• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Kampus yang Semakin Mengekang, Prakondisi Neo Orba dan Kenaikan Biaya Kuliah?

MAHASISWA BERSUARA: Kampus yang Semakin Mengekang, Prakondisi Neo Orba dan Kenaikan Biaya Kuliah?

Upaya penguasa untuk meredam gerakan mahasiswa bisa terjadi dalam waktu dekat. Mungkin juga sudah dimulai sejak hari ini.

Andreas Handy

Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNJ dan juga pengurus LPM Didaktika

Mahasiswa berhadapan dengan polisi antihuru-hara dalam aksi unjuk rasa yang berakhir ricuh di halaman DPRD Provinsi Jawa Barat, Bandung, 22 Agustus 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

24 Oktober 2024


BandungBergerak.idKampus adalah miniatur negara, begitu perkataaan yang kerap kali dijejalkan dosen kepada para mahasiswa. Walau terkesan klise, perkataan itu seolah terlihat benar hari ini. Sebab, sama dengan negara yang semakin mengekang, begitu pun kampus juga.

Hal itu dapat dilihat secara gamblang di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar baru-baru ini. Dilansir dari LPM Didaktika, puluhan mahasiswa di kampus itu diskors selama satu semester usai berdemonstrasi. Adapun dasar pemberian sanksi adalah Surat Edaran (SE) Nomor 259 Tahun 2024 yang diterbitkan oleh Rektor UIN Alauddin Makassar.

SE Nomor 259 Tahun 2024 sangat mengekang mahasiswa. Sebab tercantum dalam SE itu, mahasiswa harus mendapatkan izin tertulis dari pimpinan kampus sebelum melakukan penyampaian aspirasi. Dampaknya, aksi demonstrasi mahasiswa yang memberatkan pimpinan kampus dapat dengan mudah dilarang. Untuk mahasiswa yang membangkang, hukuman seperti skorsing sudah ada di depan mata.

Tidak jauh dari itu, mahasiswa Universitas Riau, Khariq Anhar dilaporkan kepada pihak kepolisian oleh Rektornya sendiri. Ia dituduh melakukan pencemaran nama baik usai mengkritik kenaikan biaya kuliah. Suatu ironi di tempat yang idealnya penuh akan kebebasan akademik, kritik malah dibalas dengan pembungkaman.

Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mencatat ada 27 kasus pelanggaran akademik pada tahun 2023-2024 yang mereka dampingi. Hal itu meningkat dalam setahun terakhir. Adanya tren pelanggaran kebebasan akademik perlu dilihat lebih dalam terkait keadaan nasional yang akan terjadi. Bahwa, kampus semakin mengekang merupakan prakondisi dari rezim Prabowo dan kenaikan biaya kuliah.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Peraturan yang Menginjak Rasa Aman, Kritik untuk Perda Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021
MAHASISWA BERSUARA: Mewaspadai Manipulasi Politik dalam Organisasi Mahasiswa Daerah
MAHASISWA BERSUARA: Terbiasa Melanggar Aturan, Terbiasa Tidak Membaca Meski Sudah Dewasa

Menuju Neo Orba

“Tapi kalau sudah tidak mau diajak kerja sama, ya jangan mengganggu,“ begitu ucapan Prabowo di depan para pendukungnya setelah baru beberapa minggu ditetapkan sebagai Presiden terpilih. Perkataan itu seolah semakin menunjukkan kecenderungan pemerintahan Prabowo yang otoriter. Tampaknya Prabowo tidak ingin ada pihak yang mengganggu pemerintahannya, sama dengan kekuasaan mantan mertuanya, yakni Soeharto.

Mirip dengan masa Orde Baru (Orba), kini hampir semua partai politik telah membebek kepada kekuasaan. Mirip juga dengan masa Orba, kini ada kecenderungan dwifungsi ABRI lewat adanya Rancangan Undang-undang (RUU) TNI. Pun mirip dengan masa Orba, kini kampus mengekang.

Di awal kemunculan Orba, mahasiswa kerap mengganggu pemerintahan. Puncak dari itu adalah munculnya peristiwa Malari 1974. Pemerintah pun membuat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang meredam kebebasan berpolitik mahasiswa.

Bersamaan dengan itu, pemerintah membentuk mitos bagi gerakan mahasiswa. Suryadi. A. Radjab dalam tulisannya di Majalah Prisma nomor 10 tahun 1991, menjelaskan gerakan mahasiswa pada masa Orba dibentuk oleh penguasa menjadi eksklusif dan sekadar moralis. Atas dasar kewajiban moral, mahasiswa bergerak memprotes negara, tetapi tanpa melibatkan elemen masyarakat lain dan tanpa pula berkeinginan merebut kekuasaan.

