perilaku penyimpangan seksual di Daerah Kota dibentuk Komisi Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual. Keberadaan Komisi tersebut yang menganut pandangan “perilaku penyimpangan seksual harus dihilangkan”, tentunya berpotensi memunculkan berbagai bentuk intervensi terhadap kelompok LGBT yang akhirnya bisa menjadi legitimasi untuk persekusi dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh negara. Jelas hal ini memicu diskriminasi dan pelabelan terhadap kaum-kaum rentan seperti kelompok LGBT.

Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak atas rasa aman dari diskriminasi. Peraturan ini berpotensi memperburuk situasi diskriminasi terhadap kelompok LGBT dan mengabaikan kewajiban negara untuk melindungi kelompok minoritas.

Pemerintah Kota Bogor diharapkan untuk mencabut Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual yang tidak memperhitungkan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan berpotensi mendiskriminasi hak atas rasa aman dan hak kebebasan sebagai fondasi dari terciptanya keadilan atas sesama individu di Kota Bogor. Apabila dirasa pemerintah daerah perlu memberikan reaksi atas berbagai bentuk yang dicap sebagai penyimpangan seksual seperti yang tertuang dalam Perda yang dimaksud, maka diharapkan pemerintah daerah dapat membangun kebijakan dan program-program yang mendukung kebebasan individu, menghormati keragaman, dan mempromosikan kesetaraan, serta melakukan advokasi di tingkat nasional dan internasional untuk mendorong penghapusan hukuman yang diskriminatif terhadap perilaku seksual konsensual antara orang dewasa. Sehingga produk hukum yang dihasilkan pun menjadi lebih inklusif, adil, dan berbasis pada prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//