• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Indonesia Negara Keluarga?

MAHASISWA BERSUARA: Indonesia Negara Keluarga?

Fenomena-fenomena yang terjadi belakangan ini semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah negara bagi orang-orang tertentu dan keluarganya.

Gabriel Marcelinus Natanael

Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi. Pemilu merupakan ajang demokrasi untuk menentukan pemimpin. (ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

18 September 2024


BandungBergerak.id – Salah satu serial drama Korea di Net ix yang berjudul The 8 Show adalah sebuah serial yang sungguh menarik untuk diperbincangkan dengan kerangka pandang politik di Indonesia. Secara singkat, serial ini membahas mengenai kekuatan dari sebuah alat tukar yang disebut uang dan relasi yang terpolarisasi yang adalah dampak dari kekayaan dan kekuasaan. Menariknya, serial ini menciptakan figur- figur yang bersikap superior dan inferior. Figur superior dapat dianalogikan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan karena adanya intimasi dengan pemangku kekuasaan yang memungkinkan mereka untuk menikmati bagian kemewahan dan kenikmatan. Figur inferior terwujud sebagai kelompok masyarakat yang mengalami eksploitasi untuk memberikan kesenangan kepada kaum yang berkuasa dan mereka yang dekat dengan para penguasa.

Sekarang, mari melihat situasi dan kondisi dunia politik di Indonesia yang memang sedang tidak baik-baik saja. Sekitar 10 tahun yang lalu, ada asa yang tumbuh dari berbagai elemen masyarakat yang mengharapkan perkembangan baik bagi negara ini. Akan tetapi, rasa-rasanya, harapan itu mulai pudar setelah waktu yang hampir menyentuh satu dasawarsa. Sepertinya, sebuah pepatah tua yang menyebutkan tentang “jangan menaruh harapan kepada manusia; berharaplah kepada Sang Pencipta”, adalah benar adanya. Asa tentang Indonesia yang maju yang telah dibangun selama bertahun-tahun, dihancurkan juga secara perlahan-lahan dan pasti.

Rasa-rasanya, fenomena berbagi ‘jatah’ jabatan menjadi wajar –atau dipaksa untuk mewajarkan– belakangan ini. Keamanan, kenyamanan, dan kenikmatan adalah betul terwujud dalam hari-hari ini jika seseorang dekat dengan mereka yang memiliki kuasa untuk mengatur, mengubah, dan melanggar peraturan. Secara perlahan dan pasti, ada berbagai macam rencana yang lebih besar yang akan dilakukan dalam waktu-waktu dekat ini, terlebih setelah berbagai kejadian unik terjadi, seperti perubahan undang-undang dan pembuatan undang-undang yang secara esensial sudah bermasalah.

Selalu muncul pertanyaan di dalam benak ini tentang ratusan orang yang katanya mewakili suara rakyat dan kepada para pemangku kekuasaan yang dalam hal ini adalah pemerintah. Mengapa keputusan yang dibuat sering tidak berpihak kepada rakyat? Mengapa di dalam banyak lini kehidupan, ada begitu banyak orang yang tidak terlayani hak-haknya? Bukankah setiap warga harus mendapatkan perlakuan yang sama sesuai dengan sila ke-5 yang berbunyi ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’? Apa mungkin sila ke-5 menjadi tidak relevan lagi karena ada syarat dan ketentuan yang berlaku, seperti harus dekat dengan penguasa, harus memiliki uang yang banyak? Indonesia adalah negara demokrasi yang artinya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Indonesia bukan negara yang tercipta untuk menghidupi para kaum elite dan orang-orang yang dipelihara oleh mereka.