Kini, mitos-mitos itu masih menjamur pada mahasiswa. Hal itu dapat dilihat dari aksi Peringatan Darurat beberapa waktu lalu di Gedung DPR. Lautan mahasiswa seakan bergerak karena mempunyai kewajiban moral melawan para penguasa yang belakangan ini kerap melakukan tindakan “tidak bermoral”.  Lautan mahasiswa itu pun tampak terpisah dari elemen masyarakat lain, yang menandakan mitos eksklusivitas masih menjamur di gerakan mahasiswa.

Meskipun mitos Orba masih menyelimuti gerakan mahasiswa, tapi pemerintahan ke depan pasti akan kerap mendapatkan gangguan demi gangguan dari mahasiswa. Sebab, “moral” pemerintah ke depan seakan sudah tampak terlalu rusak bagi kalangan mahasiswa. Mulai dari Presiden yang terlibat dalam pelanggaran HAM, Wakil Presiden yang dianggap sebagai produk dari dinasti politik, hingga sejumlah upaya kebijakan yang hanya menguntungkan elite ataupun pemerintahan selanjutnya seperti RUU Pilkada.

Selain itu, tidak seperti masa Orba, kini organisasi gerakan politik, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan serikat buruh sudah banyak menjamur. Ketika organisasi-organisasi semacam itu berinteraksi dengan mahasiswa, bisa membuat gerakan mahasiswa menjadi lebih radikal. Dalam artian, mahasiswa bergerak bersama elemen masyarakat lain dan mempunyai kepentingan untuk merebut tampuk alih kekuasaan.

Dari hal-hal di atas dapat dilihat bahwa peredaman gerakan mahasiswa dari penguasa, bisa terjadi di waktu dekat ataupun sudah dimulai sejak hari ini. Perlu diketahui dalam pemilihan rektor di PTN, menteri mempunyai hak suara sebesar 35 persen. Maka dari itu, penguasa mempunyai pengaruh kuat dalam arah kebijakan di PTN. Atau bisa saja peredaman gerakan mahasiswa secara gamblang dilakukan lewat kebijakan langsung dari pemerintah seperti NKK/BKK di masa Orba.

Menuju Kenaikan Biaya Kuliah

Sebagian besar kampus bergelora beberapa bulan lalu. Musababnya, terjadi kenaikan biaya kuliah secara masif di banyak kampus. Di Unri misalnya, kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) lima kali lipat dari biaya sebelumnya. Usut punya usut, terbitnya Permendikbud No. 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) jadi pemicu melambungnya biaya kuliah.

Mahasiswa pun ramai bergerak menuntut pembatalan kenaikan biaya kuliah dan pencabutan Permendikbud No. 2 Tahun 2024. Sebagai reaksi, pemerintah membatalkan kenaikan biaya kuliah. Meski begitu, sampai sekarang Permendikbud No. 2 Tahun 2024 belum dicabut. Selain itu, Presiden Jokowi mengatakan UKT kemungkinan besar akan naik di tahun depan.

Potensi kenaikan biaya kuliah juga dapat dilihat dari adanya sejumlah program pemerintah yang memakan biaya besar, seperti Ibu Kota Negara (IKN) dan Makan Siang Gratis. Lebih lagi, anggaran Kemendikbud Ristek pada tahun 2025 mengalami penurunan sebanyak Rp 15,7 triliun.

Melihat hal itu, kampus mempunyai kepentingan untuk meredam gerakan mahasiswa, sehingga kenaikan biaya kuliah berjalan dengan lancar. Begitu pun juga dengan negara mempunyai kepentingan yang sama agar kestabilan sosial tetap terjaga.

Terus Melawan Mahasiswa!

Mahasiswa sejak masa kolonial kerap melakukan perlawanan terhadap penguasa yang menindas. Dengan akses terhadap bacaan yang banyak, mahasiswa harusnya dapat melawan hegemoni penguasa yang menindas rakyat, sebagaimana konsep intelektual organik yang dicetuskan oleh Antonio Gramsci.

Walau kini pengekangan bertambah banyak, mahasiswa harus tetap melawan. Apalagi jika melihat kondisi negeri yang tampak suram. Keadilan kejahatan HAM di masa lalu mandeg, demokrasi dibegal elite, dan rakyat semakin sulit mendapatkan haknya seperti akses terhadap pendidikan tinggi.

Namun, mahasiswa tidak harus bergerak sendirian. Belajar dari gerakan di Chili sekitar sepuluh tahun lalu, perubahan sosial terwujud setelah mahasiswa, buruh, tani, dan elemen masyarakat lainnya bersatu melawan penguasa yang menindas.

Dengan demikian, mitos eksklusivitas gerakan mahasiswa harus dihapuskan. Mahasiswa pun harus bangun kekuatan gerakan politik yang radikal bersama rakyat banyak. Terakhir, saya berikan pesan kepada kawan-kawan mahasiswa sekalian dengan mengutip lirik dari lagu “Api dan Lentera” karya Barasuara. Lepaskan rantai yang membelenggu// Nyalakan api dan lenteramu.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//