Jika deretan fenomena ini disandingkan dengan serial The 8 Show, maka ada banyak keserupaan yang ditemukan. Masyarakat seakan-akan dieksploitasi demi memenuhi berbagai hasrat dari penguasa yang kebijakannya perlu dipertanyakan kembali, untuk siapa. Sejatinya, tujuan dari pembuatan aturan adalah demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Apabila masyarakat tidak menjadi lebih baik dan semakin sulit mencapai kesejahteraan itu, maka alangkah baiknya keputusan yang akan dilaksanakan dan yang sudah dilakukan itu dipertanyakan kembali.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Kritik dalam Lagu Coklat Karya Pure Saturday
MAHASISWA BERSUARA: Pendidikan untuk Siapa?
MAHASISWA BERSUARA: Strategi agar Terhindar dari Kejahatan Seksual di Kampus

Negara Keluarga

Dimensi lain yang masih menggelitik hati, adalah kesadaran dari para perwakilan rakyat yang jumlahnya hanya ratusan. Ini bukan persoalan kuantitasnya. Tetapi, ini lebih ke arah kualitas hati dari para perwakilan itu yang seharusnya berusaha untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, bukan hanya mereka yang dekat dan bagi diri sendiri. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik layar dan sedang dipersiapkan oleh pencatur andal yang adalah pemimpin pertama di negara ini? Mungkinkah, segala kepuasan dan kenikmatan telah mampu menutup mulut-mulut yang awalnya memiliki keinginan untuk bersuara; atau segala kenikmatan itu telah menciptakan ketakutan baru bagi mereka yang telah merasakannya –rasa takut kehilangan terhadap zona nyamannya?

Gagasan Indonesia emas pada 2045 rasanya menjadi sebuah harapan utopis. Apa mungkin masa keemasan itu dapat terwujud dengan segala kecemasan yang timbul? Segala lini kehidupan masyarakat ditekan. Banyak orang tidak lagi berpikir tentang apa yang sedang dilakukan oleh penguasa sebab mereka terlalu lelah untuk memikirkan apa yang akan dimakan oleh mereka pada esok hari. Pendidikan menjadi barang mahal yang mungkin tidak akan lagi terjangkau bagi semua elemen masyarakat. Padahal, pendidikan menjadi kunci utama dalam memberantas kemiskinan, kriminalitas, dan kecurangan yang terstruktur.

Fenomena-fenomena yang terjadi belakangan ini semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah negara bagi orang-orang tertentu dan keluarganya. Rasa aman dan nyaman semakin terasa bagi mereka yang memiliki kekuasaan-kekayaan dan mereka yang dekat dengan pemangku kekuasaan-kekayaan. Bersamaan dengan itu pula, rasa cemas dan derita semakin terasa bagi mereka yang tidak memiliki akses untuk kedua hal itu. Ini bukan tentang perkara kedekatan atau relasi dengan mereka yang berkuasa. Ini adalah persoalan tentang rasa aman dan nyaman yang seharusnya dapat dirasakan oleh seluruh warga Indonesia tapi tidak demikian realitasnya.

Usaha untuk berdiri di garis yang berbeda juga akan semakin sulit untuk diwujudkan. Kasus SYL menjadi salah satu bukti dan tanda dari mereka yang berkuasa untuk memberikan peringatan kepada siapa pun yang memiliki kuasa supaya tidak memilih jalan yang berbeda. Mengapa demikian? Karena ada banyak kasus korupsi yang tidak diperlakukan demikian. Dalam kasus ini, SYL dikulit sampai habis. Sangat mungkin, ini menjadi sebuah peringatan dan rasa takut bagi orang-orang yang berupaya untuk berdiri di garis yang berbeda.

Walakin, masih ada secercah harapan untuk mewujudkan kembali Indonesia sebagai negara bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam serial The 8 Show, ada satu figur dari kalangan atas yang berupaya untuk membantu mereka yang berada di bawah eksploitasi. Kesadaran tentang situasi yang tidak beres telah muncul dari berbagai elemen masyarakat. Hanya saja, apakah mungkin setiap elemen masyarakat bekerja sama untuk menyuarakan hal itu dan mengupayakannya dengan bantuan dari orang-orang yang memiliki kekuasaan-kekayaan. Asa Indonesia emas 2045 masih mungkin terwujud jika kenikmatan dan kenyamanan yang ditawarkan itu mampu ditolak demi kesejahteraan bersama. Sulit? Tentu. Namun, sekali lagi, masih ada secerah harapan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara bagi seluruh rakyat Indonesia –bukan sebagiannya saja. Salve!

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//